Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pembukaan tanah seluas 20 juta hektare oleh Kementerian Kehutanan mengundang banyak kecaman dari kelompok masyarakat sipil. Pembukaan yang dimaksudkan untuk membuat sumber cadangan pangan dan energi itu dinilai akan menimbulkan banyak buruk terhadap ekologi dan keberlangsungan hidup masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Arta Siagian mengatakan, rencana pembukaan lahan 20 juta hektar oleh Presiden Prabowo Subianto merupakan upaya legalisasi deforestasi terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Dalam tujuh kepemimpinan presiden sejak Indonesia merdeka saja, jika digabungkan ada 45 juta hektar hutan yang terdeforestasi secara legal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Itu berarti setengah dari 57 tahun perjalanan melegalisasi hutan akan dijalankan oleh pemerintah sekarang ini. Hanya dengan lima tahun saja, kita akan kehilangan 20 juta hektar hutan secara fungsi maupun peruntukannya,” ujarnya dalam diskusi media 100 Hari Kerja Presiden Prabowo, di Jakarta Selatan, Senin, 20 Januari 2025.
Menurut Uli, dampak yang paling nyata dari pembukaan puluhan juta hektar hutan adalah banyaknya bencana ekologis. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPBD), Uli berujar, 90 persen bencana yang terjadi di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan cuara ekstrem. "Bencana tersebut sangat terkait dengan kondisi lingkungan yang rusak," ucapnya.
Dampak lainnya, Uli menyebutkan lebih dari 43 juta masyarakat terpaksa mengungsi dan pindah tempat tinggal akibat bencana itu. Selain itu, sejak 2015 sampai 2022 diperkirakan negara mengalami kerugian dari bencana ekologis itu sampai Rp 101,2 triliun. "Beban itu akan jauh lebih besar jika rencana pembukaan 20 juta hektar hutan dijalankan," tuturnya.
Uli berpendapat bahwa pemerintah seolah abai terhadap dampak deforestasi terhadap masyarakat. Mereka, katanya, menganggap hutan itu sebuah lahan kosong yang tidak berguna. Padahal, banyak masyarakat adat yang menjadikannya sebagai sumber penghidupan.
Uli juga menilai bahwa pembukaan lahan ini tidak berpihak kepada masyarakat dan hanya menguntungkan segelintir orang. Ia menuturkan hal itu dapat dilihat dari bagaimana Menteri Kehutanan Raja Juli Antony yang lebih banyak melakukan kerja sama dengan kepolisian dan TNI dibandingkan dengan masyarakat adat atau lokal. Bahkan, kata dia, Presiden Prabowo terang-terangan mengatakannya sewaktu berpidato. "Hei kalian Polisi TNI ayo kita amankan hutan-hutan kita," ucap Uli mengutip pidato Prabowo. "Itu seakan-akan ia berkata, kalau ada orang mau menghalangi dan memperjuangkan haknya, akan berhadapan dengan aparat, diamankan," tuturnya lagi.
Senada dengan Uli, Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza menuturkan, klaim pemerintah yang menyatakan bahwa rencana pembukaan 20 juta hektar hutan tidak akan mengakibatkan deforestasi sangat keliru. Kenyataannya, deforestasi itu terus terjadi hingga kini. Amalya mencontohkan salah satu deforestasi yang terjadi akibat produksi pelet kayu di Indonesia. "Pemenuhan kebutuhan 10 juta ton pelet kayu nasional telah mendorong deforestasi hingga 1 juta hektar," tuturnya.