Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Purbaya Yudhi Sadewa
SEPERTI yang telah diindikasikan oleh Early Economic Indicator Danareksa beberapa bulan yang lalu, perekonomian Indonesia saat ini sudah memasuki fase perlambatan. Di tengah prospek resesi global, timbul kekhawatiran ekonomi Indonesia juga sedang menuju resesi, bahkan krisis 1997-1998 bisa terulang kembali. Apakah memang demikian?
Perekonomian Indonesian tumbuh dengan laju 6,1 persen pada triwulan ketiga 2008. Angka pertumbuhan ini lebih lambat daripada triwulan kedua 2008 yang masih mencapai 6,4 persen. Meskipun demikian, belanja rumah tangga masih tetap merupakan faktor pendukung utama pertumbuhan pada triwulan ketiga ini. Sektor itu tumbuh dengan laju tahunan 5,3 persen.
Sementara itu, investasi juga tumbuh cukup kuat, dengan angka pertumbuhan tahunan 12 persen. Belanja pemerintah pun ternyata tumbuh agak di luar dugaan (mengingat masih ada masalah dalam penyerapan anggaran pendapatan dan belanja negara), yakni 16,9 persen. Resesi global tampaknya belum membuat kinerja ekspor kita memburuk, paling tidak sampai triwulan ketiga tahun ini. Ekspor tumbuh dengan laju 14,3 persen. Masih kuatnya pertumbuhan ekspor menandakan pertumbuhan ekonomi dunia yang masih cukup baik sampai triwulan ketiga, yang membuat permintaan akan produk Indonesia di luar negeri tetap baik.
Tapi perkembangan yang terjadi di perekonomian global pada triwulan keempat membuat kita cemas akan prospek perekonomian kita. Memasuki triwulan keempat, tanda-tanda perekonomian global akan memasuki resesi terlihat semakin kuat. Akibatnya, banyak yang beranggapan bahwa perekonomian Indonesia juga sedang menuju resesi. Sebagian bahkan khawatir ekonomi Indonesia akan mengulang kembali krisis 1997-1998.
Faktor Pendukung
Di tengah kekhawatiran itu, sebenarnya ada faktor-faktor positif yang dapat mencegah ekonomi kita jatuh ke masa resesi berkepanjangan. Yang pertama adalah indikasi mulai membaiknya daya beli masyarakat kita. Indeks kepercayaan konsumen mengalami kenaikan terus-menerus sejak Juli 2008 dan pada Oktober IKK sudah naik ke level 80,3. Ini merupakan level tertinggi sejak Februari tahun ini.
Perbaikan indeks kepercayaan ini menggambarkan membaiknya daya beli masyarakat kita di tengah mulai makin terkendalinya harga pangan. Indeks yang membaik membuat rumah tangga kita cenderung tidak akan mengurangi belanjanya. Artinya, dari sisi konsumen masih ada daya dorong yang cukup kuat terhadap pertumbuhan ekonomi, mengingat belanja rumah tangga menyumbang sekitar 65 persen terhadap produk domestik bruto.
Selain itu, tekanan inflasi dalam bulan-bulan mendatang tampaknya akan terus menurun. Hal ini terutama didukung oleh turunnya harga minyak dunia dan harga komoditas pangan dunia. Jadi, walaupun laju inflasi tahunan saat ini sulit untuk turun ke bawah 10 persen, tahun depan sudah hampir dipastikan inflasi kembali menjadi single digit lagi ke sekitar 7,6 persen pada akhir 2009. Artinya, daya beli masyarakat tidak akan tergerus lagi dalam waktu dekat ini.
Turunnya tekanan inflasi akan memberikan ruang terhadap Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga. Diperkirakan BI akan mulai menurunkan suku bunga pada triwulan pertama 2009. Turunnya suku bunga akan mengurangi ketatnya likuiditas di perbankan kita. Selain itu, turunnya suku bunga berarti biaya meminjam ke bank akan turun, sehingga konsumen ataupun dunia usaha menjadi tidak enggan lagi meminjam uang dari bank. Akibatnya, aktivitas konsumsi dan investasi pun akan kembali meningkat. Menurut perhitungan Danareksa Research Institute, ekonomi Indonesia cenderung akan mengalami akselerasi yang cepat pada saat suku bunga SBI turun ke bawah sembilan persen.
Selain itu, keadaan sektor perbankan kita tidak seburuk yang digambarkan banyak kalangan. Eksposur langsung sistem perbankan kita terhadap kredit subprime di Amerika Serikat boleh dibilang hampir tidak ada. Jumlah kredit macet sampai saat ini pun masih relatif terkendali. Memang ada kekhawatiran akan potensi peningkatan kredit macet di sektor perkebunan karena harga produk komoditas perkebunan yang turun tajam akhir-akhir ini. Namun, dalam beberapa hari ini, harga produk perkebunan tampaknya sudah mulai membaik. Harga minyak sawit mentah (CPO), misalnya, sudah mulai rebound dari titik terendah yang dicapai pada harga US$ 435 per ton pada 27 Oktober menjadi US$ 480 per ton sebulan kemudian. Keadaan ini menimbulkan harapan bahwa dampak melemahnya kinerja sektor perkebunan terhadap kinerja perbankan tidak akan seburuk yang dibayangkan sebelumnya.
Keadaan perbankan kita yang relatif masih baik tertangkap oleh banking pressure index (BPI) yang dibuat oleh Danareksa Research Institute. Indeks ini menggambarkan tekanan yang dialami oleh sektor perbankan kita. Cara membaca BPI cukup sederhana: BPI di atas 0,5 menunjukkan tekanan di perbankan kita amat besar dan peluang terjadinya systemic default (kebangkrutan massal) pada perbankan kita amat besar. BPI di bawah 0,5 memberi indikasi bahwa sektor perbankan kita cukup sehat.
Indeks itu memang mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari Mei ke Agustus 2008. Tapi nilai BPI pada September 2008 berada pada level negatif 0,03. Artinya, keadaan sistem perbankan kita masih cukup baik, jauh lebih baik daripada keadaan pada 2001. Pendeknya, BPI saat ini tidak menunjukkan potensi terjadinya systemic default pada sistem perbankan kita.
Gambar 1. Banking Pressure Index Menunjukkan Keadaan Perbankan Masih Sehat
Sementara itu, ketatnya likuiditas yang dialami perbankan kita tampaknya juga akan semakin berkurang pada akhir tahun ini. Seperti yang sering diberitakan, salah satu penyebab ketatnya likuiditas yang terjadi di sistem perbankan kita adalah lambatnya realisasi anggaran pendapatan dan belanja negara. Dengan hampir berakhirnya tahun anggaran, pemerintah segera membelanjakan uangnya dalam dua bulan terakhir 2008 ini. Jadi diperkirakan akan ada tambahan dana baru yang masuk ke sistem perbankan kita.
Keterpurukan rupiah akhir-akhir ini memang memberi kesan kita akan kembali mengalami krisis mata uang lagi. Tapi diperkirakan nilai tukar rupiah akan kembali menguat pada awal 2009. Memang menjelang akhir tahun permintaan terhadap dolar cenderung tinggi (perusahaan perlu untuk membayar utang atau untuk keperluan berlibur ke luar negeri). Namun pada awal tahun biasanya permintaan akan dolar tidak sebanyak pada akhir tahun. Di samping itu, laju inflasi Januari 2009 diperkirakan akan lebih rendah dibanding Januari 2008, karena berkurangnya tekanan harga bahan pangan.
Masih kuatnya pertumbuhan ekonomi domestik diperkirakan juga akan menaikkan permintaan terhadap rupiah, sehingga pebisnis yang saat ini asyik berspekulasi dolar pun akan terpaksa menjual dolarnya untuk membiayai bisnisnya. Ini semua akan menimbulkan sentimen positif terhadap rupiah, sehingga rupiah akan cenderung menguat lagi.
Adapun dampak pelemahan global terhadap ekonomi kita juga tampaknya tidak akan sebesar yang dialami negara tetangga kita. Hal ini terjadi karena sumbangan ekspor terhadap produk domestik bruto untuk Indonesia hanya sekitar 29 persen. Sementara itu, untuk Singapura, Malaysia, dan Thailand, sumbangan ekspornya terhadap PDB berturut-turut sekitar 230 persen, 110 persen, dan 73 persen.
Alhasil, ekonomi Indonesia masih dapat tumbuh lebih cepat dibanding negara tetangga kita bila nanti ekonomi global benar-benar mengalami kontraksi. Keadaan ini akan membuat negara kita relatif lebih menarik bagi investor dibanding negara tetangga kita. Ini tentunya juga akan memberikan sentimen positif tambahan terhadap rupiah.
Perlambatan ekonomi global memang akan berdampak negatif terhadap Indonesia. Namun ada faktor-faktor domestik di perekonomian kita yang dapat mengurangi dampak negatif tersebut. Selama masyarakat tidak panik (dengan beramai-ramai memburu dolar atau beramai-ramai menarik dana dari perbankan, misalnya) dan pemerintah tetap melaksanakan dengan baik program-program pembangunan yang sudah dicanangkan, rasanya perekonomian Indonesia akan dapat terhindar dari resesi, bahkan masih akan tumbuh dengan cukup lumayan cepat pada 2009.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo