Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) meminta Polri agar menyidik perusahaan tambang di kawasan Sukabumi yang disebut menjadi penyebab adanya banjir dan bencana alam di sana. Walhi menilai aktivitas para perusahaan tambang itu telah membuat kerusakan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Meminta polri melakukan penegakan hukum tindak pidana lingkungan. Kepada pemerintah kami mendesak agar menuntut perusahaan untuk melakukan pemulihan lingkungan, mengganti kerugian yang diderita masyarakat dan mengevaluasi areal perhutanan sosial yang dijadikan objek tambang,” kata Direktur eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin, dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 13 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wahyudin mengatakan Walhi Jawa Barat telah menurunkan tim investigasi sejak 3 Desember lalu ke Sukabumi. Dia menyebut timnya menemukan tidak hanya kawasan Guha dan Dano yang terdegradasi, tapi di kawasan lain juga terjadi kerusakan alam akibat tambang emas dan galian kuarsa untuk bahan pendukung pembuatan semen.
Sementara itu, Deputi Eksternal Eksekutif Nasional Walhi Mukri Friatna mengatakan banjir bandang yang terjadi pada 2 Desember 2024 di Sukabumi telah menimbulkan dampak serius bagi kehidupan sosial sekaligus ekonomi masyarakat. Menurut dia, ada 39 kecamatan dan 176 desa terdampak banjir serta risiko belasan warga meninggal dan hilang.
“Hasil pemantauan citra satelit, sedikitnya terdapat dua kawasan hutan yaitu pegunungan Guha dan Dano yang telah hancur tutupan hutannya,” kata dia.
Kehadiran pabrik semen menghancurkan kawasan karst yang merupakan bahan baku semen. Walhi juga menemukan di Desa Waluran, Jampang, Sukabumi, juga ada degradasi hutan. Walhi menilai fenomena ini karena adanya pembukaan lahan untuk proyek hutan tanaman energi (HTE) untuk memasok serbuk kayu ke PLTU.
Tak hanya itu, Wahyudin mengatakan Walhi juga menemukan adanya operasi tambang emas di kawasan hutan. Seperti di Ciemas dan di Simpenan.
“Kawasan perhutanan sosial tidak luput pula dari objek tambang sebagaimana terdapat di petak 93 Bojong Pari dan Cimanintin dengan luas 96,11 hektar,” kata Wahyudin.
Menurut dia, berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi, kawasan tersebut tidak masuk pada lokasi pertambangan dan juga bukan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
“Bencana ekologis yang telah memporak porandakan wilayah Sukabumi jelas karena adanya kontribusi perusahaan,” kata dia.
Karena itu, Walhi juga meminta perusahaan menanggung dan memulihkan kerusakan lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat di sana. Menurut dia, beban ini tak hanya ditanggung negara, tapi juga para perusahaan tersebut.
“Banjir bandang di Sukabumi karena adanya andil besar perusahaan dan karena keuangan negara bersumber dari kebanyakan pajak rakyat,” kata dia.
Sementara itu, Walhi juga berencana akan menempuh jalur hukum untuk menuntut tanggung jawab kepada para perusahaan yang diduga berkontribusi dalam bencana ini. Walhi akan menempuh langkah itu usai pemerintah mencabut tanggap darurat di kawasan bencana.
Pemerintah Kabupaten Sukabumi memperpanjang masa tanggap darurat bencana selama satu pekan atau tujuh hari terhitung dari 11 sampai 17 Desember 2024. Sebelumnya, masa tanggap darurat ini hanya berlaku pada 4 hingga 7 Desember 2024.
“Kami berharap pula kepada pemerintah untuk tidak gegabah memberikan perizinan kepada perusahaan ekstraktif dengan alasan investasi. Di Sejumlah tempat bencana yang disumbang bahkan didalangi Perusahaan ekstraktif agar menjadi pembelajaran,” kata Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Walhi Melva.
Korban Masih Bertambah
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan jumlah pengungsi korban banjir dan tanah longsor di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat bertambah 476 orang sehingga total menjadi 3.464 orang.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan penambahan 476 pengungsi tersebut didapatkan sebagaimana laporan sampai pada Rabu kemarin. Laporan itu berasal dari petugas pada posko utama di Pendopo Kabupaten Sukabumi.
Ratusan pengungsi tersebut tersebar di 184 desa dalam wilayah administrasi 39 kecamatan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Mereka menempati tenda, bangunan pemerintah desa, rumah kerabat, dan rumah ibadah yang sudah disiapkan pemerintah serta bersama para relawan di masing-masing lokasi.
BNPB mencatat hingga Kamis kemarin total jumlah warga terdampak banjir, tanah longsor, dan bencana pergerakan tanah di Kabupaten Sukabumi terdata 20.629 orang.
Abdul memastikan bahwa sejauh ini kebutuhan logistik berupa barang kebutuhan pokok, layanan kesehatan dan perlengkapan pengungsian terhadap para korban bencana masih dapat terpenuhi secara proporsional.
Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.