SETIAP hari menjelang jam 4 petang, beberapa petugas mulai
menempati posisi di kanan kiri pintu keluar para buruh rokok
kretek di Kudus. Beberapa petugas kepolisian dan Wanra ikut
berjaga-jaga. Petugas pabrik itu terdiri dari wanita, disebut
tukang gledah. Mereka setiap sore memang menggeledah satu per
satu pekerja pabrik, yang umumnya wanita itu, saat mereka mau
pulang. Sekujur tubuhnya digerayangi, terutama tempat-tempat
yang dipandang bisa untuk menyimpan rokok seperti di kutang
sampai ikat pinggang.
Itulah pemandangan yang biasa terdapat di banyak pabrik rokok.
"Bayangkan kalau setiap pekerja setiap hari membawa satu batang
rokok saja, itu berarti puluhan ribu batang bisa lenyap," kata
Suharso dari bagian administrasi Perusahaan Rokok Djarum Kudus.
Bagaimana kalau misalnya kalau ada yang kedapatan membawa rokok?
"Itu segera harus dilaporkan, kalau tidak nanti ya saya ini yang
dicurigai," kata Ny. Maryam, 45 tahun, salah seorang tukang
gledah di pabrik Jambu Bol. Menurut Maryam, bekerja di pabrik
rokok itu umumnya memang ketat. Selain menelan waktu 8 sampai 9
jam sehari, terlambat setengah jam saja sudah disuruh pulang.
Penghasilannya juga tergolong kecil, cukup untuk sekali makan
siang di warung nasi Jakarta. Seperti Sri Kasmi, 35 tahun, yang
menjadi tukang nyontong -- tukang memasukkan batangan rokok ke
dalam bungkusnya -- mendapat upah borongan.
Kelompok Sri Kasmi ini ada 6 orang yang setiap harinya rata-rata
menghasilkan 800 bungkus dengan uang sekitar Rp 2.000. Jadi
setiap orangnya cuma menerima rata-rata Rp 350 sehari. Bagi Sri
Kasmi yang janda dan harus menghidupi dua anak sulit dibayangkan
bagaimana ia bisa menutupi kebutuhan minimalnya. "Tapi untung
saya ini masih dibantu kakak," katanya. Barangkali itu pula yang
membuat dia betah bekerja di keluarga Djarum selama 14 tahun.
Masuk mulai jam 6 pagi sampai jam 3 sore, dengan istirahat satu
jam.
Suasana yang sama juga tampak di PT Senang Umum di Pematang
Siantar itu. Untuk menggulung rokok setiap 1.000 batang,
seorang buruh wanita itu mendapat Rp 200. Bekerja dari jam 7
pagi sampai jam 6 sore dengan istirahat satu jam, seorang buruh
yang cekatan bisa menggulung sampai 5.000 batang. Tapi tak
semua buruh wanita di sana secekatan Kasiyah, 19 tahun, yang
berparas lumayan itu. Dan menurut Humasnya, M. Sitompul, upahnya
di SU itu yang terbesar dibandingkan pabrik rokok lain di sana.
Berbeda dengan Kasiyah yang sudah siap ke pabrik sejak Subuh,
adalah Kartik, 18 tahun, yang bekerja di PT Kisaran Tobacco
Coy. Mengaku bekerja untuk pengisi waktu, gadis ini sudah
senang menerima Rp 250 sehari. Tapi bagi teman-teman sebaya
Kartik yang harus lembur di pabrik rokok putih Kisaran itu,
dari jam 5 sore hingga jam 7 malam, mereka bisa membawa pulang
Rp 50 alias upah lembur duapuluh lima perak sejamnya.
Kalau Sampai Kawin
Para wanita itu, seperti di PT Senang Umum, semuanya masih
belum kawin. Dan begitu seorang berkeluarga, dengan sendirinya
mereka dimohon untuk meninggalkan pekerjaanya. "Secara
peraturan memang tidak ada, tapi prakteknya demikian," kata
Sitompul. Tak begitu jelas apakah ketentuan yang 'melarang'
kawin itu juga dianut perusahaan rokok kretek lainnya. Tapi ada
anggapan manajemen pabrik itu bahwa "wanita yang sudah kawin
itu tak akan cekatan lagi menggulung rokok," kata sang Humas
pula.
Barangkali yang terasa mendingan adalah para buruh yang bekerja
di pabrik Gudang Garam. Rata-rata mendapat Rp 430 per 1.000
bungkus, seorang buruh umumnya menghasilkan 4.000 batang sehari.
Selain itu ada perangsang kecil-kecilan berupa 3 batang rokok
sehari masuk. Karena tidak semua merokok, banyak yang menjual
hasil pembagian itu dengan harga Rp 50 per 3 batang itu.
Akibatnya, tak sulit mencari rokok ketengan di warung-warung
Kediri.
Tapi yang menyenangkan adalah tempat menginap yang disediakan GG
bagi buruhnya yang datang dari luar kota. Setelah enam unit
pabriknya selesai, kini sedang dibangun perumahan untuk 350
karyawan dan asrama untuk 5.000 buruh bujangan. Juga mesjid,
rumah sakit dan bioskop untuk kalangan GG. Sementara itu, dari
25.000 buruhnya, sebanyak 10.000 masih indekos di rumah-rumah
penduduk sekitar pabrik. Ada rumah yang menampung sampai 20
buruh dengan bayaran cuma Rp 400/bulan. Tentu saja tanpa makan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini