INI salah satu contoh bagaimana "kebocoran" 30%, seperti yang disinyalir Profesor Sumitro Djojohadikusuma, bisa terjadi. Hitung saja, dari 3 juta satuan sambungan telepon (SST) yang dibangun PT Telkom selama ini ternyata cuma 1,9 juta yang bisa diserap pasar. Sisanya, lebih dari satu juta SST, tak laku dijual. Kalau itu benar, berapa besar tingkat pemborosan di BUMN ini? Untuk membangun satu SST saja rata-rata dihabiskan dana US$ 2.000. Itu berarti, pengadaan satu juta SST telah meludeskan dana Rp 4 triliun. Ini sama dengan enam kali anggaran Pos dan Telekomunikasi RAPBN 1994/95, atau sepuluh kali laba PT Telkom sepanjang tahun 1992. Dengan tingkat bunga 15%, gampang dihitung berapa rente yang saban tahun harus ditanggung Telkom. Belum lagi sebagian dana pembangunannya diambil dari pinjaman luar negeri. Kegagalan pemasaran telepon ini dibeberkan oleh Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Joop Ave ketika memberi pengarahan pada Rapat Pimpinan Telkom di Bandung pekan lalu. Namun, angka yang dikemukakan begitu tinggi, hingga sulit dipercaya. Apalagi di beberapa tempat, tingkat permintaan pemasangan telepon tak bisa dipenuhi. Ribuan orang di Jakarta, bahkan sampai termimpi-mimpi untuk mendengarkan dering ajaib itu di dalam rumah mereka. Di Jawa Timur juga begitu. Bahkan, calon investor asing sering dikecewakan. Kurangnya fasilitas telepon, sampai jadi alasan untuk keengganan mereka menanam modal di sini. Jadi, bagaimana ada sejuta SST yang menganggur? Menurut Menteri Joop, kegagalan itu karena Telkom terlalu ketat menerapkan rumus pemasaran. Selama ini Telkom lebih mengutamakan pelayanan pada kalangan usahawan. Mereka diberi jatah 60% dari seluruh sambungan yang dibangun. Sisanya dibagi antara perumahan dan pemerintahan. Pola ini dianggap menguntungkan. Karena selama ini, berdasarkan data tingkat pemakaian, kalangan bisnis menghabiskan lebih banyak pulsa. Menurut Direktur Pelayanan PT Telkom, H. Suratno, kalangan bisnis memberikan kontribusi pendapatan sebesar 80%, perumahan hanya 20%. Tapi, dengan pesatnya pertumbuhan permukiman, pembagian porsi ini dinilai Joop sudah usang. Ia ingin porsi bisnis dikurangi menjadi 50%, lalu 30% perumahan, dan 20% pemerintahan. Itu pun harus disertai dengan taktik layanan yang jitu. "Giatkan pemasaran keliling dan lakukan pendekatan yang lebih luwes," katanya. Sesungguhnya keluwesan itu bukan hal baru. Setidaknya, apa yang dilakukan Kepala Wilayah Telekomunikasi IV Jakarta, John Welly, sudah menunjukkan hal itu. Empat tahun lalu, ketika terjadi boom properti dan perkantoran, John memasarkan 70% SST-nya untuk kalangan bisnis. Tapi setahun kemudian, ketika bisnis melesu gara-gara kebijakan uang ketat, ia banting setir: 75% untuk perumahan. Karena itu, masalahnya bukan sekadar keluwesan membagi porsi. Tapi, seperti diakui Suratno, soal ketajaman perencanaan. Di Sumatera Barat, misalnya, SST berlebih karena survei pasar meleset. Itu terjadi lantaran salah memilih indikator kondisi fisik rumah penduduk. Padahal, banyak rumah di sana hanya sebagai tujuan pulang kampung bagi para perantau Minang. Menurut Suratno, akurasi ini juga tergantung pemerintah daerah sebagai nara sumber rencana tata ruang. Sering terjadi, kawasan yang direncanakan menjadi kompleks perumahan batal dibangun. Padahal, "Telkom sudah konsentrasi ke sana." Di samping itu, sebagai BUMN, sering kali Telkom kebagian tugas sosial, misalnya membuka isolasi daerah, di sebuah pulau di Kepulauan Riau, misalnya. Kendati tak menguntungkan, mau tak mau Telkom harus membuka jaringan di sana agar penduduknya tak semakin terpencil.Dwi S. Irawanto, Linda Djalil (Jakarta), dan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini