MIRIP gerilyawan kota, tiba-tiba sekitar 50 orang menyerbu rumah Mindawati, anak bos Panin Group Mu'min Ali Gunawan, Sabtu pagi dua pekan lalu. Rumah yang terletak di Permata Hijau, sebuah kawasan elite di Jakarta Selatan, ini mendadak riuh. Tapi niat mereka bertemu dengan penghuni rumah ditolak. "Ibu sedang keluar," kata satpam yang menjaga gerbang. Para "gerilyawan" tak mundur. Mereka bertahan di depan pintu masuk. Mu'min Ali Gunawan, yang tinggal tak jauh dari rumah itu, rupanya jengkel. Ia melaporkan para "penyerbu" itu ke pos polisi terdekat. Ketika tiga polisi datang, Artin Sihombing, penyerbu yang dianggap senior, menjawab bahwa kedatangan mereka bukan untuk merusak. "Kami hanya minta pertanggungjawaban Tony Santosa dan Mu'min," katanya. Tony Santosa adalah suami Mindawati. Akhirnya, polisi hanya mengawasi mereka dari jauh. Tak lama kemudian, sebuah jip Trooper datang. "Itu dia Mu'min. Ayo turun," teriak mereka. Memang betul, ternyata Mu'minlah yang datang. Ia mengemudikan sendiri mobilnya. Melihat kegarangan tamu yang tak diundang itu, Mu'min rupanya ngeri. Apalagi, lampu kamera TV berkilauan. Ia pun segera berputar, menekan gas, meninggalkan orang-orang itu. Para penyerbu itu adalah korban penipuan menantu Mu'min, Tony Santosa. Lewat Gunung Sion Valasindo, perusahaan valuta asing yang dipimpinnya, Tony berhasil meraup duit mereka sebanyak hampir Rp 30 miliar. Penipuan itu dilakukan tahun 1990-1991. Caranya, Tony menjual dolar Singapura dengan harga sangat murah, kadang-kadang sampai 30 poin (Rp 30) di bawah kurs resmi Bank Indonesia (BI). Orang pun berduyun-duyun datang. Tony tidak membayar dolar itu dengan tunai, tapi lewat cek. Pada awalnya cek itu gampang dicairkan karena dananya ada. Tapi, mulai pertengahan 1991, cek Tony tidak bisa dicairkan. Pada saat itu, Tony sudah melarikan diri dan memboyong duit nasabah. Artin Sihombing, misalnya, kehilangan Rp 3 miliar, Surya Lestari amblas Rp 2,6 miliar, dan Kartikawati rugi Rp 1,7 miliar (TEMPO, 12 Desember 1992, Kriminalitas). Karena tak berhasil menjumpai Mu'min, nasabah mengadu ke Panglima ABRI. Mereka juga mengirim surat ke Kantor Wakil Presiden lewat Kotak Pos 5000. Mereka menuntut agar Pemerintah menyelesaikan kasusnya seperti menuntaskan perkara Bank Summa. "Aset Tony Santosa kan banyak. Itu semua bisa dijual untuk mengganti uang kami," kata Artin. Mengapa mereka sampai tertipu? Seorang nasabah menceritakan, harga yang ditawarkan Gunung Sion sampai 30 poin di bawah kurs BI itu sangat menggiurkan. Apalagi, dalam pergaulan sehari-hari, Tony adalah pribadi yang menyenangkan. Nasabah ini sama sekali tidak menyangka Tony bermaksud jelek. "Apalagi ia adalah menantu Mu'min, jadi kami percaya," tuturnya. Harga yang ditawarkan Gunung Sion memang sangat miring dibandingkan dengan kurs money changer umumnya. Perusahaan valas Semesta Perdana Jaya, misalnya, paling hanya mengambil selisih satu atau dua poin dari kurs resmi BI. Langkah itu diambil karena persaingan sangat ketat. "Jadi, kami mengandalkan omzet," tutur Bambang Wijatmoko, direkturnya. Bahwa Gunung Sion menukar duit nasabah dengan cek, itu juga salah. Menurut seorang pejabat BI, berdasarkan Pakto 1988, perusahaan valas harus membayar duit nasabah secara tunai. Diakuinya, meski peraturan cukup ketat, pengawasan BI belum efektif. "Perusahaannya ribuan, sedangkan jumlah orang kita kan sedikit," tuturnya seakan membela diri.Iwan Q.H. dan G. Sugrahetty Dyan K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini