Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perdagangan Budi Santoso mengungkap PT Artha Eka Global Asia (AEGA) terbukti melakukan pengurangan takaran MinyaKita. Menurut Budi, PT AEGA mengemas dan mendistribusikan MinyaKita dengan volume 0,8 liter dengan menggunakan minyak dari non domestic market obligation (DMO).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi berujar, semestinya MinyaKita hanya dihasilkan dari minyak DMO alih-alih minyak komersial. "Perusahaannya memang nakal ya. Dia kan ingin memproduksi banyak. Makanya dia memproduksi biar enggak ketahuan mungkin dia pakai yang non-DMO, dengan pakai minyak komersial," ujar Budi di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, pada Kamis, 13 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggunaan minyak DMO untuk MinyaKita dimaksudkan untuk menjamin stok bahan baku minyak goreng di dalam negeri tercukupi, di saat eksportir ingin memasarkan komoditas kelapa sawit ke pasar internasional. Sehingga perusahaan yang ingin mengekspor minyak sawit mentah (crude palm oil) harus terlebih dahulu menyalurkan MinyaKita ke pasar. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2024 tentang Minyak Goreng Sawit Kemasan Dan Tata Kelola Minyak Goreng Rakyat.
Budi menilai saat ini ketentuan DMO sudah terpenuhi sesuai kuota. Sehingga dengan jumlah DMO dari produsen yang terbatas, tapi jumlah distributornya melimpah, maka Budi menilai celah itu bisa menjadi kesempatan untuk mencurangi penjualan MinyaKita. "Dia ingin jualan, karena sudah enggak dapat DMO, karena DMO-nya sudah cukup, dia jualan pakai minyak komersial. Itu bisa dilakukan. Artinya itu pelanggaran karena menggunakan merek Minyakita, sementara itu bukan DMO," kata Budi.
Selain PT AEGA, Budi menegaskan modus mencurangi isi dan volume MinyaKita juga dilakukan oleh PT Navyta Nabati Indonesia yang gudangnya telah disegel pada 24 Januari 2025. "Banyak yang menggunakan non-DMO untuk dijual yang tidak sesuai ukuran itu," ucap Budi melanjutkan.
Pernyataan itu juga diaminkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kemendag Moga Simatupang. Moga menyebut terjadi ketimpangan produksi minyak DMO dan kebutuhan minyak goreng di Indonesia. Menurut Moga produksi minyak DMO tiap bulan berkisar antara 160.000 sampai 170.000 ribu ton minyak setiap bulan. Sementara Moga mentaksir kebutuhan minyak goreng mencapai 257.000 ton per bulannya.
"Untuk itu, seperti kasus ini karena pasokan DMO-nya tidak banyak, hak ekspornya itu tidak banyak, sementara dia mempunyai (lisensi) brand MinyaKita maka diisi dengan minyak non-DMO," ujar Moga. Sebelumnya Moga juga pernah menyinggung modus produsen mengurangi volume dan menggunakan minyak non DMO saat melakukan inspeksi mendadak di PT Jujur Sentosa, Tangerang, Banten serta PT Binamas Karya Fausta Jakarta Utara, kemarin.
"Dengan mengurangi volume isi, harga non-DMO disamakan dengan harga eceran tertinggi (HET) MinyaKita. Saat ini, barang bukti sudah disita Bareskrim," ujar Moga dalam keterangan resmi pada Rabu, 12 Maret 2025. Moga mengatakan bagi produsen yang mengurangi volume di luar batas toleransi 15 mililiter, dapat dikenakan sanksi lima tahun penjara atau denda Rp 2 miliar sesuai Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.