SETELAH beberapa bulan tak muncul di halaman depan koran- koran nasional, Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) kembali bikin berita. BPPC, yang dipimpin Tommy Soeharto, kembali memperoleh pinjaman dari sejumlah bank sebesar Rp 130 miliar. Mengucurnya pinjaman baru itu sedikit banyak ada harapan bagi para petani untuk menjual hasil panen mereka tahun ini. Bagi BPPC, pinjaman baru itu boleh dibilang sebagai berkah, tapi bisa juga disebut sebagai beban tambahan yang tak ringan. Dibilang berkah karena dana itu turun dengan mudah. Dibilang beban karena dengan pinjaman berjangka 12 bulan ini -- dengan bunga komersial 23% setahun -- untuk pencicilan utang baru yang akan mulai cair pekan ini, BPPC harus mengeluarkan dana Rp 13.325 juta setiap bulan. Jumlah cicilan tersebut bukan jumlah yang kecil karena utang BPPC bukan cuma itu. BPPC juga masih punya kewajiban mengembalikan pinjaman kepada pemerintah sebesar Rp 759 miliar, dan hingga bulan ini utang pokok yang baru tercicil kabarnya hanya Rp 11,5 miliar. Pada tahun 1991, untuk membayar bunga pinjaman 17% setahun, BPPC mengeluarkan dana Rp 34,3 miliar. Untuk bunga tahun lalu, agar tidak termasuk kategori piutang macet, badan penyangga ini membayar Rp 145,7 miliar. Tapi utang pokok masih menggunung -- Rp 747,5 miliar. ''Pencicilan utang pokok akan kami lakukan secara bertahap,'' kata Sekjen BPPC, Jantje Worotitjan. Ia menambahkan, tahun ini BPPC merencakan mencicil utang pokok KLBI sebesar Rp 114 miliar. Tahun 1994, akan diangsur lagi Rp 293 miliar, dan pada 1995, yang berupa pembayaran terakhir, sebesar Rp 340 miliar. ''Pokoknya, setiap ada dana, pembayaran KLBI tak akan kami tunda-tunda,'' tambah Jantje. Dengan rencana pembayaran seperti itu, jelas sudah bahwa pinjaman BPPC kepada KLBI, yang semula direncanakan akan dilunasi dalam jangka setahun, molor menjadi empat tahun. Mengapa BPPC, bila dilihat kenyataan di atas, masih mudah mendapatkan pinjaman? Dari mana saja sumbernya? Sebuah sumber TEMPO mengatakan, pinjaman itu diberikan oleh konsorsium yang terdiri dari bank swasta dan pemerintah, antara lain disebut-sebut BBD, BCA, dan Bank Utama. Sayang, tidak diketahui berapa besar persentase kredit yang diberikan bank-bank itu, karena beberapa bankir yang dihubungi TEMPO memilih tutup mulut. Bahkan Direktur Utama BCA, Abdullah Ali, dengan tegas menyebutkan bahwa banknya tidak ikut dalam konsorsium tersebut. Bantahan serupa juga dilontarkan Wakil Presdir BII, Hidayat Tjandradjaja. BII, katanya, hingga pekan ini belum menerima permohonan kredit dari BPPC. Jawaban yang agak membenarkan hanya diberikan oleh Presdir Bank Utama, Trenggono Purwosuprodjo. ''Itu rahasia bank,'' kata bankir yang juga menjabat Ketua Perbanas itu. Kalau sejumlah bankir yang disebut-sebut memberikan pinjaman itu membantah, lantas dari mana BPPC memperoleh kredit? Jangan-jangan yang memberikan pinjaman baru itu, kata sebuah sumber, hanya bank-bank Pemerintah. Bahkan seorang bankir yakin bahwa 70% dari kredit baru bagi BPPC itu diberikan Bank Bumi Daya. Lepas dari itu atau tidak, soal pengembalian utang BPPC tersebut kini jadi pembicaraan hangat di kalangan pengusaha. Mereka tetap meragukan kemampuan badan ini dalam menyelesaikan utang pada waktunya. Tapi BPPC juga sudah menyiapkan alasan apabila penyelesaian utang mereka sampai lewat waktu yang direncanakan. Kemungkinan janji meleset, kata Ketua Harian BPPC Jeff Mustopha Atmaja, bisa saja terjadi lagi. Bila janji meleset itu yang terjadi, karena panen yang di luar dugaan, misalnya, BPPC, ujar Jeff lagi, bukan mustahil akan kembali minta jangka pengembalian diperpanjang. ''Kalau tidak dengan cara memperpanjang utang lama, ada kemungkinan kami membuat utang baru,'' kata Jeff, yang juga menjabat direktur utama Induk Koperasi Unit Desa. Baik dia maupun Jantje tak bersedia mengungkapkan berapa banyak sebenarnya cengkeh yang sudah dijual oleh BPPC selama ini, sehingga berapa besar tingkat likuiditas badan penyangga ini tidak bisa diperkirakan. Padahal, selain mempunyai utang KLBI dan kredit komersial yang baru, BPPC masih memiliki kewajiban lain yang tak kalah penting, yakni pembayaran penyertaan modal KUD. Seperti diketahui, setiap penjualan cengkeh yang dilakukan KUD, BPPC melakukan pemotongan Rp 1.000 per kilogram. Total, pada pertengahan tahun lalu saja, hak KUD sudah mencapai Rp 120 miliar, dan baru dibayarkan Rp 36 miliar. Kini, jumlah penyertaan modal KUD, menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kumhal Djamil, sudah menjadi Rp 380 miliar. Kumhal juga memperkirakan utang BPPC baru bisa dilunasi BPPC pada akhir 1995. Perkiraan itu dibuat berdasarkan stok cengkeh yang kini menumpuk di gudang sebanyak 270.000 ton, ditambah dengan proyeksi panen 1993-1994 sekitar 100.000 ton. Persediaan cengkeh, yang pada akhir tahun depan bakal menjadi 370.000 ton, setahap demi setahap akan terus menyusut karena dikonsumsi industri rokok. Dalam tiga bulan terakhir, misalnya, pabrik kretek mengonsumsi 40.000 ton. Jika tingkat pemakaian ini stabil, dalam tiga tahun stok BPPC akan habis terjual. Dan ini juga berarti saatnya BPPC menyerahkan kekuasaannya sebagai penyangga dan pemasar cengkeh kepada koperasi. Budi Kusumah, Ardian T. Gesuri, dan Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini