Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Beban belanja negara meningkat gara-gara pelemahan rupiah.
Asumsi nilai tukar rupiah dalam APBN 2023 hanya sebesar 15.100/dolar AS.
Sejumlah surat utang Indonesia jatuh tempo dalam waktu dekat.
JAKARTA — Pelemahan nilai tukar rupiah yang drastis berpotensi meningkatkan beban belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023 dan 2024. Dalam perdagangan pada awal pekan ini, kurs rupiah sempat menyentuh titik terlemahnya dalam tiga tahun terakhir, yaitu 15.965 per dolar Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemarin, rupiah sedikit membaik ke level 15.849 per dolar AS atau menguat 84,5 poin dari perdagangan hari sebelumnya di pasar spot. Sedangkan berdasarkan kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, rupiah ditutup di level 15.869 per dolar AS atau menguat 74 poin.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono mengatakan risiko terhadap APBN timbul akibat selisih yang cukup besar antara ketetapan kurs rupiah dalam asumsi makro dan realisasinya di tahun berjalan. Pada APBN 2023, asumsi nilai tukar rupiah ditetapkan 14.800 per dolar AS.
“Yang akan terpengaruh terutama adalah kenaikan beban subsidi BBM, elpiji, dan listrik. Juga beban pembayaran utang luar negeri,” ujarnya kepada Tempo, kemarin, 24 Oktober 2023.
Baca juga: Bayang-bayang Pelemahan Rupiah
Realisasi belanja subsidi energi dalam APBN 2023 hingga akhir Agustus lalu mencapai Rp 90,84 triliun, yang terdiri atas subsidi BBM dan elpiji 3 kg sebesar Rp 53,64 triliun serta subsidi listrik sebesar Rp 37,2 triliun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga akhir Agustus lalu, anggaran subsidi listrik mencapai 51,26 persen dari pagu atau melonjak 20,46 persen. Kenaikan itu dipengaruhi oleh depresiasi kurs rupiah hingga Agustus 2023 sebesar 3,5 persen secara tahunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selanjutnya, merujuk pada data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) oleh Bank Indonesia, total utang luar negeri pemerintah hingga Juni 2023 mencapai US$ 192,54 miliar, lebih tinggi dibanding utang pada periode yang sama tahun sebelumnya, yakni di posisi US$ 187,35 miliar.
Sebanyak US$ 55,37 miliar merupakan pinjaman yang terdiri atas pinjaman bilateral US$ 17,35 miliar, komersial US$ 3,58 miliar, dan multilateral US$ 34,43 miliar. Berikutnya adalah surat utang sebesar US$ 137,17 miliar, yang terdiri atas surat berharga negara (SBN) internasional US$ 80,71 miliar dan SBN domestik US$ 56,45 miliar.
Berdasarkan mata uang yang digunakan, utang berdenominasi dolar AS mencapai US$ 95,34 miliar, dengan negara kreditor atau pemberi pinjaman terbesar adalah AS, yaitu senilai US$ 20,93 miliar.
Adapun sejumlah SBN internasional tercatat bakal jatuh tempo dalam waktu dekat. Di antaranya SBN seri RI0124 dengan nilai US$ 2 miliar yang jatuh tempo pada Januari 2024 serta RI0224 senilai US$ 0,75 miliar yang jatuh tempo pada Februari 2024.
Penambahan beban mungkin disebabkan oleh potensi risiko currency mismatch dalam konteks penerbitan utang luar negeri. Risiko itu muncul karena bunga utang luar negeri dalam valuta asing yang dibayarkan menjadi lebih besar dan menimbulkan beban tambahan bagi APBN.
Yusuf mengingatkan, jika tidak segera dimitigasi, pelemahan rupiah dapat menambah beban anggaran negara secara signifikan. Pasalnya, setiap pelemahan kurs rupiah sebesar 100 poin terhadap dolar AS berpotensi meningkatkan beban APBN sebesar Rp 10 triliun serta defisit anggaran hingga Rp 6 triliun.
Beban Belanja Bertambah Rp 153 Triliun
Karyawan tengah menghitung uang rupiah dan dolar AS di tempat penukaran valuta asing di Jakarta, 4 Oktober 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengimbuhkan tambahan beban itu tak hanya berpotensi terjadi pada APBN tahun ini, tapi juga pada APBN 2024. Sebab, dalam asumsi makro APBN 2024, pemerintah menetapkan kurs rupiah sebesar 15 ribu per dolar AS, atau masih terdapat selisih dengan realisasi kurs beberapa waktu terakhir.
Sementara itu, menurut penghitungan Celios, setiap terjadi pelemahan rupiah sebesar 100 poin terhadap dolar AS, belanja negara dalam APBN 2024 berpotensi bertambah hingga Rp 10,2 triliun. “Secara keseluruhan potensi pembengkakan belanja bisa mencapai Rp 153 triliun,” ucap Bhima.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menuturkan beban pembayaran utang luar negeri pemerintah, baik yang bersumber dari pinjaman bilateral, multilateral, maupun SBN denominasi valuta asing atau global bonds, bakal melonjak meski pemerintah tak menambah utang baru.
Soalnya, kalkulasi pendapatan dan pembayaran utang selama ini dilakukan dengan mengacu pada rupiah. Maka, ketika nilai tukar rupiah melemah, beban anggaran untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang luar negeri pun bertambah.
Asumsi makro APBN 2024 menetapkan nilai tukar rupiah sebesar 15 ribu per dolar AS. "Namun, akibat depresiasi rupiah hingga mendekati 16 ribu per dolar AS, kenaikan biayanya bisa mencapai 8 persen,” ujar Tauhid.
Menurut dia, pemerintah harus mengkompensasi kenaikan biaya akibat pelemahan rupiah itu dengan melakukan lindung nilai atau hedging. Salah satu strategi yang selama ini diterapkan adalah melakukan natural hedging dengan menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran sehingga tidak terjadi lonjakan keperluan kas.
“Di sisi lain pendapatan APBN dari bea masuk dan bea impor juga tergerus karena pengaruh pelemahan nilai tukar sehingga membuat penerimaan negara berkurang,” kata Tauhid.
Sri Mulyani Tepis Kekhawatiran
Merespons kekhawatiran tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pelemahan kurs rupiah sejauh ini belum memberikan dampak signifikan terhadap penambahan beban belanja negara, khususnya dari pos subsidi energi. “Sampai hari ini kami belum melihat itu sebagai hal yang signifikan,” ucapnya. Meski demikian, pemerintah tetap mewaspadai tren penguatan dolar AS dan harga minyak dunia yang diprediksi masih berlanjut.
Sri Mulyani juga tak menutup adanya kemungkinan kebutuhan untuk menyesuaikan pagu belanja APBN yang dipicu oleh dinamika perekonomian global. “Kami akan memantau seluruh indikator makro yang terus bergerak dan bagaimana penyesuaiannya terhadap APBN.”
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menuturkan defisit APBN juga dijaga agar tidak melebar, meski rupiah sudah mendekati level 16 ribu per dolar AS. “Defisit akan lebih rendah dari 2,3 persen,” katanya.
Pemerintah, Febrio mengungkapkan, telah menyiapkan berbagai bauran kebijakan untuk memastikan peran APBN sebagai bantalan perekonomian. Kementerian Keuangan juga akan terus memantau perkembangan penerimaan dan belanja kementerian/lembaga dan non-kementerian/lembaga untuk memastikan arah defisit tetap terjaga.
GHOIDA RAHMAH | AMELIA RAHIMA SARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo