Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono mengatakan rasio pajak Indonesia semakin membaik dari tahun ke tahun. Menurut dia, rasio pajak terus pulih bersamaan dengan performa makrofiskal lainnya setelah pandemi Covid-19. “Kinerja makrofiskal Indonesia terus membaik pascapandemi Covid-19. Indikator-indikator utama, termasuk rasio pajak, defisit fiskal, rasio utang terhadap PDB (produk domestik bruto), dan keseimbangan primer terus menunjukkan tren positif yang konsisten,” kata Thomas dalam acara HSBC Summit 2025, pada Selasa, 22 April 2025, seperti dipantau dari YouTube Tempo. Lantas, bagaimana faktanya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Rasio Pajak Indonesia Setelah Pandemi Covid-19
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Melansir laman Kementerian Keuangan (Kemenkeu), capaian rasio pajak (tax ratio) pada 2021 berada di level 9,21 persen, meningkat dari sebelumnya sebesar 8,33 persen di era pandemi Covid-19 pada 2020. Kemudian, rasio pajak kembali tumbuh signifikan menjadi 10,39 persen pada 2022, tertinggi sejak 2015.
Namun, pada 2023, rasio pajak turun menjadi 10,31 persen dari PDB. Pada tahun lalu, rasio penerimaan pajak terhadap PDB Indonesia kembali anjlok menjadi 10,08 persen.
Berdasarkan paparan Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBNKita di Jakarta, Senin, 6 Januari 2025, penerimaan negara dari sisi perpajakan pada 2024 sebesar Rp 2.232,7 triliun. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat PDB atas dasar harga berlaku senilai Rp 22.139 triliun. Dengan angka tersebut, diperoleh nilai rasio pajak sebesar 10,08 persen pada 2024.
Pada kesempatan yang sama dalam acara HSBC Summit 2025, Thomas menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menjaga anggaran negara agar tetap sehat sebagai instrumen penting untuk menjaga stabilitas dan mendukung transformasi ekonomi. Pemerintah juga menetapkan batasan defisit fiskal sebesar 3 persen. “Batasan defisit fiskal 3 persen berfungsi sebagai jangkar kebijakan utama, memperkuat stabilitas makroekonomi, memperkuat kredibilitas kebijakan, dan mendukung keberlanjutan fiskal jangka panjang,” ucap Thomas.
Adapun hingga 31 Maret 2025, realisasi penerimaan negara tercatat sebesar Rp 516,1 triliun atau 17,2 persen dari target sebesar Rp 3.005,1 triliun. Angka tersebut tumbuh 10,5 persen dari bulan sebelumnya.
Kemudian, penerimaan pajak pada periode yang sama sebesar Rp 400,1 triliun atau 16,1 persen dari target. Angka tersebut terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp 322,6 triliun serta kepabeanan dan cukai sebesar Rp 77,5 triliun. Lalu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berada di level Rp 115,9 triliun.
Sementara itu, realisasi belanja negara sebesar Rp 620,3 triliun atau 17,1 persen dari target anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2025. Angka tersebut mencakup belanja pemerintah pusat sebesar Rp 413,2 triliun atau 15,3 persen dari target dan transfer ke daerah sebesar Rp 207,1 triliun atau 22,5 persen dari target.
Apabila belanja pemerintah pusat dirinci, maka belanja kementerian dan lembaga (K/L) sebesar Rp 196,1 triliun atau 16,9 persen dari target. Sedangkan belanja non-K/L sebesar Rp 217,1 triliun atau 14,1 persen dari target.