Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Untuk Sekali Makan Siang

Di pabrik rokok banyak memakai tenaga kerja wanita bila saatnya pulang maka buruh itu digeledah satu persatu. Bila ada yang membawa rokok maka segera dilaporkan. (eb)

21 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP hari menjelang jam 4 petang, beberapa petugas mulai menempati posisi di kanan kiri pintu keluar para buruh rokok kretek di Kudus. Beberapa petugas kepolisian dan Wanra ikut berjaga-jaga. Petugas pabrik itu terdiri dari wanita, disebut tukang gledah. Mereka setiap sore memang menggeledah satu per satu pekerja pabrik, yang umumnya wanita itu, saat mereka mau pulang. Sekujur tubuhnya digerayangi, terutama tempat-tempat yang dipandang bisa untuk menyimpan rokok seperti di kutang sampai ikat pinggang. Itulah pemandangan yang biasa terdapat di banyak pabrik rokok. "Bayangkan kalau setiap pekerja setiap hari membawa satu batang rokok saja, itu berarti puluhan ribu batang bisa lenyap," kata Suharso dari bagian administrasi Perusahaan Rokok Djarum Kudus. Bagaimana kalau misalnya kalau ada yang kedapatan membawa rokok? "Itu segera harus dilaporkan, kalau tidak nanti ya saya ini yang dicurigai," kata Ny. Maryam, 45 tahun, salah seorang tukang gledah di pabrik Jambu Bol. Menurut Maryam, bekerja di pabrik rokok itu umumnya memang ketat. Selain menelan waktu 8 sampai 9 jam sehari, terlambat setengah jam saja sudah disuruh pulang. Penghasilannya juga tergolong kecil, cukup untuk sekali makan siang di warung nasi Jakarta. Seperti Sri Kasmi, 35 tahun, yang menjadi tukang nyontong -- tukang memasukkan batangan rokok ke dalam bungkusnya -- mendapat upah borongan. Kelompok Sri Kasmi ini ada 6 orang yang setiap harinya rata-rata menghasilkan 800 bungkus dengan uang sekitar Rp 2.000. Jadi setiap orangnya cuma menerima rata-rata Rp 350 sehari. Bagi Sri Kasmi yang janda dan harus menghidupi dua anak sulit dibayangkan bagaimana ia bisa menutupi kebutuhan minimalnya. "Tapi untung saya ini masih dibantu kakak," katanya. Barangkali itu pula yang membuat dia betah bekerja di keluarga Djarum selama 14 tahun. Masuk mulai jam 6 pagi sampai jam 3 sore, dengan istirahat satu jam. Suasana yang sama juga tampak di PT Senang Umum di Pematang Siantar itu. Untuk menggulung rokok setiap 1.000 batang, seorang buruh wanita itu mendapat Rp 200. Bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 6 sore dengan istirahat satu jam, seorang buruh yang cekatan bisa menggulung sampai 5.000 batang. Tapi tak semua buruh wanita di sana secekatan Kasiyah, 19 tahun, yang berparas lumayan itu. Dan menurut Humasnya, M. Sitompul, upahnya di SU itu yang terbesar dibandingkan pabrik rokok lain di sana. Berbeda dengan Kasiyah yang sudah siap ke pabrik sejak Subuh, adalah Kartik, 18 tahun, yang bekerja di PT Kisaran Tobacco Coy. Mengaku bekerja untuk pengisi waktu, gadis ini sudah senang menerima Rp 250 sehari. Tapi bagi teman-teman sebaya Kartik yang harus lembur di pabrik rokok putih Kisaran itu, dari jam 5 sore hingga jam 7 malam, mereka bisa membawa pulang Rp 50 alias upah lembur duapuluh lima perak sejamnya. Kalau Sampai Kawin Para wanita itu, seperti di PT Senang Umum, semuanya masih belum kawin. Dan begitu seorang berkeluarga, dengan sendirinya mereka dimohon untuk meninggalkan pekerjaanya. "Secara peraturan memang tidak ada, tapi prakteknya demikian," kata Sitompul. Tak begitu jelas apakah ketentuan yang 'melarang' kawin itu juga dianut perusahaan rokok kretek lainnya. Tapi ada anggapan manajemen pabrik itu bahwa "wanita yang sudah kawin itu tak akan cekatan lagi menggulung rokok," kata sang Humas pula. Barangkali yang terasa mendingan adalah para buruh yang bekerja di pabrik Gudang Garam. Rata-rata mendapat Rp 430 per 1.000 bungkus, seorang buruh umumnya menghasilkan 4.000 batang sehari. Selain itu ada perangsang kecil-kecilan berupa 3 batang rokok sehari masuk. Karena tidak semua merokok, banyak yang menjual hasil pembagian itu dengan harga Rp 50 per 3 batang itu. Akibatnya, tak sulit mencari rokok ketengan di warung-warung Kediri. Tapi yang menyenangkan adalah tempat menginap yang disediakan GG bagi buruhnya yang datang dari luar kota. Setelah enam unit pabriknya selesai, kini sedang dibangun perumahan untuk 350 karyawan dan asrama untuk 5.000 buruh bujangan. Juga mesjid, rumah sakit dan bioskop untuk kalangan GG. Sementara itu, dari 25.000 buruhnya, sebanyak 10.000 masih indekos di rumah-rumah penduduk sekitar pabrik. Ada rumah yang menampung sampai 20 buruh dengan bayaran cuma Rp 400/bulan. Tentu saja tanpa makan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus