Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sebuah catatan, bukan gugatan

Pengarang: saifuddin zuhri bandung: alma'arif, 1979 resensi oleh: syu'bah asa. (bk)

23 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJARAH KEBANGKITAN ISLAM DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA. Oleh: K.H. Saifuddin Zuhri Penerbit: PT Alma'arif, Bandung, 1979 Ukuran saku, 667 halaman. SETIDAKNYA sudah dua kali K.H. Saifuddin Zuhri, kiai dari kalangan politisi N.U., mengangkat "soal terpendam." Pertama ketika ia menulis Guruku Orang-Orang dari Pesantren, sebuah semi-otobiografi yang menuturkan peranan sejarah para pemuka dan kalangan N.U. dalam pergerakan nasional (TEMPO, 22 April 1978). Kedua, dengan mengambil 'sejarah kebangkitan Islam' sebagai tema, yang ingin ditampilkan agaknya tak lain dari apa yang di kalangan intern dikenal sebagai nahdliyah ("NU-isme", berasal dari nama nahdlab, kebangkitan). Kali ini sebuah jalan pikiran. Dengan semangat memperkenalkan (dan membela) "apakah nahdlah itu," sistematik disusun. Tampak akan menjadi buku tentang sejarah agama Islam, bila bab pertama diisi dengan penuturan zaman Nabi dan para sahabat. Tetapi lewat bab-bab berikutnya, segera diketahui bahwa yang sedang dicari sebenarnya semacam legitimasi ataupun asal-usul bagi kehadiran kelompok besar muslimin yang disebut oleh para pemimpinnya sebagai "ahlus-sunnah wal jama'ah." Yakni: kaum yang dalam hukum mengikuti salah satu dari empat mazhab, dalam theologi mengikuti rumusan Asy'ari (yang terkenal dengan 'sifat 20' Tuhan) dan dalam tasauf mengikuti syarat-syarat Ghazali. "Jurang Perasaan" Bab ketiga misalnya (buku ini terdiri dari 16 bab atau pasal), melulu memuat riwayat hidup 35 orang ulama dan pengarang dari zaman silam, alias sekumpulan data mati yang hubungannya dengan "bagian pembicaraan" tidak begitu jelas -- kalau kita tidak cukup paham bahwa itulah contoh para tokoh besar yang menjadi referensi. Di situ tak ada Ibnu Taimiah, Ibnul Qaiyim atau Muhammad Abduh, yang juga tokoh-tokoh besar dalam kebangkitan Islam dan kebetulan menjadi referensi golongan Muhammadiyah misalnya. Buku, ini lalu seperti mencerminkan sesuatu dari masa lampau. Memang ada satu periode ketika timbul friksi antara golongan besar yang kemudian ditubuhkan dalam jam'iyah (perkumpulan keagamaan) N. U., dengan kalangan pemurnian seperti Muhammadiyah, Persis atau Al Irsyad. Hanya, makin lama orang agaknya makin mengerti bahwa di samping soal-soal yang lebih murni agama, yang juga turut atau bahkan lebih menentukan dalam menciptakan "jurang perasaan" antara kedua kalangan sebenarnya adalah masalah perbedaan "kultur". Termasuk gaya kepemimpinan kiai di tengah umatnya di desa lawan gaya "hangat" kaum "modernis" di kota. Maksud mengetengahkan jalan pikiran kaum Nahdliyin, atau "Ahlus Sunnah", diwakili yang terpenting oleh pembelaan terhadap mazhab. Mazhab tak lain merupakan hasil logis (salah satunya red.) prinsip ijtihad yang justru diagungkan kalangan "pembaru" sendiri -- yakni 'pengerahan ilmu dan pikiran untuk mencari hukum, kesimpulan atau penafsiran, secara jujur'. Sebab memang ada sesuatu yang terasa kurang adil serangan kepada mazhab semata-mata karena ia tak ada di zaman nabi. Padahal mazhab dalam praktek umumnya tak terhindari: bila orang, apalagi si awam, mengamalkan ajaran menurut tuntunan orang besar yang ia sendiri tak mampu mencapai apalagi menandingi ilmunya. Serangan kepada ini (meskipun sebenarnya secara resmi tak pernah disiarkan) bisa dinilai timbul dari semangat 'demokratisasi pikiran' yang memang amat bagus sebagai ide, namun tidak realistis dalam tuntutan. Tetapi yang diserang secara resmi, dan sengit, sebenarnya ialah taqlid semangat "mengikut secara buta". Kaum "pembaru" itu menganggap taqlid itulah lawan sebenarnya dari prinsip ijtihad yang, seperti dituliskan Saifuddin Zuhri sendiri, merupakan pertanda penghargaan kepada akal pikiran dalam Islam. Hanya masalahnya, sementara si pengarang menganggap taqlid sesuatu yang tak terhindarkan dilihat dari realitas, kalangan "kota" barangkali tak pernah berpikir bahwa menghantam taqlid berarti menghantam sebuah struktur keagamaan di desa -- dan praktis menuntut desa menjadi "kota". Sesuatu yang bukan tidak mungkin memang, hanya saja yang dihadapi jauh lebih besar dari hanya sebuah dalil. Yang jadi soal kemudian: setelah mengatakan kesahan mazhab sebagai hasil ijtihad, pengarang kemudian ingin sekali mengesankan "betapa beratnya ijtihad itu". Tidak kurang dari delapan kali (hal. 134-162) pengumuman itu diulangulangnya. Ada misalnya disebut dari kira-kira 140.000 sahabat Nabi, hanya sekitar 130 orang yang "memberanikan diri" berijtihad sepeninggal beliau (padahal jumlah itu berarti satu orang dari seribu orang lebih sedikit -- satu jumlah yang sangat menggembirakan!). Mengapa perlu "ditakut-takuti" Sebab "betapa kacau-balaunya Dunia Islam serta masyarakat pemeluknya jikalau penggalian hukum "baru" itu dikerjakan oleh sembarang orang . . . hanya berdalil demi "kemerdekaan berpikir" dalam Islam" (hal. 152). Mungkin. Sebab ijtihad memang hampir selalu diartikan sebagai "pekerjaan ilmiah raksasa" -- istilah penulis. Agaknya hampir tak pernah dibayangkan adanya orang-orang yang, dengan bekal ilmu yang bagaimana pun, kerapkali berpindah dari satu pendapat ke pendapat yang lain -- dengan keyakinan bahwa kebenaran tidaklah hanya terletak pada hasil "penyelidikan" semata. Kata-kata Nabi yang mengumumkan bahwa "siapa yang berijtihad dan benar ia mendapat dua nilai pahala, dan siapa berijtihad dan salah ia mendapat satu nilai pahala," justru menunjuk kepada harga 'jerih payah' itu sendiri -- dan harga nurani alias kalbu. "Tanyalah kalbumu sendiri (istafti qalbak)," kata Nabi dalam hadis yang lain. Sudah tentu bila sang "mujtahid" lalu mengumumkan pendapatnya, ia harus sudah bersedia menerima kritik dari orang (siapa pun juga) yang ternyata lebih kompeten. Dan hanya dengan itu 'prinsip gerak dalam mekanisme Islam' (ijtihad) tetap mampu memelihara umat dari kemandekan, tentunya. Lebih Longgar Memang agak disayangkan bahwa bagian-bagian argumentatif dalam buku ini, di samping sangat berpanjang-panjang dan penuh pengulangan, tampak tidak mendapat cukup waktu untuk pengujian -- dibanding bagian kesejarahan khususnya tentang masa-masa mutakhir. Lebih dari itu, Kiai Saifuddin terasa tak perlu benar mengerahkan argumentasi itu: sekarang ini orang, anehnya, justru merasakan kehidupan keberagamaan di kalangan NU lebih longgar dibanding misalnya kalangan Muhammadiyah. Bahkan untuk pikiran-pikiran baru. Orang menduga bahwa pluralitas, yang bisa diakibatkan oleh pengakuan berbagai mazhab, tapi terutama oleh "otonomi" masing-masing kiai yang berbagai ragam, menyebabkan misalnya Nurcholish Madjid, Harun Nasution atau Abdurrahman Wahid (dua yang pertama itu mendapat serangan gencar di "kota"), tampak diterima dengan mudah sebagai "sesama ikhwan". Di segi lain, ijtihad yang dicanangkan kalangan pembaru sendiri sebenarnya tak lain dari "daya upaya menembus semak belukar untuk mencapai apa yang diyakini sebagai 'yang asli' -- dan berhenti di sana. Toh Muhammadiyah sekarang tak seluruhnya sama dengan Muhammadiyah di masa-masa awal -- seperti juga NU. Lebih dari itu, keharusan untuk menjawab tuntutan aktual dan tantangan situasi yang dihadapi bersama, termasuk masalah keadilan atau kemiskinan, menyebabkan makin populernya kesadaran agar "masalah khilafiah (kontroversial) tak usahlah diungkit-ungkit" -- di samping jelas terdapat pendekatan bahkan pembauran kedua kalangan. Buku ini dengan demikian bisa terasa ketinggalan zaman -- kalau saja tidak berjudul Sejarah. Ia memang sebuah catatan tentang masa lalu. Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus