Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Lagu cinta orang laut

Di riau mereka disebut suku terasing. ada upaya pemukiman dari pkmt, tapi belum terlaksana. (ds)

23 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERANG bulan di Pulau Akar. Beberapa orang gadis melompat dari Las perahu ke pantai. Bila irama musik tabuhan dari kaleng roti mulai terdengar, dara-dara itupun mulai menari. Sesekali terdengar seorang dari mereka menyanyikan satu lagu, tentu lagu cinta. Tarian rakyat yang dibawakan gadis-gadis tadi disebut "joget Mantang" berasal dari sebutan "orang Mantang". Kelompok ini juga populer dengan sebutan "suku laut", karena lebih suka tinggal di perahu dari pada menempati rumah yang berjejer-jejer di tepi pantai dari pulau-pulau yang ada di Kepulauan Riau. Joget Mantang ternyata juga punya andil besar dalam usaha mendaratkan gadis-gadis suku laut dari perahu-perahu mereka. Saleha misalnya, kini menetap di darat setelah digaet oleh pemuda nelayan asal Bugis. "Kami saling berkenalan ketika saya lagi berjoget," tutur Saleha (42 tahun) ketika muncul dengan perahunya di pelabuhan Pasar Ikan Tanjungpinang. Masuk Islam Sampai punya 4 anak, ia belum bisa berpisah dengan perahunya, "karena susah cari makan di darat." Tapi akhirnya ia kembali juga ke rumahnya di sekitar Pulau Batam. Lain halnya dengan Rosnah, 30 tahun, yang boleh dibilang mewakili potret keluarga suku laut sebenarnya yang lebih suka mengembara di laut dengan perahu ketimbang tinggal di darat. Perahunya berukuran 5 meter. Ada tenda kajang dengan anyaman daun bengkuang di tengahnya yang membentuk ruangan seluas 1,5 meter persegi. Tampak bergantungan ember-ember plastik, panci hitam, baju dan kain kumal. Di situ Rosnah bertahan selama 11 tahun bersama 10 anaknya. Anak-anak suku laut biasanya memisahkan diri jika sudah menikah atau sudah memiliki perahu sendiri. Anak sulung Rosnah berusia 13 tahun. Sudah 4 tahun ia menjanda karena suaminya meninggal terserang malaria. Untuk menyuapi 11 mulut, ia mengumpulkan teripang dan tiram yang harganya memang baik. "Sekilo bisa Rp 3.500 -- untuk hidup seminggu," kata Rosnah. Tapi untuh mendapat sekilo, ia mesti berendam selama 2-3 hari dari pagi hingga sore. "Itu pun kalau cuaca baik," tambah Rosnah. Setiap musim berpindah-pindah, anak-anak Rosnah tak seorang pun mengenal bangku sekolah. Yang diingatnya, ia pernah ikut 2 kali pemilu "dan menusuk gambar pohon," ujarnya sambil tertawa. Tak pernah mengenal Puskesmas apalagi dokter, tingkat kesehatan suku laut amat rendah. "Penyakit kulit paling utama menyerang mereka," kata dr. Zainal Abidin yang lama bertugas di Puskesmas Pulau Batam. Tapi pembunuh paling kejam di sana adalah malaria dan muntah berak. Kata Rosnah, banyak temannya meninggal karena demam panas. Masih ratusan kk lagi yang melaut seperti Rosnah dan anak-anaknya. Jika musim selatan tiba, sering puluhan perahu muncul di depan Pelabuhan Tanjungpinang -- mereka berbelanja. "Kehidupan mereka memang tidak terlalu primitif," tambah Zainal Abidin. Sebab mereka sudah berpakaian sebagaimana layaknya, juga mengenal radio. Mereka hanyalah sebagian dari ribuan jiwa yang terdapat di Riau. Otang biasa juga menyebut sebagai "suku terasing". Sejak 1952 sudah ada usaha pemukiman dari PKMT (Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing). Tapi seperti diakui oleh pihak dinas sosial setempat, "usaha itu belum terlaksana." Sebab kehidupan mereka terpencar-pencar dan dalam kelompok keluarga kecil. Kadang-kadang hanya 50 jiwa per kelompok. Padahal persyaratan dari Departemen Sosial, untuk satu proyek PKMT minimal harus 200 jia atau 50 kk. Selain itu yang diutamakan yang sudah menetap sementara, sedang suku laut ini baru sekitar 40% yang menetap. Akhirnya Mendarat Ketika upaya pemukiman digalakkan, tahun 1963, jumlah mereka sekitar 5.000 jiwa. Padahal sebelumnya diperkirakan 8.000 jiwa. Tapi menurut penelitian Universitas Riau, 1977, jumlah mereka 3.500 jiwa atau 577 kk. Menyusutkah populasi mereka? Hasil penelitian itu juga menyebut tingkat kematian mereka sekitar 11% setahun. Dan catatan terakhir di Kanwil Departemen Sosial Riau lebih menyusut lagi jumlah mereka hanya 2000 jiwa atau 225 kk. Belakangan terdengar ada sebuah anak suku yang benar-benar sudah punah. Yaitu satu di antara 6 anak suku (disebut "nan enam") dari Suku Manah di Teluk Kuantan, Kabupaten Indragiri Hulu. Nasib Suku Rempang di Pulau Rempang pun mengkhawatirkan. Apa boleh buat, memang sulit memukimkan mereka di darat. Ada yang sudah 5-6 bulan dimukimkan di Penuba dan Tanjung Kelit (Kecamatan Lingga), akhirnya kembali lagi ke perahu. Meski begitu ada juga suku laut yang akhirnya mendarat. Misalnya Suku Akit dan Talang Mamak. Untuk mereka, selama 11 tahun terakhir, sudah ada 5 proyek PKMT yang dibuka. Dan yang menggembirakan, bahkan juga ada sejumlah kk yang menetap dan kemudian hidup lebih baik tapi justru atas upaya sendiri. Misalnya 119 jiwa (30 kk) yang kini mukim di Pulau Pelang, Sungai Buluh, Kecamatan Singkep. Bahkan akhir Desember 1979 mereka secara serentak masuk Islam. Inilah pertama kali sekelompok suku laut mengucapkan kalimah syahadat. Upaya memasyarakatkan diri-sendiri itu juga ada di Desa langka, Meral Tanjungbalai Karimun. Di sana sudah menetap 150 jiwa sejak 5 tahun lalu. Bahkan mereka lebih maju dari masyarakat sekitarnya. Punya kapal motor dan menangkap ikan dengan jaring. Tidak lagi bertahan dengan tempuling (tombak bermata satu) atau berendam sampai sore memungut agar-agar dan teripang. Bahkan di Desa Mengkait, nun jauh di Kepulauan Natuna, sekitar 200 jiwa suku laut sudah mendirikan SD. Anak-anak mereka pun sudah terbiasa berpakaian necis putih-putih, meskipun sulit dipaksa bersepatu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus