Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Produsen poliester melakukan diversifikasi produksi dengan membuat APD.
Asia Pacific Fibers menciptakan serat sintetis yang teknologinya melampaui standar WHO.
Sebanyak 65 persen produk Asia Pacific Fibers dijual di dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandemi Covid-19 memukul semua sektor usaha, termasuk pabrik tesktil dan produk tekstil (TPT). Karena pasar ekspor lesu, industri padat karya ini sekarang cuma bisa bergantung pada penjualan di dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Utama PT Asia Pacific Fibers Tbk, Vasudevan Ravi Shankar, berujar kelesuan pasar produk hilir, seperti garmen, kini menular ke sektor hulu tekstil, seperti produsen serat dan benang. Namun, sejalan dengan pelonggaran aktivitas ekonomi, dia mengatakan mulai terjadi pemulihan pada triwulan III tahun lalu. Saat itu, kata Ravi, utilisasi produksi mencapai 70-73 persen. "Selain karena pasar perlahan mulai terbuka, kami juga terbantu oleh dukungan pemerintah dalam pengenaan antidumping untuk menahan impor," ujarnya.
Seperti apa strategi APF untuk menggenjot permintaan dari dalam dan luar negeri? Berikut ini petikan wawancara jurnalis Tempo, Larissa Huda, dengan Ravi, akhir pekan lalu.
Pandemi telah menghambat kinerja hampir semua sektor industri. Bagaimana APF bertahan sejauh ini?
Ada dua hal yang kami lakukan: efisiensi dan inovasi. Untuk efisiensi, kami melakukan sejumlah penghematan, dari biaya produksi hingga konsumsi energi, tanpa mengabaikan hak dasar pegawai. Adapun untuk inovasi, kami beradaptasi dan melakukan diversifikasi produksi.
Sejauh mana diversifikasi produk yang dilakukan?
Kami berhasil memproduksi bahan baku tekstil medis yang melebihi standar World Health Organization (WHO), sekaligus memperoleh izin edar dari Kementerian Kesehatan. Dengan mengandalkan teknologi yang kami kembangkan 100 persen in-house, kami memproduksi tekstil yang tingkat filtrasinya sangat baik, sekaligus breathable, penggunanya tidak kegerahan. Produk yang kami buat selama pandemi antara lain alat pelindung diri (APD) baju hazmat, masker, selimut anti-bakteri, dan perlengkapan bedding medis. Untuk masker, produk APF telah memenuhi standar produk INA UNITED, sebuah standar mutu yang dikembangkan oleh Satgas Covid-19. Masker kain kami memiliki filtrasi baik dan nyaman. Dan produk tersebut berbasis poliester.
Artinya, poliester kini memiliki peluang besar….
Poliester adalah masa depan karena produksi serat alam, seperti katun dan wol, semakin terbatas, tidak bisa mengejar laju konsumsi dan gaya hidup. Poliester adalah serat yang bisa dimodifikasi berdasarkan fungsi penggunanya. Kami punya teknologi moisture management untuk active wear, teknologi flame retardant untuk perlindungan, teknologi antibacterial dan antiviral untuk kesehatan. Performa seperti ini tidak bisa didapatkan dari serat alam. Poliester juga dapat didaur ulang. Anda jangan heran jika brand yang peduli lingkungan akan menerapkan opsi tukar tambah pakaian untuk menangani masalah limbah apparel. Jadi, pengelolaan industri poliester yang end-to-end adalah bagian dari solusi limbah.
Poliester menjadi salah satu bahan baku untuk memproduksi APD. Apa perbedaannya dengan serat alam?
Bahan baku APD yang dulu dipakai adalah polypropylene atau yang di pasar dikenal dengan nama spunbond, dengan kapasitas terbatas. Bahan tersebut dipilih karena paling murah dan hanya sekali pakai. Limbahnya akan menjadi masalah. Dalam waktu kurang dari satu bulan, kami memproduksi alternatif bahan spunbond dengan basis poliester. Selain dari kapasitas bahan baku yang lebih dari cukup, APD berbasis poliester memiliki keunggulan antibacterial dan proteksi cairan. Plus, multi-use sehingga limbah medisnya bisa kita kendalikan. Ini krusial karena kebutuhan APD semakin meningkat. Kami memprediksi kontribusi produk baru terhadap kinerja keuangan akan terlihat tahun ini di mana produk lokal bisa 100 persen memasok kebutuhan domestik.
Ravi Shankar. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Seperti apa porsi penjualan produk di dalam negeri ataupun ekspor?
Sebanyak 65 persen produk APF memenuhi kebutuhan domestik, yaitu 500 industri kecil, menengah, dan besar. Sisanya untuk ekspor ke 22 negara dengan porsi terbesar di kawasan Eropa, Amerika, Timur Tengah, dan Asia Timur. Kami menyasar segmen khusus, seperti otomotif, technical textile, medis, aviasi, selain juga mempertahankan apparel yang merupakan segmen tradisional kami.
Sejauh mana ekspor saat ini, di tengah lesunya perekonomian di sejumlah negara tujuan?
Ada penurunan dalam jangka pendek. Tapi, berkat relasi solid yang terjalin lebih dari 20 tahun, konsumen lama masih relatif aman.
Pemerintah tengah mendorong ekspor ke pasar non-tradisional. Negara mana yang bisa digarap oleh APF?
Perkara ekspor harus di-back-up dengan integrasi industri yang kuat. Indonesia punya peluang besar karena tidak banyak negara yang punya produsen TPT komplet dari hulu sampai hilir. Tapi tentu pelaku industri harus melihat kecocokan permintaan-penawaran. Kami terus mencari pasar baru. Sementara membuka lahan ekspor baru, kami berupaya meningkatkan penetrasi di Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Utara. Kami berharap, apa pun upaya pemerintah, harus sinergis dengan ikhtiar industri sehingga sektor manufaktur juga turut bergeliat. Sebab, untuk sektor hulu seperti APF yang padat modal, perlu long-term demand agar investasi berhasil.
Berapa besar target pertumbuhan bisnis Anda tahun ini?
Tahun ini kami cukup optimistis, terutama dengan adanya kesadaran akan pentingnya substitusi impor dan semakin pedulinya masyarakat pada isu sustainability. Dua aspek ini akan mendorong bangkitnya industri TPT. APF, dengan pijakan yang cukup kuat di pasar dan memiliki teknologi, bisa memanfaatkan peluang ini untuk bertumbuh. Dalam jangka pendek, strategi kami adalah meningkatkan produk bernilai tambah dan menjadi product partner bagi para pelanggan.
Seperti apa upaya APF untuk turut menekan impor tekstil?
Karena industri kita terintegrasi, maka value chain yang sudah ada harus dipertahankan. Masyarakat harus bangga dengan produk lokal karena mayoritas bahan yang diimpor bisa diproduksi sendiri. Seperti katun, memang Indonesia tidak memproduksi kapas, tapi bisa disubstitusi oleh poliester atau dengan serat lain seperti rayon yang sumbernya melimpah. Perkara substitusi impor tidak hanya tentang regulasi, tapi juga tentang kebanggaan kita menggunakan produk dalam negeri.
Apakah Anda memiliki rencana menambah kapasitas produksi tahun ini? Berapa besar penambahan belanja modalnya?
Belanja modal kami rencanakan US$ 10 juta yang akan dipakai untuk memelihara mesin dan investasi pengembangan produk. Kami belum ada rencana menambah kapasitas produksi, tapi lebih pada upaya meningkatkan utilisasi mesin dan kapasitas terpasang yang sempat turun pada 2020. Tapi kami siap untuk ekspansi untuk demand yang akan datang, terutama bila upaya substitusi impor dan gerakan sustainability berjalan efektif.
Bagaimana Anda dan APF mendukung program pengembangan sumber daya manusia?
Kami melihat bahwa sektor TPT yang kami geluti adalah sektor strategis, baik secara ekonomi maupun pembangunan secara umum. Tapi masih ada gap antara apa yang diajarkan di kampus dan industri. APF sudah hadir di Indonesia lebih dari 35 tahun, sehingga SDM yang kami punya mungkin sudah “profesor” di bidangnya. Tugas yang harus dilakukan saat ini adalah untuk transfer kemampuan tersebut dan menyiapkan kader pengganti. Kami mengembangkan training tools untuk mempersiapkan adik-adik sarjana dan diploma untuk menghadapi dunia industri. Training tools tersebut terdiri atas tiga pilar, yaitu knowledge, skills, dan leadership. APF sedang bekerja sama dengan sejumlah universitas untuk mengembangkan SDM dan talent scouting. Win-win, dari industri terbantu, universitas juga tenang.
Ravi Shankar memimpin Asia Pacific Fibers, pemasok utama serat sintetis untuk industri tekstil kecil hingga besar.
Catatan: Artikel ini telah direvisi pada 13.20, Senin 25 Januari 2021, untuk memenuhi hak koreksi Asia Pacific Fibers. Terima kasih.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo