Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Wamen ATR Sebut Legalitas Lahan Perkebunan Sawit Akan Dilakukan jika Tak Masuk Kawawan Hutan

Kementerian ATR/BPN ingin melakukan legalitas tanah perkebunan sawit bila hal tersebut sudah tidak termasuk kawasan hutan.

19 November 2024 | 09.54 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR / BPN) Ossy Dermawan menyatakan pihaknya akan melakukan legalitas tanah perkebunan sawit, bila lahan itu tidak termasuk kawasan hutan. Untuk itu, Kementerian ATR/BPN akan berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kami berkoordinasi secara full dengan Kementerian Kehutanan dalam kaitan, jika memang kawasan tersebut (sawit) dari sisi fakta, dari sisi lapangannya memang sudah bukan merupakan kawasan hutan lagi," ujar Ossy saat ditemui di kantor Ombudsman pada Senin, 18 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain itu, kata Ossy, Kementerian ATR turut meminta saran dari Ombudsman terkait legalitas tanah perkebunan sawit tersebut. "Jika sudah dilepas sebagai kawasan hutan, maka Kementerian ATR/BPN bisa menyegerakan untuk melakukan legalitas terhadap tanah tersebut, apalagi jika ini untuk perkebunan sawit rakyat dan lain-lain," ucap dia.

Sebaliknya, ATR tidak dapat melakukan hal apa pun bila semua tanah perkebunan sawit masih dalam kawasan hutan.

Lebih lanjut, dia menyatakan kerja sama antara Kementerian ATR/BPN dengan KLHK dilakukan lewat pemetaan lahan. Hal itu untuk mengetahui letak kawasan yang masih hutan hingga non-hutan untuk melegalisasi tanah perkebunan sawit.

"Kolaborasi ini dibutuhkan untuk kembali memetakan, mana yang menjadi kawasan hutan dan mana yang menjadi non-hutan berdasarkan data tapi juga fakta di lapangan," ucap dia.

Sementara itu, Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan salah satu potensi malaadministrasi dalam industri kelapa sawit terletak pada aspek perizinan. Hal tersebut, kata dia, berpotensi menciptakan kerugian bagi perkebunan kelapa sawit rakyat sejumlah Rp 111,6 triliun per tahun.

Menurut Yeka, lemahnya aspek perizinan, terutama dalam hal pendataan surat tanda daftar budidaya (STDB) dan Sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), berdampak pada menurunnya produktivitas lahan perkebunan sawit. Yeka mengatakan, hal tersebut mengakibatkan produktivitas Tandan Buah Segar (TBS) tidak bisa mencapai tingkat optimal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus