Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Untuk orang superkaya?

Kebijakan PBB dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. kabarnya, PBB akan dijadikan pajak progresif dengan pengaturan NJKP.

29 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKAN ada gereget baru pada pajak bumi dan bangunan (PBB) pekan-pekan ini. Isyarat itu santer dibicarakan di kalangan pengamat pajak. Seorang pengamat yang tak mau disebut namanya mengatakan bahwa rancangan PBB yang baru sudah sampai di kantor presiden di Bina Graha. "Tinggal menunggu persetujuan beliau," katanya. Masalahnya, seberapa besarkah perubahan PBB hingga memerlukan sebuah keputusan presiden (keppres)? Pasti bukan "penyesuaian" nilai jual objek pajak (NJOP) seperti yang terjadi tahun lalu. Kalau hanya itu, tentu cukup dengan surat keputusan menteri. Lalu? "Pokoknya, yang kaya harus membayar lebih banyak, sedangkan orang miskin, kalau perlu, tidak usah. Ada semacam gradasi pembayaran," kata sumber TEMPO itu. Belum jelas betul bagaimana gradasi itu akan disusun. Tapi, agaknya, pajak yang sebagian besar hasilnya dikembalikan ke kas daerah ini akan dibuat progresif mirip pajak penghasilan. Bukan dengan mengubah tarif, tapi cukup dengan bobot nilai jual kena pajak (NJKP). Soalnya, tarif PBB sebesar 0,5% itu ditentukan dengan undang- undang. Dan karena itu, tarif ini hanya dapat diubah setelah dasar hukumnya direvisi. Dan itu tak mungkin lewat keppres. Sementara itu, NJKP yang hanya diberi nilai 20%, menurut undang-undang, dimungkinkan dimekarkan hingga 100%. Selama ini, perhitungan PBB didasarkan atas rumus: tarif 0.5% x NJKP 20% x NJOP. Dengan memberi bobot yang berlainan pada NJKP itu, sesuai dengan nilai tanah, jadilah PBB sebagai pajak progresif. Sebaliknya, dengan sistem konstanta NJKP 20% seperti selama ini, kata seorang pengamat, pajak tanah di Indonesia menjadi yang paling murah di dunia. Di negara lain, NJKP nilainya 100% (tak ada). Perhitungan pajak hanya didasarkan atas harga tanah dikalikan dengan persentase tarif. Singkatnya, kebijaksanaan pajak tanah di negeri ini banyak bertumpu pada aspek gotong-royong saling menanggung beban biaya pembangunan. Tapi, ketika nilai tanah makin melambung, sistem "pukul rata" itu tak bisa dipertahankan lagi. Karena itu, lalu muncul desakan membuat pajak khusus PBB bagi orang superkaya. Lima tahun lalu, ketika masih menjabat Menteri Dalam Negeri, Rudini juga melontarkan gagasan pajak PBB khusus ini. "Orang-orang seperti itu (maksudnya superkaya) pantas dikenai pajak 100 kali lipat dari tarif PBB yang sebenarnya," katanya dalam acara Rapat Koordinasi Nasional Dipenda (Dinas Pendapatan Daerah). Namun, gagasan Rudini itu menguap begitu saja, sampai tersiar kabar burung tadi. Tapi Direktur Jenderal Pajak Fuad Bawazier membantah adanya aturan baru itu. "Saya belum melihat aturan itu," katanya serius. Yang jelas, pihaknya optimistis target penerimaan pajak, termasuk PBB, yang dibebankan RAPBN 1994/1995 akan tercapai. Khusus untuk penagihan PBB yang sering menunggak, Fuad akan memakai jurus dari pintu ke pintu. "Apa boleh buat, tahun ini saja tagihan yang belum masuk ada 20%," katanya. Tingginya angka tunggak-an PBB disebabkan oleh jumlah wajib pajak yang luar biasa besar. Di seluruh Indonesia ada sekitar 40 juta wajib pajak PBB, yang tersebar sampai desa-desa terpencil, sedangkan wajib pajak lainnya hanya sekitar 5,3 juta. "Itu sebabnya, PBB ini sukar digenjot," kata Fuad. Maka, ia pun bertekad terus meningkatkan coverage ratio. Untuk ini, aparat pajak tak bisa bekerja sendirian. Ada faktor yang lebih menentukan: kesiapan aparat daerah.Dwi S. Irawanto dan Sri Wahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum