Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Realisasi vaksinasi penyakit mulut dan kuku masih rendah.
Penolakan peternak jadi salah satu kendala.
Penyebaran PMK terjadi sejak setahun terakhir.
JAKARTA — Tingkat vaksinasi ternak untuk mencegah penyebaran penyakit mulut dan kuku (PMK), yang merebak setahun terakhir, masih rendah. Sejumlah kendala menghambat realisasi penyuntikan antivirus tersebut.
Merujuk pada data Satuan Tugas Penanganan PMK, populasi ternak di 25 provinsi mencapai 40,5 juta ekor. Namun, hingga 3 Juli lalu, vaksin yang disuntikkan baru 13,9 juta dosis atau sekitar 34,32 persen dari populasi yang terlindungi. Angkanya masih jauh dari target tim untuk memvaksin semua ternak.
Menurut juru bicara Satuan Tugas Penanganan PMK, Wiku Adisasmito, kendala vaksinasi PMK antara lain terletak pada ketersediaan rantai pasok dingin di tingkat kabupaten dan kota. "Ketersediaan refrigerator dan cool box yang sampai ke daerah terhambat, jadi masih ada vaksin di pusat yang belum terdistribusi ke lapangan," katanya kepada Tempo, kemarin. Di pusat sendiri, pemerintah sudah menyediakan 50,1 juta dosis vaksin sehingga dia menjamin tak ada kekurangan.
Kondisi tersebut tergambar dari data vaksinasi di Jawa Barat. Populasi ternak di kawasan tersebut mencapai kisaran 12 juta ekor. Namun vaksin yang diterima provinsi hanya sebanyak 750.975 dosis dan tersalurkan sebanyak 690.416 dosis. Akibatnya, vaksinasi di sana baru 5,73 persen.
Petugas Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Surabaya menyuntikkan vaksin PMK kepada hewan ternak sapi di Surabaya, Jawa Timur, 7 Juni 2023. ANTARA/Didik Suhartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tantangan lainnya adalah keterbatasan vaksinator di lapangan. Wiku menuturkan penyuntikan cenderung mudah dilakukan jika hewan ternak berada di kandang. Namun, di beberapa daerah, khususnya di luar Jawa, hewan ternak dirawat di luar kandang sehingga menyulitkan vaksinasi dalam jumlah besar setiap harinya.
Koordinator Data, IT, dan Komunikasi Publik Satuan Tugas Penanganan PMK, Abdul Muhari, menyebutkan adanya kendala lain. "Sempat ada penolakan dari peternak," ujarnya. Salah satu pemicunya adalah pemasangan tanda vaksinasi di telinga ternak atau ear tag. Di beberapa kasus, ternak yang memiliki tanda tersebut harganya turun di pasaran. Selain itu, pemasangan ear tag pernah melukai telinga hewan sehingga menimbulkan kekhawatiran sejumlah peternak.
Menurut Abdul, timnya sedang menggencarkan sosialisasi mengenai vaksinasi. Fokus pemerintah adalah hewan-hewan di luar kawasan hijau atau kawasan yang tidak terpapar PMK. Dia memastikan tak ada bahaya yang mengancam dari pemberian antivirus ini.
Sementara itu, ihwal kendala rantai pasok dingin, Tempo berupaya meminta konfirmasi Kementerian Pertanian sebagai pelaksana vaksinasi. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Nasrullah, tak bersedia berkomentar. Begitu pula dengan Sekretaris Jenderal PKH, Makmun; Direktur Kesehatan Hewan, Nuryani Zainuddin; serta Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Kuntoro Boga Andri.
Sebagian Peternak Tolak Vaksin PMK
Ketua Komunitas Sapi Indonesia perwakilan Jawa Barat, Irfan Arif, mengakui penolakan peternak berkontribusi pada terhambatnya laju vaksinasi. "Banyak yang takut ternaknya kenapa-kenapa," kata dia. Sebab, kejadian selama setahun terakhir sangat memukul para peternak sehingga banyak yang menghindari risiko.
Namun, bagi peternak yang hewan ternaknya diizinkan mendapat vaksinasi, jalannya tidaklah mudah. Irfan menuturkan bahwa masih banyak peternak yang kesulitan mendapatkan vaksin. "Jadi, ada yang beli vaksin, suntik sendiri," ujarnya. Mereka mendapatkan satu botol vaksin berisi sekitar 55 mililiter dengan harga dari Rp 55 ribu. Dia berharap pemerintah membeberkan data penyaluran vaksin sehingga peternak bisa lebih mudah mendapat akses terhadap antivirus itu.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Robi Agustiar, pun menyatakan masih ada penolakan dari anggotanya. Alasannya tak jauh berbeda. "Mereka tidak yakin kalau divaksin, ternaknya bisa selamat," tuturnya. Asosiasi sedang berupaya meyakinkan peternak yang khawatir. Sebab, tak ada jalan lain untuk menghentikan penyebaran virus tersebut.
Peternak menunjukkan kuku sapi perah suspek penyakit mulut dan kuku (PMK) di Cibiru, Bandung, Jawa Barat, 8 Juni 2022. TEMPO/Prima Mulia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Robi khawatir, jika kondisi ini dibiarkan, akan berpengaruh pada kondisi mental para peternak. Menurut dia, ada potensi mereka tidak termotivasi lagi merawat ternak dan beralih pekerjaan. Pasalnya, selain PMK, para peternak sapi dan kerbau khususnya sedang menghadapi penyakit cacar atau lumpy skin disease (LDS) yang sudah menyebar luas.
Selain sosialisasi, Robi berharap pemerintah berkenan mengganti rugi ternak yang mati akibat penyakit-penyakit ini. "Juga menjamin dengan asuransi jika setelah vaksinasi ada yang mati sehingga peternak bisa percaya diri," tuturnya.
Merujuk pada Laporan Hasil Pemeriksaan Tertentu Badan Pemeriksa Keuangan terhadap penanganan PMK pada 2021 hingga kuartal III 2022, penyakit tersebut pertama kali dilaporkan muncul pada 4 Mei 2021. Temuan sindrom, seperti pincang, munculnya air liur, serta lepuh, pada sapi dilaporkan terjadi di Jawa Timur dan Aceh. Padahal, sejak 1986, Indonesia bebas dari penyakit tersebut.
Pada 29 Juni 2021, pemerintah lewat Badan Nasional Penanggulangan Bencana menetapkan status darurat. Tercatat total anggaran yang disiapkan pemerintah untuk penanganan PMK hingga 30 September 2022 mencapai Rp 3,46 triliun. Realisasinya sebesar Rp 237 miliar.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo