TERANG bulan di Pulau Akar. Beberapa orang gadis melompat dari
Las perahu ke pantai. Bila irama musik tabuhan dari kaleng roti
mulai terdengar, dara-dara itupun mulai menari. Sesekali
terdengar seorang dari mereka menyanyikan satu lagu, tentu lagu
cinta.
Tarian rakyat yang dibawakan gadis-gadis tadi disebut "joget
Mantang" berasal dari sebutan "orang Mantang". Kelompok ini juga
populer dengan sebutan "suku laut", karena lebih suka tinggal di
perahu dari pada menempati rumah yang berjejer-jejer di tepi
pantai dari pulau-pulau yang ada di Kepulauan Riau.
Joget Mantang ternyata juga punya andil besar dalam usaha
mendaratkan gadis-gadis suku laut dari perahu-perahu mereka.
Saleha misalnya, kini menetap di darat setelah digaet oleh
pemuda nelayan asal Bugis. "Kami saling berkenalan ketika saya
lagi berjoget," tutur Saleha (42 tahun) ketika muncul dengan
perahunya di pelabuhan Pasar Ikan Tanjungpinang.
Masuk Islam
Sampai punya 4 anak, ia belum bisa berpisah dengan perahunya,
"karena susah cari makan di darat." Tapi akhirnya ia kembali
juga ke rumahnya di sekitar Pulau Batam. Lain halnya dengan
Rosnah, 30 tahun, yang boleh dibilang mewakili potret keluarga
suku laut sebenarnya yang lebih suka mengembara di laut dengan
perahu ketimbang tinggal di darat.
Perahunya berukuran 5 meter. Ada tenda kajang dengan anyaman
daun bengkuang di tengahnya yang membentuk ruangan seluas 1,5
meter persegi. Tampak bergantungan ember-ember plastik, panci
hitam, baju dan kain kumal. Di situ Rosnah bertahan selama 11
tahun bersama 10 anaknya. Anak-anak suku laut biasanya
memisahkan diri jika sudah menikah atau sudah memiliki perahu
sendiri.
Anak sulung Rosnah berusia 13 tahun. Sudah 4 tahun ia menjanda
karena suaminya meninggal terserang malaria. Untuk menyuapi 11
mulut, ia mengumpulkan teripang dan tiram yang harganya memang
baik. "Sekilo bisa Rp 3.500 -- untuk hidup seminggu," kata
Rosnah. Tapi untuh mendapat sekilo, ia mesti berendam selama
2-3 hari dari pagi hingga sore. "Itu pun kalau cuaca baik,"
tambah Rosnah.
Setiap musim berpindah-pindah, anak-anak Rosnah tak seorang pun
mengenal bangku sekolah. Yang diingatnya, ia pernah ikut 2 kali
pemilu "dan menusuk gambar pohon," ujarnya sambil tertawa.
Tak pernah mengenal Puskesmas apalagi dokter, tingkat kesehatan
suku laut amat rendah. "Penyakit kulit paling utama menyerang
mereka," kata dr. Zainal Abidin yang lama bertugas di Puskesmas
Pulau Batam. Tapi pembunuh paling kejam di sana adalah malaria
dan muntah berak. Kata Rosnah, banyak temannya meninggal karena
demam panas.
Masih ratusan kk lagi yang melaut seperti Rosnah dan
anak-anaknya. Jika musim selatan tiba, sering puluhan perahu
muncul di depan Pelabuhan Tanjungpinang -- mereka berbelanja.
"Kehidupan mereka memang tidak terlalu primitif," tambah Zainal
Abidin. Sebab mereka sudah berpakaian sebagaimana layaknya, juga
mengenal radio.
Mereka hanyalah sebagian dari ribuan jiwa yang terdapat di Riau.
Otang biasa juga menyebut sebagai "suku terasing". Sejak 1952
sudah ada usaha pemukiman dari PKMT (Pembinaan Kesejahteraan
Masyarakat Terasing). Tapi seperti diakui oleh pihak dinas
sosial setempat, "usaha itu belum terlaksana."
Sebab kehidupan mereka terpencar-pencar dan dalam kelompok
keluarga kecil. Kadang-kadang hanya 50 jiwa per kelompok.
Padahal persyaratan dari Departemen Sosial, untuk satu proyek
PKMT minimal harus 200 jia atau 50 kk. Selain itu yang
diutamakan yang sudah menetap sementara, sedang suku laut ini
baru sekitar 40% yang menetap.
Akhirnya Mendarat
Ketika upaya pemukiman digalakkan, tahun 1963, jumlah mereka
sekitar 5.000 jiwa. Padahal sebelumnya diperkirakan 8.000 jiwa.
Tapi menurut penelitian Universitas Riau, 1977, jumlah mereka
3.500 jiwa atau 577 kk. Menyusutkah populasi mereka? Hasil
penelitian itu juga menyebut tingkat kematian mereka sekitar 11%
setahun. Dan catatan terakhir di Kanwil Departemen Sosial Riau
lebih menyusut lagi jumlah mereka hanya 2000 jiwa atau 225 kk.
Belakangan terdengar ada sebuah anak suku yang benar-benar sudah
punah. Yaitu satu di antara 6 anak suku (disebut "nan enam")
dari Suku Manah di Teluk Kuantan, Kabupaten Indragiri Hulu.
Nasib Suku Rempang di Pulau Rempang pun mengkhawatirkan. Apa
boleh buat, memang sulit memukimkan mereka di darat. Ada yang
sudah 5-6 bulan dimukimkan di Penuba dan Tanjung Kelit
(Kecamatan Lingga), akhirnya kembali lagi ke perahu.
Meski begitu ada juga suku laut yang akhirnya mendarat. Misalnya
Suku Akit dan Talang Mamak. Untuk mereka, selama 11 tahun
terakhir, sudah ada 5 proyek PKMT yang dibuka. Dan yang
menggembirakan, bahkan juga ada sejumlah kk yang menetap dan
kemudian hidup lebih baik tapi justru atas upaya sendiri.
Misalnya 119 jiwa (30 kk) yang kini mukim di Pulau Pelang,
Sungai Buluh, Kecamatan Singkep. Bahkan akhir Desember 1979
mereka secara serentak masuk Islam. Inilah pertama kali
sekelompok suku laut mengucapkan kalimah syahadat.
Upaya memasyarakatkan diri-sendiri itu juga ada di Desa langka,
Meral Tanjungbalai Karimun. Di sana sudah menetap 150 jiwa sejak
5 tahun lalu. Bahkan mereka lebih maju dari masyarakat
sekitarnya. Punya kapal motor dan menangkap ikan dengan jaring.
Tidak lagi bertahan dengan tempuling (tombak bermata satu) atau
berendam sampai sore memungut agar-agar dan teripang.
Bahkan di Desa Mengkait, nun jauh di Kepulauan Natuna, sekitar
200 jiwa suku laut sudah mendirikan SD. Anak-anak mereka pun
sudah terbiasa berpakaian necis putih-putih, meskipun sulit
dipaksa bersepatu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini