Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyoroti PHK besar-besaran yang dilakukan sejumlah perusahaan. Menurutnya, hal ini tidak sesuai dengan adanya pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen yang diumumkan oleh pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Said menyebut, ketika ekonomi tumbuh, maka semestinya ada penyerapan tenaga kerja. Di mana setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan ada penyerapan tenaga kerja sebanyak 200 hingga 400 ribu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sekarang Pemerintah mengumumkan ekonomi tumbuh 5 persen. Seharusnya penyerapan tenaga kerja adalah sebanyak 2 juta. Tetapi kebalikannya, yang terjadi PHK dimana-mana," kata Said dalam keterangannya, Selasa, 13 Juni 2023.
Lebih lanjut, ia mengatakan jika pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati kelas menengah atas. Sedangkan kelas bawah justru terjadi PHK.
Said juga memaparkan sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya PHK besar-besaran.
Pertama yakni karena kondisi global pasca pandemi yang menyebabkan penurunan order atau pesanan. Atas hal ini, Said pun menilai jika Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 merupakan kebijakan yang tidak tepat mengatasi permasalahan tersebut.
"Jadi keberadaan Permenaker No 5 Tahun 2023 ibaratnya salah obat," ujarnya.
Menurutnya, penurunan order yang terjadi pasca pandemi menyebabkan PHK. Namun, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru potong upah.
Ketika diberlakukan potong upah, maka daya beli akan turun. Jika daya beli turun, maka konsumsi turun. Ketika konsumsi turun, maka pertumbuhan ekonomi akan melambat dan dampaknya akan kembali terjadi PHK.
Oleh karena itu, KSPI menuntut: Cabut Permenaker Nomor 5 Tahun 2023.
Penyebab kedua adalah rasionalisasi dengan relokasi. Said menyebut, yang terjadi selanjutnya adalah PHK akal-akalan yang dilakukan pengusaha dengan memanfaatkan keberadaan omnibus law UU Cipta Kerja.
Oleh karena itu, Said meminta agar kebijakan pasar domestik di industri padat karya dijaga. Ia menambahkan, pemerintah harus membuat kebijakan yang tepat. Jangan seperti "salah obat", antara kebijakan dan solusinya justru bertentangan.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini