Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pas bandrol tak jadi ringan dengan pita baru

Pabrik rokok umumnya menyambut paket pemerintah yang memberikan keringanan cukai tembakau. banyak yang kuatir peraturan baru ini akan memukul pengusaha, kecuali bagi rokok putih. (eb)

21 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAGU Cubit-cubitan ciptaan Koes Plus mengalun dengan genitnya di ruang kerja yang besar itu. Beberapa pekerja, yang semuanya wanita muda itu, menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama dang-dut yang dibawakan penyanyi tenar Elvy Sukaesih. Tapi tangan mereka tetap saja gesit memegang alat kecil di atas meja: melinting rokok. Hari itu, Sabtu 14 April lalu, sebenarnya mereka libur. Tapi karena akan ada "tamu agung" yang datang -- seperti kata beberapa pegawai wanita di situ -- liburan di penghujung minggu itu dibatalkan. Dan benar saja. Jam 10. 30 tepat, sang tamu agung, Menteri Keuangan Prof. Dr. Ali Wardhana memasuki komplek perusahaan Gudang Garam di Kediri. Kunjungan di pabrik rokok kretek yang terbesar di Indonesia itu tampaknya dilakukan secara tidak resmi. Tak kelihatan staf yang ikut menteri. Mengenakan stelan safari kerja, tanpa simbol menteri di dadanya, Ali Wardhana hanya disertai isteri dan dua anaknya yang berpakaian cukup rilek. Berbeda sewaktu Menteri Perindustrian A.R. Soehoed berkunjung ke GG awal Pebruari lalu, kali ini tak ada acara sambutan maupun laporan. Tidak sampai lima menit istirahat di kantor besar GG yang memiliki areal 80 Ha itu, menteri langsung melakukan peninjauan. Dari pihak GG kali ini lengkap mengantar Menteri Wardhana keliling pabrik. Ada Suryo Wonowijoyo, 55 tahun, pendiri dan Dir-Ut yang oleh orang Kediri lebih dikenal sebagai Tjoa Eng Wie. Ada juga Rahman Halim, anak pertama Eng Wie yang sekarang lebih banyak pegang peranan. Selama peninjauan pun tidak banyak yang diperbincangkan mereka. Menteri hanya sesekali menanyakan soal-soal yang sebetulnya tak ada hubungan dengan paket 27 Maret. Hari itu tampaknya lebih banyak merupakan semacam pengecekan terakhir dari rencana pemerintah untuk memberlakukan harga rokok pas bandrol 1 Mei nanti. Dengan paket itu pemerintah memberi fasilitas keringanan cukai tembakau bagi produsen rokok putih maupun kretek. Misalnya untuk sigaret putih mesin (SPM) yang dulunya berlaku satu tarip (50%) kini dibagi dua tingkat. Bagi yang produksinya per tahun 750 batang atau lebih kini tarip cukainya menjadi 40%. Turun 10% dibanding dengan tarip lama. Sedang SPM produksinya kurang dari 750 batang setahun diberi keringanan 12,5%, sehingga kini cukainya mejadi 37,5%. SIGARET kretek mesin yang dulunya 50% kini cukainya menjadi 35% dan klobot mendapat penurunan separo. Tapi untuk penurunan itu para produsen diharuskan menjual rokoknya sesuai dengan harga bandrol di tingkat pengecer. Tujuan peraturan ini unutk lebih menggairahkan produsen dan memberikan perlindungan lebih besar di perusahaan yang bermodal lemah. Dengan demikian diperkirakan produsen akan meningkat dan cukai pun, tambah. Gudang Garam sendiri, yang produksinya rata-rata 25 juta batang sehari seperti dikatakan Rahman Halim kepada TEMPO, sudah siap menghadapi langkah Menteri Keuangan itu. "Tanggal 2 April ini kami sudah akan mengambil pita cukai," ujar Direktur I GG yang wajahnya mirip bintang film Rahmat Kartolo itu. Dan sebagaimana biasa, sekali pembelian pita cukai ini cukup untuk keperluan sebulan. Sejak awal tahun ini, GG diam-diam sudah mengkalkulasikan berapa rupiah bandrol baru yang akan dipasangnya nanti. Untuk rokok berisi 10 batang berpita cukai lama Rp 170, sejak 1 Mei 1979 akan tampak dililit bandrol Rp 250. Artinya harga eceran di Jakarta, pun yang kini Rp 300 sebungkus harus sama dengan bandrol Rp 250 itu. Apa bisa? "Sampai ke toko-toko kami sanggup mengawasinya, tapi kalau sudah sampai pedagang kaki lima ya sulit," kata Rahman. Bagi GG berlakunya pita cukai yang baru memang berarti bertambahnya cukai yang haras mereka bayar, sekalipun secara prosentase cukainya turun dari 35% menjadi 25%. Rokok berisi 10 batang yang selama ini cukainya Rp 59 (35%) sekarang menjadi Rp 62 (25%), naik Rp 3 saja. Gudang Garam tampaknya memang harapkan untuk bisa berdiri di barisan paling depan menyambut peraturan baru itu. Maklumlah perusahaan yang didirikan sejak 1958 itu tumbuh mekar dalam waktu yang begitu singkat. Produksinya selama 1978 berjumlah 8,5 milyar batang, 18,5% dari seluruh produksi kretek di Indonesia yang tahun lalu mencapai 46 milyar batang. Sedang cukainya selama periode Rp 45 milyar, 28% dari seluruh cukai kretek yang Rp 161 milyar. Begitu juga seluruh buruhnya tercatat 25.000 oran 29% dari seluruh buruh pabrik rokok kretek di Indonesia yang di akhir tahun lalu mencapai sekitar 120.000 orang. Berbeda dengan GG, adalah Bentoel yang nomor dua di Jawa Timur. Pabrik rokok kretek yang benar-benar mekar sejak 1970, di bawah asuhan Dir-Ut Budi Wijaya, 51 tahun, tahun lalu membayar cukai Rp 28,5 milyar. Bentoel kabarnya merasa sedikit khawatir dengan peraturan baru itu. Ini kalau dilihat dari perbedaan harga bandrol dengan harga pasarnya. Misalnya Bentoel Remaja Jaya - yang bandrolnya Rp 115 di pasaran, dijual Rp 200. Maka kalau biasanya perusahaan -- yang memiliki 20 macam varitas produksi --membayar cukai Rp 40,$ untuk Remaja Jaya, nanti harus membayar Rp 50, alias naik hampir Rp 10 sebungkus. Tingginya cukai Bentoel, meski produksinya separoh GG, akibat penggunaan mesin filter yang lebih banyak. Dari cukai Bentoel tahun lalu, sebanyak Rp 17 milyar lebih berasal dari produksi masinal, yakni untuk kretek filter. Sedang PT Djarum, yang tahun lalu membayar cukai hampir Rp 34 milyar, cukai rokok maksimalnya mencapai Rp 8,4 milyar GG yang memiliki 28 mesin filter, tapi baru dibolehkan menggunakan 8 mesin saja, cukai filternya tak sampai Rp 0,5 milyar tahun lalu. Cukai rokok kretek biasa memang diturunkan dari 35% menjadi 25%, sedang untuk rokok kretek mesin turun dari 50% menjadi 35%. Kabarnya GG merasa sedih juga karena menganggurkan 20 mesin filter yang dibeli dengan kredit Bank Bumi Daya. Tapi kalau saja kelak pabrik yang mirip kota satelit di Kediri itu dibolehkan menggunakan ke 20 mesinnya, produksinya akan tambah mengerikan lagi: 40 juta batang sehari atau 14,4 milyar batang setahun. Masih di Jawa Timur, adalah merek Dji Sam Soe yang sampai sekarang paling besar di antara 28 pabrik rokok kretek di Kotamadya Surabaya. Tapi produksinya yang 5 juta batang sebulan itu memang belum apa-apa bila dibandingkan dengan tiga besar GG, Djarum dan Rentoel. Didirikan oleh Lim Swi Lim (alm.) di tahun 1922, PT Sampurna kini dikendalikan Lim Sing Tee anak kedua dari Swi Lim. Sebagaimana juga bapaknya, Sing Tee yang sekarang bernama Aga Sampurna dikenal sangat konservatif. Baru beberapa tahun terakhir ini Aga membuka pabrik baru merek Panamas di Malang dan merek Aga Sampurna di Denpasar. Perluasan itu tampaknya memang sudah harus dilakukan mengingat sempitnya pabrik sekarang ini yang di dekat penjara Kalisosok. Dan Aga Sampurna kini makin sulit ditemui karena selalu keluar daerah, bekerja keras untuk menyembuhkan 'luka bakarnya' yang cukup parah bulan lalu dua gudangnya penuh tembakau dan cengkeh ludes terbakar. SEPERTI juga Bentoel, adalah Djarum yang memiliki sampai 12 macam produk. Dan pabrik rokok kretek di Kudus yang merupakan saingan keras Bentoel, kalau tidak nomor dua setelah GG, prinsipnya menyambut baik itu paket 27 Maret. Budi Santosa, 35 tahun, manajer produksi dan urusan cukai Perusahaan Tembakau Djarum beranggapan, "keputusan pemerintah itu setelah melalui serangkaian pertemuan degan para pengusaha sejak Desember lalu" katanya. Santosa juga berpendapat "kami tidak lagi kuatir dengan persaingan dan kekacauan harga." Ini senada dengan suara produsen rokok putih. Tapi H. Nawawi Rusjdi, 48 tahun, direktur perusahaan 'rokok Jambu Bol di kota kretek itu toh berpendapat perangsang yang diberikan pemerintah itu atuhnya merugikan ketimbang untung. "Kenaikan cukai itu otomatis berarti kenaikan harga buat pabrik," katanya. Menopang pendapat Nawawi, Budi Santosa yang mulanya menyambut "positif" itu lalu memberi contoh Djarum Coklat -- merek yang paling laku di pasaran. Kalau tadinya cukai si Coklat itu dibayar 35% dari harga bandrol Rp 120, kini dengan cukai 25% harus dikalikan dengan bandrol baru yang Rp 200 sebungkus. Jadi naik Rp 8 per bungkus untuk jenis tadi. Itu pula sebabnya Haji Nawawi, yang juga Ketua PPRK (Perstuan Pabrik Rokok Kudus) berkesimpulan "cukai tembakau tak menjadi ringan dengan ketentuan baru ini." Selama ini para produsen rupanya telah menjual di atas harga bandrol. Sehingga tak semua selisih antara harga bandrol dan harga pasar itu jatuh di tangan distributor sampai penyalur kecil. Ini diakui pihak Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) di Surabaya, juga sudah dibicarakan sampai di DPR. Maka Menkeu Ali Wardhana, yang bertujuan menjaring pemasukan cukai yang lebih besar, melihat selisih yang demikian besar itu sebagai "pelarian cukai." Tapi para produsen seperti Santosa dan Nawawi menyatakan pihak pengusaha terpaksa menjual produksinya di atas bandrol karena "biaya-biaya produksi makin meningkat." Tapi yang lebih merasa rugi pastilah yang tergolong kelas sedang, apalagi yang kecil-kecil itu. Tak heran bila Ketua PPRK Nawawi, menyatakan para pengusaha rokok di Kudus umumnya belum "siap" dan "kuatir" menghadapi pelaksanaan peraturan pas bandrol itu, sekalipun sudah diberikan tenggang waktu sampai Agustus. Dengan keputusan Menteri Keuangan itu tampaknya ada dua kelas yang bakal terkena: pabrik kretek dengan produksi 150 juta batang/tahun ke bawah dan yang berproduksi 50 juta batang/tahun ke atas. Tapi diseantero Kudus, yang punya 80-an pabrik rokok kretek, empat besar di sana diperkirakan akan tetap bertahan: PT Djarum, PT Noyorono dengan produksi 3,6 milyar batang dan cukai Rp 9,3 milyar tahun lalu, PT Sukun yang berproduksi 1,5 milyar batang dan cukai Rp 4,7 milyar dan PT Jambu Bol punya H. Nawawi yang tahun lalu sanggup menghasilkan 1,8 milyar batang dan membayar cukai Rp 4,27 milyar. Hatta, perusahaan menengah seperti Ongkowijoyo yang memproduksi cap Oepet di Malang merasa kurang bernasib baik. Produksinya memang sedikit di atas 150 juta batang/tahun, tapi penurunan cukainya masuk kategori perusahaan besar, yakni dari 35% menjadi 25%. Maka Oepet yang selama ini membayar cukai Rp 28 untuk satu pak rokoknya yang di pasaran berharga Rp 130, harus siap mengeluarkan cukai Rp 36,50 suatu kenaikan Rp 8,50. Dan si Oepet ini, menurut direktur produksinya Prawoto, 66 tahun, setiap tahun rata-rata membayar cukai Rp 1 milyar. Dan perusahaan yang punya 6 unit pabrik di Malang dan Blitar ini sekarang dikemudikan Soesanto, 40 tahun, cucu Ang Kianda, pendiri pabrik itu 31 tahun lalu. AGAKNYA yang paling runyam adalah pabrik sekelas cap Sriti, masih tetangga dengan raksasa GG. Pernah berproduksi 400.000 batang/hari di tahun 1960-an kini Sriti cuma bisa mengelinting 40. 000-an batang sehari. Direktur Hariyanto yang jebolan Universitas Brawijaya kini lagi bingung. Sekalipun prosentase cukainya turun dari 35% menjadi 25%, tapi dihitung-hitung si Sriti ini punya beban yang lebih berat dibandingkan GG atau Bentoel. Dijual Rp 100 sebungkus, bandrol Sriti hanya Rp 32,50, yang berarti membayar cukai Rp 11,37 per bungkus. Tapi dengan peraturan baru "kami malah harus membayar cukai Rp 20," kata Hariyanto. Pembagian daiam dua kelas itu tampaknya tak mewakili gambaran rokok kretek yang di Jawa Timur saja yang pasti di atas 200 pabrik, dan banyak yang setingkat Sriti. Masuk akal kalau Hariyanto beranggapan minimal klasifikasi itu dibagi tiga, "agar yang seperti kami yang cuma berproduksi 1,5 juta batang per tahun itu masih bisa hidup," katanya. Tapi Hariyanto masih lebih beruntung ketimbang Sudarno yang meneruskan perusahaan rokok mertuanya merek Semanggi, juga di Kediri. Pernah mendapat droping modal KIK tahun 1975, beberapa bulan lalu Sudarno terpaksa menghentikan produksinya. "Untuk sementara," katanya. Tapi hutangnya sudah lunas meskipun dia harus menjual seperangkat gamelan kesayangan mertuanya. Semanggi ini juga pernah jaya pada 1960-an. Dia menghimbau agar pemerintah turun tangan juga menghadapi persaingan di antara sesama perusahaan rokok kretek yang semakin tajam sebagai contoh dia menunjuk Djarum yang selain beragam produksinya, belakangan ini membuat rokok 'murah berisi 5, dan kemudian bahkan 3 batang. "Mestinya jangan begitu," kata Sudarno. "Berilah bagian juga kepada yang kecil-kecil." Cara dagang cap Djarum ini tampaknya ingin merebut pasaran mereka yang biasa membeli ketengan "Biar menang gengsi," kata seorang pengusaha di Kudus. Gambaran yang serupa juga dijumpai di Sumatera Utara, dengan pusat produksi kretek di Pematang Siantar. Mulai menonjol sejak 1960-an banyak juga usaha kretek yang hilang timbul, sehingga sesuatu merek boleh dibilang tak pernah ada yang menonjol dan larls diisap di bibir konsumen. Tapi salah satu yang tergolong maju, adalah PT Senang Umum. Pabrik kretek di Km 7 Jalan Medan, Pematang Siantar itu, bisa berproduksi 9 juta batang setiap minggunya, terdiri dari beberapa merek, Seperti Cap Go, Bersatu, Pohon Jaya dan Super Senang. Yang disebut terakhir itu, dengan produksi 6 juta batang seminggu, tampaknya dianggap sebagai tulang punggung perusahaan. Keluaran pabrik Senang Umum itu memang punya pasaran yang berbeda dengan GG misalnya, yang di sana dijual Rp 275 sebungkus. Tapi "kretel kami ini khusus untuk penduduk desa, kata Humas M. Sitompul. Harganya memang murah Rp 100 sebungkus isi untuk yang Super itu, sedang tiga merek lainnya masing-masing cuma Rp 50 per bungkus. Sampai sekarang, sekalipun kena samber angin Kenop, Sitompul berpendapat pabrik masih untung. Tapi dia kuatir peraturan Menkeu tentang harga jual pas bandrol itu merupakan pukulan terakhir. "Pabrik ini pasti, dilikwidasi, kalau harus menjual bandrol," katanya. Biasanya, seperti juga halnya di Jawa, merek SS yang hanya Rp 60 itu mereka jual ke agen seharga Rp 80 sebungkus. Berbeda dengan rokok eks Jawa, rokok kretek lokal itu masuk pasaran tanpa lewat distributor (grosir). Seorang pengecer di Medan, M. Silaen mengatakan dia biasa menerima krerek lokal langsung dari petugas pabrik yang datang dari Siantar. Dan kretek yang lebih laku di desa-desa itu, meskipun konsinyasi, "payah" pasarannya di Medan, lanjut Silaen. Adalah soal rasa juga yang membuat rokok kretek keluaran SU itu tidak mendapat pasaran di kota seperti Medan. Tapi kalau pabrik SU itu agaknya sengaja membuat kwalitas untuk orang desa, pabrik-pabrik kecil di Jawa yang ingin mempertahankan kwalitasnya dihadapkan dengan kesulitan mendapat bahan mentah. Selain kertas impor makin mahal setelah Kenop, perusahaan kecil sudah harus senang bila mendapat cengkeh dalam negeri. Bahkan sekarang ini, menurut sebuah sumber di Jakarta, sudah ada bahan kimia untuk menggantikan rasa cengkeh, sebagaimana sakarin untuk membuat manis. Tentu saja rasanya tak seenak cengkeh asli. Apalagi yang diimpor dari Zanzibar. PT Mercu Buana dan PT Mega-yang menguasai impor cengkeh itu - "tak akan telaten melayani permintaan yang ribuan kilo per bulan. "Kalau dapat berupa tangkai cengkehnya," kata seorang pengusaha di Semarang. "Bunga ccngkehnya biasanya dilever ke pabrik-pabrik besar saja," GG misalnya, sebulan menelan 700 ton bunga cengkeh, yang sebagian besar masuk dari Zanzibar via Mercu Buana. Nah, untuk sedikit menolong ratusan pabrik yang kecil itu, tapi mempekerjakan banyak buruh juga (lihat box), maukah pemerintah merubah dua kategori tadi menjadi tiga, seperti diusulkan Hariyanto dari Kediri? Menkeu Ali Wardhana tak cepat menjawab ketika ditanya soal itu. Berpikir sejenak, kepada Dahlan Iskandar dari TEMPO, Menteri pun berkata: "Kita lihat dululah. Yang penting sekarang ini bisa lebih terbuka, sedang dulu orang tidak tahu berapa mesti bayar cukai." Adakah banyak pabrik rokok kretek yang bakal terkena serangan jantung, memang masih harus dilihat sampai beberapa bulan lagi. Tapi keputusan pemerintah yang menurunkan persentasi cukai sambil menaikkan harga bandrol, dinilai para pengusaha sebagai langkah yang "pintar". Dan Ali Wardhana hanya senyum-senyum kecil mendengar komentar begitu. Paket 27 Maret itu memang bertujuan untuk menggaet pemasukan uang cukai yang lebih banyak. Setidaknya, agar sasaran cukai yang Rp 298,5 milyar dalam APBN sekarang -- sebanyak Rp 269,9 milyar masuk dari cukai tembakau dan rokok - akan tercapai. Dengan kata lain, makin banyak orang yang merokok, rupanya makin baik untuk kas pemerintah. USAHA agar lebih banyak orang yang merokok, meskipun itu diakui tidak baik untuk kesehatan, datang dari para produsen rokok sigaret. Juga dikenal sebagai produsen rokok putih adalah British American Tobacco (BAT) Indonesia yang memberi dukungan penuh. "Dengan cara menyamakan bandrol dengan harga pasar, maka para produsen bisa membuat perencanaan yang lebih baik," kata Wakil Dir-Ut BAT, S. Purwadi. Jika BAT yang produksinya 9,4 milyar batang tahun lalu, sudah bicara begitu, bisa dipastikan perusahaan putih lainnya akan turut. Dari 30 pabrik rokok putih di Indonesia, dengan buruh hanya sebanyak 15.000 orang, adalah BAT yang punya pabrik di Cirebon dan Semarang tergolong paling top. Cukainya saja tahun lalu mencapai Rp 31,3 milyar, lebih separoh dari seluruh cukai rokok putih yang Rp 59,8 milyar. Sedang PT Sumatera Tobacco Trading Coy. (STTC) di Pematang Siantar, mencapai tangga kedua di barisan putih dengan produksi 6,8 milyar batang tahun lalu, dan membayar cukai sebanyak lebih Rp 10 milyar. Si putih ini sejak dulu memang banyak penggemarnya di Indonesia. Sebuah survei beberapa tahun lalu berkesimpulan tak kurang dari 40% perokok di lndonesia memilih sigaret. Mereka sendiri memang dianggap saingan berat bagi produsen kretek. Tapi paket 27 Maret itu rupanya membuat mereka maju selangkah dalam menghadapi saingan rokok kretek, terutama yang filter. Berbeda dengan rokok kretek yang selama 30 tahun ini dibiarkan menjalankan kebijaksanaan dua harga, Pemerintah dari dulu lebih mengarahkan matanya mengawasai produsen sigaret itu. Perbedaan antara harga bandrol dengan harga eceran, bagi sigaret paling banter antara 10-15%. Sedang buat kretek perbedaan harga itu berkisar rata-rata antara 50-75%. Tak heran kalau si putih senang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus