Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Turun Drastis, Tetap Optimistis

1 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAUT Gultom pusing tujuh keliling. Kebun sawitnya seluas enam hektare terancam melayang. Gara-garanya ia tak kuat lagi membayar cicilan kredit pengadaan lahan. Sebab, satu-satunya harapan selama ini adalah buah dari kebunnya itu. Namun kini sawit tak sejaya dulu.

Ceritanya bermula dua tahun lalu. Setelah merasa sukses sebagai petani plasma dengan mengelola dua hektare kebun sawit, dua tahun lalu warga Trans Sungai Pagar, Kampar, Riau, ini membeli empat hektare lahan. Uangnya ia pinjam dari PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Pekan Baru sebesar Rp 65 juta. Satu bulan ia mesti mencicil Rp 2,6 juta. Ditambah dengan kredit dua sepeda motor, ia harus menyisakan Rp 3,9 juta untuk membayar cicilan setiap bulan.

Nasib malang dimulai saat harga crude palm oil jeblok. Pendapatan tak ada, tanggungan tetap di pundak. Bulan lalu jatuh temponya telah terlewati. Itu artinya, selain harus tetap membayar cicilan, ia terkena denda. ”Ini yang bikin kepalaku suntuk,” kata Saut.

Pemimpin Bank Indonesia Pekan Baru Gatot Sugiono mengatakan, di Riau petani bermasalah seperti Saut ada ribuan orang. Data lembaganya menyebutkan sedikitnya kredit bank yang mengucur kepada sekitar 270 ribu petani mencapai Rp 1,2 triliun. Nah, dari jumlah itu, separuh lebih mengalami hambatan dalam pembayaran. Dia mengusulkan, agar nonperforming loan dapat ditekan, perlu dilakukan penjadwalan ulang. ”Ini hanya saran. Sepenuhnya wewenang bank pemberi kredit,” kata Gatot.

Mendapat permintaan seperti itu, Direktur Kredit BRI Sudaryanto Sudargo mengaku tak jadi soal. Menurut dia, nasabah terbesar BRI adalah korporasi, dan sampai saat ini tidak ada masalah. Pembayaran mereka lancar. Biasanya, kata dia, yang bermasalah adalah petani mandiri. Jika ada yang meminta penjadwalan ulang, akan diterima dengan tangan terbuka.

Ungkapan senada juga disampaikan Krishna Suparto. Menurut Direktur Korporasi BNI itu, gagal bayar petani kali ini lebih disebabkan oleh jatuhnya harga komoditas. ”Bukan karena mereka berniat ngemplang. Jadi pasti akan dibantu,” kata Krishna.

Walau harga CPO dua bulan ini terpuruk begitu dalam, dua anggota direksi bank pelat merah itu tetap yakin tahun depan sektor agrobisnis ini sangat prospektif. Alasannya, kata Sudaryanto, dari sisi harga, saat ini sudah mencapai titik terendah, sehingga potensi membal kembali sangat terbuka. ”Juga, komoditas seperti sawit sangat fundamental. Itu kebutuhan unggulan,” ujarnya.

Karena yakin sektor ini segera bangkit, Sudaryanto mengatakan tahun depan nilai kreditnya ada kemungkinan bertambah besar dari tahun ini yang Rp 2 triliun. Krishna juga berkata serupa walaupun sama-sama belum bisa memberikan angka pastinya.

MN, Jupernalis Samosir (Riau)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus