Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Trubus berpaling ke kota

Isi trubus semula ditujukan untuk para petani desa. setelah diteliti, para pembacanya bukan petani, tapi mereka yang berminat kepada pertanian. setelah di sesuaikan isinya, oplah naik. (pdk)

7 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUSAHNYA mencari bentuk media informasi yang tepat buat petani dibuktikan oleh Trubus. Majalah bulanan yang terbit pada Desember 1969 ini pada mulanya dimaksudkan sebagai media komunikasi dengan masyarakat petani guna menyampaikan pikiran baru, pengalaman kerja yang lebih baik dan efisien, serta memperkenalkan teknologi tepat guna. Tapi berdasar penelitian yang dilakukan oleh Trubus sendiri pada 1973 dan 1976, dan oleh LP3ES pada 1978 dan 1980, ternyata pembaca majalah bulanan ini bukan petani. "Tapi pembacanya adalah orang-orang kota yang tertarik pada pertanian," kata F. Rahardi, 35, Wakil Pemimpin Redaksi Trubus. Mungkin itu sebabnya oplah majalah itu pada 1980 rata-rata hanya 8.000 per bulan. Pembaca, yang orang kota, tentunya tak begitu antusias dengan isi Trubus yang ditujukan untuk para petani di desa. "Sementara petani mengira ini majalah pemerintah, jadi mereka bisa memperoleh dengan gratis," kata Rahardi kepada Gatot Triyanto dari TEMPO. "Selain itu, sebagian petani kurang bisa memahami informasi lewat bacaan." Dengan kata lain, boleh dianggap, bentuk majalah ternyata kurang cocok buat media informasi bagi petani. Maka, apa boleh buat, pada 1983 orientasi majalah ini diubah dari desa ke kota. Niat memberikan penyuluhan buat petani terpaksa diurungkan. Hasilnya memang ada. Dengan mengubah orientasi artikel dari membahas, misalnya, tanaman jagung dan ketela menjadi tanaman buah, tanaman hias, dan tanaman industri, di tahun 1985 oplah Trubus menjadi rata-rata 49.000 per bulan. Tapi majalah pertanian satu-satunya di Indonesia ini tetap menghadapi satu persoalan yang jadi masalah sejak terbit. Yakni, mencari penulis baik yang memahami pertaman, atau menemukan ahli pertanian yang pintar menulis. "Dulu sering terdengar kritik dari IPB, misalnya, tentang tulisan di Trubus. Mereka menyebut dangkal karena bukan datang dari ahlinya," tutur Rahardi, orang Ambarawa, Jawa Tengah, seorang otodidak, yang juga dikenal sebagai penulis cerita pendek itu. "Sebaliknya, bila ada tulisan dari seorang ahli, wartawan kami yang dulu kebanyakan datang dari Sekolah Tinggi Publisistik menilai tulisan itu susah dipahami." Akhirnya Trubus, yang dulu separuh isi majalah datang dari luar redaksi, merasa sebaiknya menyiapkan sendiri isi rubrik. Itu berarti, wartawannya harus juga melakukan wawancara dengan para ahli pertanian. Maka, dirasa perlu memiliki wartawan berlatar belakang pendidikan pertanian yang tertarik pula pada kegiatan tulis-menulis. Tak mudah. Diharapkan ada sejak 1983, tapi baru di awal tahun ini bisa diterima empat sarjana IPB dan seorang dari fakultas pertanian sebuah universitas. Dan buktinya, dengan tambahan tenaga tersebut, oplah naik. Tenaga komunikasi pertanian memang perlu, agaknya. Yang juga perlu, segera ditemukan media informasi yang cocok buat petani di desa. Misalnya, agar kesejahteraan mereka meningkat pula ketika swasembada beras sudah tercapai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus