SEORANG wartawan pernah "dibanting" seorang menteri. Tanpa
menguasai persoalan, ia bertanya secara mengambang, membuka
wawancara:
"Bagaimana Haji Thahir, Pak?" Ia agaknya ingin mengetahui
perkembangan lanjutan tentang simpanan uang almarhum Haji
Thahir, Asisten Umum Direktur Utama Pertamina, yang jadi rebutan
ahli warisnya. "Ya bagaimana, Haji Thahir kan sudah dikubur?"
sahut sang Menteri sambil ketawa, "he . . he . . "
Contoh ini yang dikemukakan Pemimpin Redaksi Antara, Mochamad
Chudori, tidak akan terjadi seandainya wartawan tadi membikin
persiapan. Kekurangan seperti itu sering dijumpainya. Banyak
wartawan diperhatikannya belum menguasai teknik jurnalistik.
Bahasa Indonesia yang jadi wahana utama untuk berkomunikasi,
kata Chudori lagi, "juga tidak dikuasai dengan baik." Bahkan,
menurut wartawan kawakan Haji Rosihan Anwar, "ada wartawan yang
tidak bisa menyusun pikiran secara logis." Kelemahan itu
memprihatinkannya.
Teringat Kembali
Suardi Tasrif SH, Ketua Dewan Kehormatan PWI, yang dikutip
Kompas, terutama menunjuk pada perkembangan wartawan Indonesia
umumnya yang ketinggalan dibandingkan dengan masyarakat
sekitarnya. "Memang tidak enak jika pers yang antara lain
melakukan kontrol sosial, ternyata tidak mampu mendalami
permasalahannya," kata Tasrif.
Semua itu teringat kembali dalam suasana merayakan ulang tahun
ke-24 (9 Februari) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sidang
Gabungan Pengurus Pusat dan Badan Pekerja Kongres PWI
selndonesia di Semarang (9 - 11 Februari) tidak lupa
membicarakan lagi soal upaya meningkatkan ketrampilan wartawan.
PWI bermaksud menggalakkan Karya Latihan Wartawan (KLW), yang
selama ini diadakan dengan dana dan tenaga pengajar terbatas.
Setiap KLW hanya mampu menampung 40 peserta. Sejak KLW pertama
1971, baru sekitar 600 wartawan dari 2.000 lebih anggota PWI
mengikuti program tadi.
Sebagian pemimpin redaksi koran daerah mengeluh karena
penyelenggaraan KLW terlalu singkat. "Tidak banyak hasil dari
KLW yang cuma seminggu," kata Mohammad Siddik, Pemimpin Redaksi
Band ung Post. Ada 4 wartawan koran ini yang telah mengikuti
KLW. "toh mereka tak banyak berubah," sambung Siddik.
Tapi Bambang Daulat, Redaktur Kota Kedaulatan Rakyat (Yogya)
merasa lebih baik menulis berita sekembalinya dari KLW itu. Juga
Ny. Arie Gijarto, Redaktur Daerah dan Kota Berita Nasional
(Yogya), mulai pandai menerapkan ekonomi bahasa dalam editing
"Gunanya saya rasakan, tapi masih belum jelas," ungkap Ny.
Gijarto. "Dengan KLW, paling sedikit kita memperoleh petunjuk
praktis menjadi reporter yang baik," tambah Andi Suwandi dari
koran Mandala (Bandung).
Direktur Program KLW, Rosihan Anwar, mengamati perkembangan para
wartawan lepasan KLW lewat media mereka "Kini banyak di antara
mereka pandai menyusun berita secara ekonomis," sebutnya.
Rosihan baru saja kembali dari memberikan penataran untuk
Wartawan Sri Lanka sebulan lamanya.
Sedikit sekali media pers Indonesia yang serius menatar sendiri
wartawannya. Misalnya, Antara memberikan Kursus Pendidikan Dasar
dan Lanjutan. Majalah TEMPo ini punya biro-khusus untuk usaha
meningkatkan mutu redaksinya.
Spesialisasi seperti dianjurkan Tasrif, tampaknya masih impian,
terutama untuk koran daerah. Untuk menjadi spesialis, "harus
jadi jurnalis dulu," kata M. Wonohito, Pemimpin Redaksi
Kedaulatan Rakyat.
Annas Lubuk, Wakil Pemimpin Redaksi Haluan (Padang), mengatakan
spesialisasi untuk koran daerah belum mendesak. "Wartawan kami
mesti pandai menulis secara umum lebih dulu," sebutnya.
Hal senada juga dikemukakan Chulori dari Antara. "Ibaratnya kita
ini mencapai dokter umum saja belum sampai, jangankan spesialis
. . ."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini