SEMBILAN tahun lalu ia tampil sebagai bank merger pertama di
Indonesia. Kini, setelah menempati gedung baru sembilan tingkat
di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta, adalah Pan Indonesia Bank
yang untuk pertama kalinya menyatakan ingin terjun ke khalayak
(go-public). "Panin ingin agar masyarakat luas bisa ikut
langsung menikmati hasilnya," kata Andi Gappa, Dir-Ut PT Panin
Bank Ltd. kepada TEMPO pekan lalu.
Suatu jawaban yang agak umum, memang. Tapi yang kelihatannya
menarik adalah kepindahan mereka dari Jl. Kopi di kawasan Kota
ke dekat mulut Senayan itu, seperti kata seorang pegawainya,
ingin menghilangkan image (citra) bahwa bank itu adalah bank
"Cina".
Di gedung baru yang diresmikan 22 Agustus lalu, bank devisa
swasta yang tergolong tiga besar itu -- di samping Bank Central
Asia (BCA) dan Bank Umum Nasional (BUN) -- secara yuridis memang
sudah berstatus pribumi. "Sebanyak 75% modalnya dimiliki 4
perusahaan pribumi", kata Andi Gappa yang asal Bugis itu. "Dan
sisanya adalah milik segolongan non-pri."
Dir-Ut Gappa belum bersedia menjelaskan siapa saja ke-4
perusahaan pribumi itu. Tapi dengan terjunnya Panin bank ke
khalayak, menurut Gappa, komposisi pemilikan akan tetap
dipertahankan 75% pribumi, 25% non pribumi. Dan Panin Bank yang
nampaknya tumbuh subur itu sudah siap untuk menjual 30% sahamnya
ke masyarakat. Ini dengan catatan, 5% khusus disisihkan untuk
dijual kepada para staf dan pegawai Panin Bank yang sudah lama
bekerja, dan sebagian dari harga beli saham itu akan ditanggung
oleh perusahaan.
Suatu cara yang sekaligus menguntungkan perusahaan juga. Sebab
makin besar saham yang dijual kepada masyarakat, makin besar
pula fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Jika yang dijual
itu 25% ke bawah, perusahaan yang bersangkutan hanya memperoleh
fasilitas bebas pajak terhadap penilaian kembali harta
kekayaannya (assets). Dan Panin Bank, yang menembus batas dengan
30% itu, di samping memperoleh bebas pajak tadi, juga akan
mendapat keringanan pajak perseroan (PPs) sebanyak 10%. Jumlah
itu, oleh Dir-Ut PT Danareksa J.A. Sereh, dinilai "cukup besar."
Bisa dipastikan modalnya akan bertambah kuat setelah Panin
go-public. Sekalipun seorang pengamat perbankan menilai, bank
tersebut sudah cukup kuat tanpa dia harus menjual sahamnya ke
luar lingkungannya. Kalau dilihat dari posisi aktivanya,
anggapan begitu ada benarnya. Di akhir 1978, setelah pukulan
Kenop-15, aktivanya berjumlah Rp 78 milyar. Pada akhir 1979
meningkat menjadi Rp 102 milyar. Dan dalam setengah tahun
pertama sampai Juni lalu aktivanya melonjak lagi dengan hampir
30% menjadi Rp 135 milyar.
Aktiva Panin Bank kini merupakan 10% dari seluruh aktiva bank
swasta nasional di sini. Jumlah nasabahnya sebagai pemegang
rekening koran pada akhir 1978 tercatat lebih dari 21.000, naik
dari 17.000 orang pada tahun sebelumnya. Pada saat yang sama
rekening giro nasabahnya naik dengan 70% menjadi Rp 29 milyar
pada akhir tahun lalu. Sedang akhir Juni lalu posisinya sudah
mencapai Rp 33 milyar.
Oleng Sebentar
Panin juga merupakan bank swasta nasional pertama yang terjun
dalam lembaga keuangan non bank. Usaha patungan dengan Bank
Indonesia dan International Finance Corporation (IFC), salah
satu anak perusahaan Bank Dunia, melahirkan Private Development
Finance Company of Indonesia Ltd. Kemudian dengan Fuji Bank dan
Crocker Bank San Francisco, Panin Bank juga mendirikan Mutual
International Finance Corporation.
Suatu perjanjian kerjasama dan bantuan teknis juga sudah
ditandatangani pada l978 dengan Credit Lyonnais, salah satu bank
terkemuka di Paris. Pada akhir 1979, Panin dengan pegawai 1.500
orang, sudah memiliki 11 kantor cabang dan 10 cabang pembantu.
Ketika terjadi Kenop-15, Panin Bank memang agak oleng juga.
Labanya turun dari Rp 583 juta pada akhir 1977 menjadi Rp 521
juta, terutama disebabkan dihapusnya cadangan piutang ragu-ragu
sebesar Rp 432 juta. Maka untuk menjaga terhadap penarikan dana
oleh nasabahnya secara tiba-tiba setelah Kenop-15, Panin Bank
minta kredit Rp 3,5 milyar dari BI.
Tahun lalu merupakan tahun yang cukup menggembirakan bagi Panin
Bank. Labanya sebelum pajak melonjak hampir dua kali, menjadi Rp
1 milyar, sesudah sebelumnya tertekan dengan adanya Kenop-15.
Perkembangan yang luar biasa ini rupanya masih akan terus. Pada
akhir Juni 1980, demikian laporan keuangan bank itu, laba
sebelum pajak sudah membubung dengan 60% menjadi Rp 1,6 milyar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini