Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Proses pembahasan revisi UU Minerba dinilai terlalu ugal-ugalan, sangat kilat, dan tidak transparan.
Sejumlah pasal baru dalam draft rancangan tersebut dinilai bermasalah..
Asosiasi menolak konsesi tambang untuk organisasi kemasyarakatan berbasis keagamaan dan perguruan tinggi.
BADAN Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat tiba-tiba membahas penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau UU Minerba. Baleg menyepakati hasil pembahasan revisi UU Minerba menjadi usulan DPR. Rapat pleno Baleg DPR itu dilaksanakan pada Senin malam, 20 Januari 2025.
Rapatnya tertutup dan digelar pada masa reses. Adapun parlemen baru akan memasuki masa sidang satu hari setelahnya, Selasa, 21 Januari 2025. Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib membedakan masa reses dan masa sidang. Pasal 1 ayat 13 menjelaskan bahwa masa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja. Sedangkan Pasal 1 ayat 12 menyebutkan masa sidang adalah masa DPR melakukan kegiatan, terutama di dalam gedung DPR.
Pada Rabu, 22 Januari 2025, Baleg menggelar rapat dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah, dan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia. Digelar di ruang rapat gedung Nusantara I, pertemuan tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg DPR Iman Sukri. Rapat dihadiri 18 anggota dari tujuh fraksi DPR. Walaupun tidak memenuhi kuorum, rapat itu tetap dilaksanakan dengan alasan bukan dalam agenda pengambilan keputusan.
Langkah Baleg yang mendadak membahas revisi UU Minerba ini menuai kritik. Koalisi masyarakat sipil yang berfokus pada transparansi tata kelola energi dan sumber daya alam, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, menilai proses revisi yang dilakukan Baleg terlalu ugal-ugalan, sangat kilat, dan tidak transparan. "Muncul secara tiba-tiba, yang bahkan sebelumnya juga tidak muncul dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025," kata Koordinator Nasional PWYP Indonesia Aryanto Nugroho dalam siaran persnya.
Bukan hanya prosesnya yang dipersoalkan. Sejumlah pasal atau poin baru dalam draf rancangan tersebut juga dinilai bermasalah oleh sejumlah praktisi, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat. Revisi UU Minerba akan mengubah sejumlah pasal untuk menyesuaikan putusan Mahkamah Konstitusi pada 6 Oktober 2021 dan 29 September 2022. Putusan MK itu juga terkait dengan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya mengenai perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) dan wilayah pertambangan rakyat (WPR).
Salah satu yang dianggap bermasalah adalah Pasal 51A ayat 1 tentang WIUP mineral logam. Dalam pasal itu, perguruan tinggi bisa mendapatkan izin tambang secara prioritas, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1.
Dalam draf revisi UU Minerba disebutkan juga bahwa pemberian izin usaha tambang secara prioritas pada perguruan tinggi harus mempertimbangkan tiga hal, yakni luas lahan, akreditasi perguruan tinggi dengan status paling rendah B, atau untuk peningkatan akses dan layanan pendidikan bagi masyarakat. Pemberian WIUP mineral logam dengan cara prioritas kepada perguruan tinggi akan diatur berdasarkan peraturan pemerintah dalam Pasal 51 ayat 3.
Kronologi Revisi UU Minerba2015. Pemerintah mengusulkan rancangan revisi UU Minerba. Rancangan ini pernah mandek karena adanya perbedaan pandangan antara pemerintah pusat, DPR, dan pemerintah daerah ihwal pembagian kewenangan serta pengelolaan hasil tambang. Beberapa pasal dalam revisi UU Minerba yang dinilai bermasalah:
|
Rencana pemberian izin usaha tambang untuk perguruan tinggi pun dikritik sejumlah civitas academica. Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid menilai usaha tambang bukan berada di ranah universitas. Dia khawatir, ketika kampus masuk bisnis pertambangan, mereka tidak sensitif lagi terhadap pengembangan akademik. Sebab, mereka berisiko lebih condong mengembangkan bisnis tersebut.
Fathul khawatir kampus yang masuk ke ranah pengelolaan tambang bakal berorientasi meraup keuntungan yang tinggi dan mengabaikan lingkungan serta warga yang tinggal di daerah tambang. “Ada baiknya kampus tetap berfokus pada misi utama, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat,” katanya, Selasa, 21 Januari 2025.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, juga menyayangkan hal yang sama. Ia menekankan bahwa, berdasarkan Undang-Undang Pendidikan, perguruan tinggi memiliki tiga fungsi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian. “Karena itu perguruan tinggi yang mengelola tambang menabrak UU Pendidikan tersebut. Sebab, pengelolaan tambang di mana pun prosesnya pasti menyebabkan perusakan lingkungan,” ujarnya.
Menurut Fahmy, dengan mengelola tambang, perguruan tinggi ikut berkontribusi terhadap perusakan lingkungan. Padahal selama ini perguruan tinggi mempelopori upaya pelestarian lingkungan. Fahmy menjelaskan, pertambangan di Indonesia berada di wilayah abu-abu, yang sering kali melakukan kejahatan pertambangan hitam dan menimbulkan konflik antara penambang dan masyarakat setempat. Dengan demikian, perguruan tinggi yang selama ini mengayomi masyarakat bisa terseret ke dalam kejahatan pertambangan hitam dan konflik dengan masyarakat.
Fahmy menduga pemberian konsesi tambang ditujukan untuk menundukkan perguruan tinggi agar tidak dapat menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah secara kritis yang selama ini dijalankan. Kalau dugaan tersebut benar, kata dia, tidak berlebihan jika dikatakan terjadi prahara di perguruan tinggi dalam fungsi kontrol dan penegakan demokrasi di Indonesia. “DPR harus mencabut draf RUU itu. Kalau akhirnya RUU itu disahkan, semua perguruan tinggi yang mengedepankan nurani harus menolak pemberian konsesi tambang agar tidak terjadi prahara perguruan tinggi,” ujarnya.
Rapat dengar pendapat antara Badan Legislasi DPR, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Asosiasi Penambang Nikel membahas Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara, di Kompleks Parleman, Jakarta, 22 Januari 2025. TEMPO/Amston Probel
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain berimbas pada independensi perguruan tinggi, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mencatat terdapat tiga hal dalam draf RUU Minerba yang menjadi ancaman serius bagi lingkungan hidup dan hak masyarakat. Pertama, jaminan tidak adanya perubahan tata ruang yang disebutkan dalam Pasal 17A, Pasal 22A, Pasal 31A ayat 2, serta Pasal 172B ayat 2.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deputi Program ICEL Bella Nathania berpendapat pasal-pasal tersebut tidak sejalan dengan pelindungan dan pengelolaan lingkungan. Dengan menyebut tidak akan ada perubahan tata ruang, menurut dia, DPR sama saja mengatakan tidak ada dampak yang ditimbulkan dari aktivitas tambang.
“Perubahan undang-undang ini menunjukkan bahwa DPR tutup mata terhadap kenyataan bahwa kegiatan usaha pertambangan mengancam ekosistem dan ruang hidup masyarakat dengan dampak yang tidak terpulihkan,” ucapnya dalam keterangan resmi pada Selasa, 21 Januari 2025.
Poin bermasalah lain, menurut Bella, adalah isi perubahan UU Minerba lebih berpotensi mengeksploitasi dibanding memperbaiki tata kelola pertambangan. Sebab, dalam draf tersebut DPR tidak menyinggung soal pentingnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap perizinan pertambangan minerba yang telah terbit.
Hingga kini, ICEL mencatat terdapat 4.000 izin usaha pertambangan (IUP) di Indonesia dengan sejumlah pelanggaran. Seperti pelanggaran terhadap kewajiban pascatambang, di mana masih terdapat lebih dari 1.000 lubang tambang yang belum dipulihkan.
Bella juga menilai perubahan UU Minerba itu masih membuka ruang kriminalisasi bagi masyarakat adat di sektor pertambangan. Hingga 2024, ia mencatat terdapat delapan kasus kriminalisasi melalui Pasal 162 terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal ini sering disalahgunakan untuk mempidanakan masyarakat dan menghalangi mereka untuk memperjuangkan haknya.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pun ragu alasan DPR merevisi UU Minerba ini hanya untuk memenuhi putusan MK. Juru kampanye Jatam, Alfarhat Kasman, menilai revisi ini sebagai upaya membuat bancakan kekayaan alam secara sistematis.
“Pembancakan kekayaan alam itu tak lepas dari latar belakang dan kepentingan elite politik Istana dan parlemen yang mayoritas datang dari latar belakang pebisnis,” kata Alfarhat, Selasa, 21 Januari 2025.
Misalnya, pemberian IUP dengan luas kurang dari 2.500 hektare kepada usaha mikro, kecil, dan menengah. Selain itu, usulan Pasal 141 B yang mengatur sebagian penerimaan pendapatan negara bukan pajak dikelola oleh menteri dinilai bermasalah.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey pun menolak kebijakan pemberian prioritas kepada organisasi masyarakat berbasis keagamaan dan perguruan tinggi untuk mengelola lahan tambang. “Jangan pernah ada kata prioritas. Saya minta yang adil. Kalau mau menggandeng semuanya, oke. Tapi lelang terbuka,” ucap Meidy ketika ditemui setelah rapat dengar pendapat umum Baleg DPR, Rabu, 22 Januari 2025, seperti dikutip Antara.
Meidy menyampaikan bahwa ormas keagamaan dan perguruan tinggi memiliki kapabilitas yang berbeda dalam mengelola lahan pertambangan. Apabila ormas keagamaan dan perguruan tinggi ingin dilibatkan dalam mengelola lahan tambang, sebaiknya dibuat klasifikasi dan spesifikasi lelang sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dia menyoroti pentingnya mempertimbangkan kemampuan ormas keagamaan ataupun perguruan tinggi dalam mengelola tambang. Sebab, tambang memiliki risiko yang tinggi serta membutuhkan pendanaan yang besar dan keterampilan yang tinggi.
Tongkang bermuatan batu bara di Sungai Batanghari, Desa Pulau Betung, Batanghari, Jambi, 4 Januari 2025. ANTARA/Wahdi Septiawan
Adapun Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Togar M. Simatupang mengatakan usulan perguruan tinggi mendapat wilayah izin usaha pertambangan dalam revisi UU Minerba harus dikaji lebih dalam. "Ini kan masih wacana ya. Jadi, dari kami sih mewacanakannya dari pemerintah ya positif saja. Tapi harus dikaji dengan lebih dalam," katanya, Selasa, 21 Januari 2025. Togar menjelaskan, dalam mengelola tambang, terdapat sejumlah aspek yang perlu diperhatikan oleh perguruan tinggi, termasuk soal sumber daya.
Sementara itu PBNU mendesak Baleg DPR segera mengesahkan revisi UU Minerba. Ketua PBNU Ulil Abshar-Abdalla mengatakan pada dasarnya ketentuan soal alokasi WIUPK kepada ormas keagamaan sudah diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024. Namun, menurut dia, pihaknya belum dapat mengeksekusinya secara rinci karena belum tersedia payung hukumnya.
Menanggapi sejumlah kritik dari masyarakat, Ketua Baleg DPR Bob Hasan mengatakan pembahasan UU Minerba dilaksanakan tidak secara diam-diam. Menurut dia, revisi aturan ini merupakan rencana lama dan baru akan dibawa ke paripurna untuk dibahas pada tahun ini.
Politikus Partai Gerindra itu mengatakan UU Minerba yang lama masih menimbulkan banyak ketidakpastian sehingga DPR perlu mengusulkan rancangan perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 ini. “Ketidakpastian pada level legal, bukan pada level implementasi,” ucapnya.
Menurut Bob, Baleg juga sudah lebih dulu sepakat membahas inisiatif atau revisi UU Minerba. Hanya, sekarang ada beberapa anggota yang baru masuk dalam lembaga ini. Dia berdalih proses pembahasan revisi ini masih panjang. Nanti ada pengambilan keputusan tingkat satu, lalu dibawa dalam rapat paripurna. Jika dalam paripurna disepakati akan dibahas, tutur Bob, DPR akan mengirim surat kepada pemerintah. Kemudian DPR akan menunggu daftar inventarisasi masalah dan surat presiden.
Bob menjelaskan ada dua penyesuaian aturan sesuai dengan putusan MK Nomor 64/PUU-XVIII/2020 serta Nomor 37/PUU-XIX/2021. Selain itu, Baleg menilai perlu ada aturan baru untuk mempercepat penghiliran. Ditambah perlunya aturan bagi ormas keagamaan untuk mengolah pertambangan. Bob mengklaim penyelarasan ini sudah mempertimbangkan aspirasi dan kemaslahatan masyarakat. Salah satunya Pasal 51A ayat 1 tentang WIUPK mineral logam. ●
M. Syaifullah di Yogyakarta dan M. Rizki Yusrial berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo