GARA-gara memuat berita, lengkap dengan fotonya, dua harian dan sebuah majalah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Samarinda, Kalimantan Timur. Harian Mimbar Masyarakat dari Samarinda, dan harian Merdeka serta majalah Detektif & Romantika, Jakarta, Selasa pekan lalu, divonis membayar ganti rugi kepada penggugat, masing-masing Rp 250.000 dan membayar ongkos perkara secara bersama-sama Rp 175.000. Ketiga penerbitan itu oleh pengadilan dinyatakan bersalah telah mencemarkan nama baik Fachrie Doemas, 43, karena telah memuat fotonya dalam sebuah berita yang belum selesai. Perkara yang tengah berlangsung itu adalah kasus perebutan sebuah perusahaan, antara Mustafa yang dibela oleh Fachrie dan Abdullah Baruga. Dalam perkara itu, Fachrie, yang menang dalam pengadilan tingkat pertama tapi kalah di pengadilan banding, dituduh membajak surat kasasi yang akan dikirimkan ke Mahkamah Agung di Jakarta. Berita itu yang dimuat dalam harian Merdeka, November 1978, kemudian juga ramai-ramai diberitakan oleh 11 media massa, di Samarinda, dan beberapa media massa Jakarta, seperti Topik, Detektif & Romantika, Kompas, dan Sinar Harapan. Merasa namanya dicemarkan oleh pemberitaan-pemberitaan di beberapa media massa itu, Fachrie Doemas, awal 1984, menggugat 11 pemimpin redaksi penerbitan itu, serta lawan sengketanya plus para pembelanya. Setelah melalui 30 kali masa persidangan, majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda yang dipimpin oleh Porkas Lubis, S.H., akhirnya mengabulkan gugatan Fachrie terhadap tiga penerbitan dan keempat tergugat lainnya. Putusan sidang itu tanpa dihadiri oleh penggugat, dan tergugat lainnya, kecuali kuasa hukum Kompas, dan kuasa hukum lima surat kabar dari Samarinda. Menurut hakim, tiga penerbitan itu dianggap telah melampaui batas-batas wewenang sebagai pers nasional. Yang bertentangan dengan pasal 3 dan 4 Kode Etik Jurnalistik dan tidak menghormati asas praduga tak bersalah. Misalnya, untuk SK Mimbar Masyarakat, meskipun menulis nama dengan inisial, pemuatan foto dinilai majelis sudah melanggar kode etik. Setelah membacakan putusannya, Hakim Porkas Lubis tidak bersedia memberikan keterangan. "Apa yang terdapat dalam putusan, itulah pendapat dan kesimpulan kami. Jika tidak puas, silakan banding, di sana putusan kami diuji," tutur Porkas. Memang sudah bisa diduga, para pimpinan media massa itu tak akan tinggal diam. "Saya belum mengetahui pasti apa pertimbangan hakim atas vonis itu. Yang penting, saya akan banding," ujar Drs. H. Alwy A.S., Pemimpin Redaksi Mimbar Masyarakat. Begitu juga pendapat Syamsul Rakan Chaniago, S.H., yang menjadi kuasa hukum koran-koran Samarinda. "Putusan hakim terlalu cepat, sehingga tidak berdasarkan hukum. Alasannya, kalau memang beberapa media massa yang memuat foto dan nama Fachrie diklasifikasikan bertentangan dengan kode etik, seharusnya dia melaporkan dulu ke Dewan Pers. Jika Dewan Pers menyatakan bersalah, bolehlah dia melakukan tuntutan," katanya. Tapi bagi H. Rosihan Anwar, Ketua Dewan Kehormatan PWI, prosedur ini tak perlu dijalankan. "Tidak perlu ke Dewan Pers segala, Fachrie sebagai warga negara yang merasa dirinya dirugikan berhak menuntut melalui pengadilan," ujar Rosihan Anwar. Memang didalam kode etik, tambah Rosihan, jika perkaranya belum diputuskan, sebaiknya fotonya jangan dimuat. Kalaupun beritanya dibuat, sebaiknya nama inisial saja agar tidak melanggar kode etik. Masalahnya, hanya soal interpretasi saja, sebab ada hakim yang memperbolehkan dan ada yang tidak. Kasus sampai jatuh vonis pengadilan gara-gara pemuatan berita dan foto serupa ini termasuk kejadian yang langka. Mengapa cuma tiga penerbitan yang dihukum? Majelis hakim membebaskan yang lainnya karena selama pemberitaannya selain tak memuat foto juga tidak pernah mencantumkan nama Fachrie secara jelas, kecuali inisial. "Saya cukup puas atas putusan itu. Uangnya tidak penting, bahkan tidak dieksekusi pun tidak apa-apa," tutur Fachrie dengan tenang. Rudy Novrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini