Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Salim Melepas Ayam Bertelur Emas

Indofood, salah satu bendera bisnis Salim di Indonesia, dijual. Pembelinya perusahaan asing yang dikuasai Salim. Sebuah upaya pelarian aset? Atau benar Salim kepepet butuh duit?

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jadwal acara Eva Riyanti Hutapea belakangan ini begitu ketatnya. Baru saja mendarat dari Jepang Kamis larut malam, pagi-pagi sekali, Jumat, 18 Desember, ia sudah ditunggu sebuah rapat penting. Hari itu, orang nomor satu di PT Indofood Sukses Makmur ini harus menghabiskan seluruh waktunya untuk beberapa pertemuan maraton. Sampai larut malam....

Kesibukan Eva barangkali sesuatu yang lazim pada zaman normal dulu. Tapi pada masa resesi seperti sekarang, ketika bisnis mampet, kerepotan seperti itu biasanya terjadi hanya jika ada sesuatu yang istimewa. Dan memang itulah yang tengah berlangsung di Indofood. Produsen mi instan terbesar di dunia ini akan segera berganti pemilik. Grup Salim, penguasa Indofood selama ini, akan melepaskan semua sahamnya kepada Nissin First Pacific BV.

Salim jatuh bangkrut? Tidak juga. Perusahaan asing yang berbendera Belanda ini bukan tak ada kaitannya dengan Salim. Nissin First Pacific BV merupakan perusahaan patungan antara First Pacific, perusahaan publik Hong Kong yang sahamnya dikuasai Salim, dan Nissin Food Products, perusahaan produsen mi terbesar di Jepang. Jadi, bisa dibilang, Salim hanya akan mengalihkan kepemilikannya di Indofood ke sebuah perusahaan publik di Hong Kong.

Kongsi Nissin-Pacific ini akan berbagi rata kepemilikan (50 : 50). Mereka akan mengambil oper 60 persen saham Indofood milik Salim pada harga US$ 570 juta. Dari jumlah ratusan juta dolar itu, US$ 435 juta (US$ 285 juta dari Nissin dan US$ 150 dari Pacific) akan dibayar tunai. Sisanya US$ 135 juta bakal ditukar dengan saham baru First Pacific. Setelah transaksi kelak, Salim akan kehilangan semua sahamnya di Indofood. Sebagai gantinya, selain memperoleh uang tunai, Salim akan menambah porsi kepemilikannya di First Pacific dari 53 persen menjadi 58 persen.

Pertanyaannya, mengapa Salim perlu menjual Indofood. Bagi Salim, Indofood bukan sekadar bendera bisnisnya di Indonesia, tapi juga mesin uang. Berbeda dengan bendera bisnis lain yang sedang paceklik berat, bisnis Indofood justru cukup cerah. Ketika BCA terseok-seok kesulitan likuiditas (sehingga sempat harus disuntik Bank Indonesia hingga Rp 35 triliun) dan Indocement yang merugi triliunan rupiah, Indofood masih mencatat untung.

Tahun ini, menurut Merrill Lynch Indonesia, Indofood masih dapat mencetak laba bersih Rp 116 miliar. Tahun depan, Indofood ditaksir bakal melesat cepat dengan keuntungan sampai Rp 1,2 triliun. Dengan laba sebesar itu, diperkirakan kelompok Salim akan ketiban Rp 280 miliar hanya dari dividen. Boleh dikata, menurut seorang kepala riset perusahaan sekuritas asing, "Bagi Salim, Indofood itu seperti ayam bertelur emas."

Lalu, siapa yang mau menjual ayam bertelur emas? Siapa pun tentu bersedia asal harganya istimewa. Nah, harga yang ditawarkan Salim ini justru bukan harga istimewa, tapi pada harga pasar. Nilai US$ 570 juta yang dibayar kongsi Nissin-Pacific dihitung berdasarkan harga Rp 3.950, harga saham Indofood di bursa Jakarta pada hari Selasa, sehari sebelum penandatangan jual beli ini diteken. Mestinya, dengan harga pas-pasan seperti itu, Salim tak bakal melepas mesin uang yang begitu produktif, kecuali jika Salim memang lagi kepepet berat.

Jadi, mengapa Salim harus merasa kepepet? Seperti kata pepatah, dalamnya sumur bisa diduga, niat Salim sulit diraba. Seorang kepala riset perusahaan sekuritas asing melihat transaksi ini merupakan siasat Salim menghadapi ancaman politis terhadap Indofood. Sulit disanggah, pelbagai kebijakan perekonomian saat ini, mulai dari soal redistribusi aset sampai semangat membangkitkan ekonomi rakyat, menunjukkan gelagat yang kurang ramah terhadap perusahaan besar--terutama konglomerasi Cina.

Apalagi, harus diakui, Indofood lengket dengan tudingan kroni lantaran koneksi politik yang begitu kental. Hingga satu dua tahun lalu, kita masih sering mendengar bagaimana Anthony Salim, putra mahkota Grup Salim blebar-bleber keluar-masuk Istana atau rumah Soeharto di Cendana dengan pakaian santai. Dan repotnya, sekarang hak-hak spesial seperti itu sudah tak pernah kedengaran.

Tambahan pula, Salim memang punya beban tanggungan utang yang tak sedikit. Selain tagihan bantuan likuiditas Bank Indonesia Rp 35 triliun, Salim juga dikabarkan mengagunkan sebagian asetnya sebagai jaminan kredit ke sejumlah bank pemerintah. Ini membuka peluang bagi bank maupun pemerintah untuk mengambil oper aset Salim, begitu pinjaman itu tak dibayar tepat waktu.

Nah, lengkap sudah alasan bagi Salim untuk memarkir kekayaannya ke luar negeri. Dengan transaksi ini, Salim tetap bisa mengendalikan perusahaannya dari luar negeri atas nama perusahaan publik. Dengan cara ini, pemerintah tak mungkin lagi "menekan" Indofood. Toh, kepemilikan Salim di Indofood--walau secara tidak langsung--tetap dominan. Dengan menguasai 58 persen saham First Pasific, secara tak langsung Salim tetap akan mengontrol 18 persen saham Indofood. Jadi? Menurut seorang analis asing, "Salim memang sengaja berkelit dari tekanan politik."

Kesan "melarikan" kekayaan ke luar negeri ini memang bukan tak berdasar. Belakangan ini Salim begitu agresif membuka sejumlah jalur bisnis di luar negeri. Belum dua bulan lalu, First Pacific membeli saham Phillipine Long Distance Telecommunication senilai hampir US$ 750 juta. Selain itu, melalui Berli Jucker, sebuah industri kemasan yang dikuasainya di Thailand, Salim mendirikan holding company raksasa untuk mendanai proyek-proyeknya di Negeri Gajah Putih. Seorang analis bahkan sampai pada kesimpulan, "Salim sedang mencari negeri lain untuk dijadikan basis bisnis yang baru."

Tapi benarkah Salim akan melarikan diri dari Indonesia? Dugaan ini dibantah corporate finance Grup Salim, Simon Subrata. Justru karena ingin tetap mempertahankan Indofood, kata Simon, Salim menjualnya ke "saudara" sendiri, yakni First Pacific. "Kalau mau lari, kita jual saja ke pihak asing, harganya pasti lebih mahal," katanya. Ia mengaku, sebelum transaksi dengan Nissin Pacific ini, Indofood sudah menerima penawaran sejumlah calon mitra dari Eropa dengan tawaran harga 10 persen lebih mahal.

Menurut Simon, penjualan saham Indofood ini dilakukan lantaran Salim kepepet butuh duit. "Ini terpaksa. Kita tak punya pilihan lain," katanya. Sudah sejak tiga atau empat tahun lalu, 60 persen saham Indofood yang dimiliki Salim dijadikan jaminan utang kepada kreditur luar negeri. Artinya, saham Salim di Indofood tak mungkin dinasionalisasi karena sudah "digadaikan".

Nah, beberapa dari utang itu kini jatuh tempo. Daripada harus mencari pembiayaan baru yang juga tak mudah, Salim memilih menjual aset. Dan Indofood dipilih lantaran dianggap paling layak, paling likuid, dan paling rasional harganya.

Menurut Simon, sebenarnya bukan cuma Indofood yang ditawarkan. Saham Salim di First Pacific, QAF, dan bahkan Indocement pun sedang disodor-sodorkan ke investor asing. Tapi ketiganya tidak bisa mendapat hasil segera. Negosiasi penjualan itu alot dan berlarut-larut. Indocement, misalnya, sejak empat bulan lalu sudah ditawarkan ke sejumlah industri semen raksasa dunia seperti Lafrage (Prancis), Heidelberger (Jerman), dan Holderbank (Swiss), tapi hingga kini hasilnya belum kelihatan. "Padahal kami perlu duit segera," kata Simon.

Sebenarnya penjualan saham Indofood ke Nissin-Pacific juga tak menghasilkan duit segera. Menurut dokumen perjanjian jual beli yang diteken di Tokyo 16 Desember lalu, Nissin akan membayar jatahnya senilai US$ 285 juta awal Februari mendatang. First Pacific? Jauh lebih lama. Perusahaan publik Hong Kong itu baru akan membayar Salim senilai US$ 150 juta pada akhir Juni--bahkan bisa diperpanjang sampai akhir September tahun depan.

Apa tak rugi menjual sekarang dengan penyerahan uang belakangan? Simon mengaku, jika melihat prospeknya, harga saham Indofood memang masih lebih mahal lagi tahun depan (lihat boks: Petik Untung dari Akrobat Indofood). Tapi ia mengingatkan, negosiasi penjualan saham Indofood bukan baru satu dua hari ini, tapi sudah sejak tiga bulan berselang, ketika harga saham Indofood masih di kisaran Rp 1.500.

Nah, sekarang, pada saat harga saham Indofood bisa didongkrak sampai Rp 3.950, Salim sudah cukup puas untuk melepas ayam bertelur emas ini. Toh, tidak dijual ke orang lain, tapi ke saudara sendiri. Kelak, kalau kondisi keuangannya sudah memungkinkan, kata Simon seperti berjanji, Salim tentu akan mengambil kembali Indofood.

Dwi Setyo, Bina Bektiati, dan Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus