Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERAHU bermotor yang telah dimodifikasi berjalan pelan membelah permukaan laguna di Phuket, Thailand. Siang yang tidak terlalu terik dan angin semilir membuat perjalanan menjadi terasa menyenangkan. Sering kali boat yang mengangkut wartawan Tempo bersama sekitar 20 peserta Phuket Hotels for Islands Sustaining Tourism (PHIST) 2022 itu bersirobok dengan wisatawan yang sedang mengayuh kano.
Di sisi lain, sebuah restoran terapung sedang dipersiapkan untuk menjamu tamu-tamu dari tujuh hotel terintegrasi di sekeliling laguna. Ketika boat berjalan lebih jauh lagi, terlihat hamparan pasir putih Pantai Bang Tao, tak jauh dari laguna yang membentang sepanjang 8 kilometer. Di beberapa titik laguna, seperangkat mesin menderu-deru menciptakan gelembung-gelembung udara di permukaan air.
“Mesin ini adalah aerator yang berfungsi menyediakan pasokan oksigen bagi hewan ataupun tanaman yang tumbuh di sini,” kata pemandu perjalanan kami.
Dengan suara lantang menantang desir angin dan getar halus mesin, ia bercerita ihwal laguna tersebut. Laguna ini bukanlah laguna alami, melainkan bekas lahan tambang timah yang belum direklamasi dan direvegetasi. Luasnya sekitar 1.000 ekar atau 400 hektare untuk ukuran yang lazim kita pakai. Luas itu kira-kira lima kali luas lapangan Monas.
Cerita kawasan ini bermula pada awal 1970-an, manakala perusahaan-perusahaan tambang timah meninggalkan Pulau Phuket yang sudah habis dikeruk, dengan warisan lubang-lubang bekas tambang yang menganga dan warga yang kehilangan penghasilan. Keadaan tersebut membuat pemerintah Thailand pusing memikirkan cara menghidupkan kembali pulau itu.
Bekas Lubang Tambang dan Tsunami 2004
Pada masa-masa itulah beberapa pengembang properti terpikir untuk mengubah bekas lubang tambang menjadi tujuan wisata. Phuket, yang memiliki pantai indah, sangat sayang jika diabaikan begitu saja. Memang kala itu ada beberapa pantai yang sudah dikenal turis, seperti Pantai Patong, Karon, Kata, dan Kamala. Namun Pantai Bang Tao, yang bersisian dengan lubang-lubang tambang, belum tersentuh.
Sampai kemudian pada 1984, Laguna Resorts and Hotels—anak usaha Banyan Tree Holdings Limited—mengakuisisi 550 hektare tanah di bekas lokasi tambang timah di Teluk Bang Tao. Diikuti Dusit Thani Laguna Phuket yang membuka hotel pada 1987. Hingga akhirnya sekarang terdapat 7 hotel, 1 lapangan golf 18 hole, dan 1 pusat belanja di kawasan yang dulu porak-poranda tersebut.
“Bapak dan Ibu ke sini untuk membahas mengenai pariwisata berkelanjutan, kan? Nah, Phuket adalah tempat yang cocok. Wisata berkelanjutan di sini sudah diterapkan dari perencanaan, dari pemilihan lokasi,” kata pria paruh baya itu.
Dia bahkan mengklaim keberlanjutan laguna ini telah ditunjukkan dengan kemampuannya menjaga masyarakat sekitar dari bencana tsunami 2004. Berhadapan dengan Laut Andaman, Phuket turut terkena tsunami kala itu. Berkat laguna, ujar dia, sebagian air laut yang masuk bisa ditampung oleh laguna sehingga tidak sampai menimbulkan kerusakan parah.
“Ketika tsunami datang, air laguna naik beberapa meter dan menyerap daya rusak banjir,” kata dia. Namun, dia mengakui, perawatan laguna bukan persoalan mudah dan murah. Butuh total 400 pekerja untuk merawatnya setiap hari. Karena itulah, hotel-hotel yang beroperasi di sekelilingnya membuat konsep wisata terintegrasi dan bersama-sama mengelola laguna tersebut.
Menularkan Semangat Keberlanjutan
Pameran produk-produk ramah lingkungan dalam rangkaian acara Phuket Hotels for Islands Sustaining Tourism (PHIST) 2022, di Phuket, Thailand, 26 September 2022. Phuket Hotels Association
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fakta bahwa pengelolaan wisata berkelanjutan tidak bisa ditangani sendirian mendorong pendirian Phuket Hotels Association (PHA) pada Januari 2016. Sejak saat itu, PHA mengajak semua hotel serta akomodasi wisata di Phuket turut menjaga kelestarian laguna dan pulau.
Ada banyak kegiatan keberlanjutan yang disokong PHA. Di bidang pendidikan, organisasi itu menggalang beasiswa untuk warga Phuket hingga ke jenjang perguruan tinggi. Di bidang lingkungan, Komite Lingkungan PHA membantu hotel-hotel mengurangi dampak negatif industri pariwisata, mengurangi dan mendaur ulang sampah, hingga membersihkan laguna dan pantai.
Sementara itu, di bidang edukasi, PHA menggelar PHIST setiap tahun sejak 2018. President PHA, Bjorn Courage, mengatakan PHIST merupakan upaya menantang status quo dalam industri pariwisata, tempat membicarakan peluang dan mengidentifikasi tantangan, mencari sumber daya, merangkul komunitas, serta mencari solusi.
“Sebab, bicara keberlanjutan adalah tentang keterlibatan manusia,” ucap Bjorn dalam acara PHIST 2022, Senin, 26 September 2022.
PHIST 2022 menghadirkan para pelaku industri perhotelan, ekonomi hijau, dan pegiat lingkungan dari Thailand, Indonesia, Filipina, Vietnam, serta Malaysia untuk membahas isu keberlanjutan di sektor pariwisata. Rangkaiannya terdiri atas pameran produk wisata keberlanjutan, diskusi pengembangan destinasi wisata, kelestarian laut, tata kelola hotel berkelanjutan, serta pariwisata berbasis komunitas.
Bjorn mengungkapkan, setiap tahun, sekitar 500 anggota delegasi dari negara-negara Asia Tenggara bertemu untuk berbagi ide dan memaparkan aksi-aksi yang sudah dilakukan. “Kolaborasi adalah kuncinya. Ketika orang-orang berkumpul, banyak hal hebat bisa dikerjakan. Kita berkumpul di sini sekarang untuk mendorong manfaat positif bagi bisnis dan kawasan,” kata General Manager Hotel Intercontinental Phuket ini.
Salah satu sesi mendiskusikan perihal strategi menekan penggunaan plastik sekali pakai di industri perhotelan. Sesi ini menghadirkan pembicara dari CAP SEA (The Collaborative Actions for Single-Use Plastic Prevention in Southeast Asia). CAP SEA adalah proyek yang dibiayai Kementerian Lingkungan Jerman untuk mengurangi sampah plastik sekali pakai dari hulu.
Diskusi ini menyajikan rekomendasi-rekomendasi untuk pelaku usaha ihwal kebijakan plastik sekali pakai, memperkenalkan model kemasan pakai ulang untuk layanan pengantaran makanan, serta menampilkan contoh hotel-hotel yang sukses dan sistem audit mandiri daring dalam penggunaan plastik sekali pakai.
Sesi lainnya membahas pembiayaan hijau bagi industri perhotelan untuk pengembangan proyek-proyek wisata berkelanjutan, baik proyek baru maupun proyek pengembangan. Salah satu pembicara di sesi ini adalah International Finance Corporation, anggota Grup Bank Dunia. Terakhir adalah workshop mengenai manajemen energi ramah lingkungan.
Perang Melawan Sedotan Plastik
Di samping PHIST, program kebanggaan lain PHA adalah pengurangan sampah plastik. Menurut Bjorn, melalui program pengurangan penggunaan plastik sekali pakai yang merupakan kesepakatan PHIST 2018, anggota PHA berhasil mengurangi sampah dalam jumlah signifikan.
Hanya dalam tempo enam bulan, pada 2019 anggota-anggota PHA berhasil menekan angka penggunaan botol plastik sebanyak 51 persen atau 4,4 juta botol dan mengurangi pemakaian sedotan plastik sebanyak 63 persen atau 1,6 juta batang. Sebagai penggantinya, anggota PHA menggunakan botol minuman kaca dan sedotan kertas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran produk-produk ramah lingkungan dalam rangkaian acara Phuket Hotels for Islands Sustaining Tourism (PHIST) 2022, di Phuket, Thailand, 26 September 2022. Phuket Hotels Association
Wisata Berkelanjutan di Indonesia
Sebagai salah satu negara tujuan wisata di Asia Tenggara, Indonesia tak ketinggalan mengembangkan konsep wisata berkelanjutan. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyebutkan pemerintah tidak lagi mengejar jumlah kunjungan wisatawan, melainkan berfokus pada usaha mendorong pariwisata berkelanjutan.
Pariwisata berkelanjutan, menurut Kementerian Pariwisata, merupakan konsep wisata yang mengurangi dampak negatif industri tersebut sekaligus memberikan dampak positif terhadap lingkungan, sosial, budaya, serta ekonomi dalam jangka panjang. Tidak hanya dinikmati wisatawan, wisata berkelanjutan juga harus lebih banyak dinikmati oleh masyarakat lokal.
Pengembangan pariwisata berkelanjutan dimaksudkan agar tidak ada lagi pembangunan destinasi wisata yang semata-mata ditujukan untuk menarik pengunjung tanpa memperhitungkan dampaknya. Wisata berlanjutan dituntut menghadirkan kebaikan untuk lingkungan, sosial, budaya, serta ekonomi bagi masyarakat lokal ataupun wisatawan.
Kementerian Pariwisata mendata setidaknya lima destinasi wisata yang sudah menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan, yakni Taman Nasional Baluran di Situbondo, Jawa Timur; Taman Nasional Ujung Kulon di Banten; Sangeh Monkey Forest di Bali; Punti Kayu di Palembang; dan Umbul Ponggok di Klaten, Jawa Tengah.
CEO dan pendiri Invest Islands, Kevin Deisser, dalam acara Phuket Hotels for Islands Sustaining Tourism (PHIST) 2022, di Phuket, Thailand, 26 September 2022. Phuket Hotels Association
Kevin Deisser, CEO dan pendiri Invest Islands—pengembang akomodasi wisata di Lombok—yang turut hadir dalam PHIST 2022, mengungkapkan, bagi negara kepulauan seperti Indonesia, menjaga integritas kehidupan di pulau-pulau merupakan kunci keberlanjutan. Dia memastikan setiap proyek pembangunan Invest Islands di Indonesia memiliki dampak positif bagi penduduk setempat dan menghasilkan keuntungan jangka panjang untuk semua pihak.
“Di Indonesia, penduduk asli telah menetapkan standar hidup berkelanjutan yang tinggi. Sebagai pendatang, penyelenggara jasa wisata dan pengembang harus bekerja sama serta belajar dari penduduk setempat,” ucap dia.
Kevin menyinggung fenomena pesatnya pembangunan wisata, khususnya hotel-hotel, di Bali dalam 30 tahun terakhir. Menurut dia, pembangunan jorjoran tersebut telah mempengaruhi daya dukung lingkungan Bali. Maraknya pembangunan hotel menimbulkan masalah sampah pada masa puncak liburan dan diduga menjadi penyebab kelangkaan air bersih selama bertahun-tahun.
“Warga kesulitan, hotel juga kesulitan, dan ini memberikan citra serta pengalaman negatif kepada para tamu,” ujar Kevin.
Hasil Riset Booking.com
Padahal, kata Kevin, berdasarkan survei yang dilakukan Booking.com, sebanyak 53 persen responden berusia di bawah 30 tahun menyatakan tidak akan kembali ke hotel yang tidak menerapkan praktik-praktik berkelanjutan. Hal tersebut, Kevin menyatakan, menjadi pertanda telah terjadi perubahan masif dalam perilaku wisatawan.
Survei yang dimaksudkan Kevin adalah survei yang dilakukan portal perjalanan Booking.com pada Juli 2020. Survei itu dilaksanakan secara daring terhadap wisatawan dewasa yang bepergian dalam 12 bulan terakhir atau berencana bepergian dalam 12 bulan ke depan. Jumlah responden mencapai 20.934 orang dari 28 negara.
Kesimpulannya, pelancong masa kini makin sadar lingkungan. Sebanyak 53 persen responden menginginkan program wisata berkelanjutan, 69 persen mengharapkan pelaku industri perjalanan menawarkan lebih banyak pilihan perjalanan "hijau", dan 48 persen menyenangi destinasi wisata alternatif yang tidak terlalu ramai (overtourism).
Kevin mengaku telah belajar dari tren perilaku wisatawan masa kini dan daerah-daerah yang mengalami overtourism. Karena itu, ucap dia, dalam membangun akomodasi wisata di Lombok, Invest Islands, yang berdiri pada 2015, tidak akan mengulangi kesalahan serupa.
Invest Islands saat ini sedang membangun Gran Melia Lombok Resort and Spa, yang berjarak sekitar 30 menit dari Mandalika. Resor berbiaya US$ 80 juta (Rp 1,2 triliun) ini rencananya dibuka pada 2025. “Proyek tersebut menjadi langkah awal Invest Islands untuk menarik lebih banyak investasi real estate ke Indonesia.”
Proyek lainnya adalah Mandala Eco-Village yang masih dalam tahap perencanaan. Berbeda dengan pengerjaan akomodasi wisata lain yang harus berkompromi dengan keinginan pemilik proyek, dalam proyek Eco-Village yang bernilai US$ 15-20 juta (Rp 228-304 miliar), Kevin bertekad memaksimalkan aspek-aspek keberlanjutan. “Di Eco-Village, kami mendapat kebebasan sepenuhnya dalam hal desain. Tidak spesifikasi khusus yang harus kami penuhi,” kata dia.
Beberapa aspek keberlanjutan yang akan ditonjolkan di Eco-Village antara lain pemilihan material yang didominasi bambu, penyediaan lahan pertanian, pasar tradisional yang berisikan produk petani lokal, kegiatan bersih-bersih pantai, dan keterlibatan dalam komunitas masyarakat. Kevin berujar, proyek Eco-Village mendapat dukungan pendanaan dari Yayasan Relief Islami Indonesia untuk membangun pusat daur ulang.
Biaya Investasi Tinggi?
Kevin menepis anggapan bahwa penggunaan barang-barang ramah lingkungan dalam akomodasi wisata akan meningkatkan biaya operasi. Sebab, ucap dia, saat ini sudah banyak teknologi terbaru yang ramah lingkungan sekaligus efisien dari sisi biaya. Dia mencontohkan sistem automasi penyejuk ruangan yang bisa menghemat pemakaian listrik dan sistem pendeteksi kebocoran air.
“Memang betul, ketika kita mengintegrasikan sistem-sistem tadi ke hotel, biaya investasi jadi lebih tinggi, tapi biaya operasional ke depannya justru lebih hemat,” kata Kevin. Selain itu, sistem teknologi ramah lingkungan kini sudah bisa dijangkau oleh hotel-hotel bintang dua sekalipun.
Tidak hanya berkutat pada solusi teknologi, Kevin menambahkan, ada juga solusi sederhana yang bisa diaplikasikan. Misalnya, menanam pohon naungan pada posisi yang tepat untuk menurunkan temperatur ruangan, membuat ventilasi alami, memperbanyak area tangkapan hujan, dan membuat orientasi properti ke arah yang lebih teduh.
Dukungan Pendanaan dari Grup Bank Dunia
Juru bicara International Finance Corporation (IFC) mengatakan terdapat peningkatan permintaan pembiayaan dari industri perhotelan untuk mendukung praktik-praktik keberlanjutan, terutama untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Penerapan standar "hijau" oleh hotel juga dijadikan alat pemasaran untuk menarik segmen turis yang peduli terhadap isu perubahan iklim.
“Sehingga masuk akal secara bisnis bagi kami, yang juga memiliki kepedulian terhadap isu iklim, untuk mendukung proyek pariwisata yang ramah lingkungan,” ujarnya. Ia menjelaskan, pada tahun fiskal yang berakhir pada Juni 2022, komitmen pendanaan IFC buat proyek-proyek iklim di Asia Timur dan Pasifik mencapai US$ 1,2 miliar.
IFC juga telah menciptakan standar bangunan hijau melalui program Excellence in Design for Greater Efficiencies (EDGE). Hingga Juli 2022, terdapat sekitar 1,7 juta meter persegi bangunan kantor, rumah sakit, hotel, gudang, rumah, dan apartemen di Indonesia yang telah mendapat sertifikat EDGE.
Bahkan Masjid Istiqlal merupakan tempat ibadah pertama di dunia yang mendapat sertifikat akhir EDGE. “Semua usaha itu telah berhasil mengurangi emisi karbon sebanyak 3.000 ton per tahun, yang setara dengan menanam 800 ribu pohon,” katanya.
Contoh dari Pulau Belitung
Situs web Edgebuildings.com mencontohkan Sheraton Belitung Resort di Pulau Belitung sebagai resor berkonsep ramah lingkungan. Lingkungan resor menawarkan keanekaragaman hayati yang kaya. Para tamu resor juga berkesempatan mempelajari ekosistem pulau melalui berbagai kegiatan, seperti eco-trekking, menyelam, dan mengamati penyu musiman.
Resor yang diresmikan pada 1 September 2020 ini memanfaatkan fitur dan teknologi desain yang hemat sumber daya listrik serta air. Sheraton Belitung Resort, yang terletak di Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Kelayang, telah menerima sertifikat EDGE Advanced dari Green Building Council Indonesia.
Berdasarkan sertifikasi EDGE, Sheraton Belitung Resort sudah menghemat penggunaan energi sebanyak 46 persen, menghemat air 36 persen, dan mengurangi penggunaan energi dalam material sebanyak 56 persen. Solusi yang dipakai di akomodasi ini antara lain insulasi atap, ventilasi alami, shower hemat air, serta pemakaian genteng tanah liat dan beton ringan.
Jumlah Permintaan Masih Sedikit
Menanggapi penerapan konsep wisata berkelanjutan, Wakil Ketua Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo), Anton Sumarli, menuturkan anggota Astindo beberapa kali menangani program wisata yang terkait dengan keberlanjutan ekonomi lokal dan lingkungan. Dia mencontohkan study tour mahasiswa yang mencari bahan tenun produk usaha mikro, kecil, dan menengah untuk diolah menjadi busana.
“Mereka sekali berbelanja di toko kain atau perajin bisa Rp 50 juta. Tenun itu kemudian dibawa pulang untuk dibuat produk,” ujarnya. Ada lagi grup wisata yang meminta program wisata sekaligus ekspedisi go green. “Tapi trennya masih kecil, tergantung permintaan. Walau begitu, kami tetap membawa turis ke arah sustainable tourism, yang kami selipkan di paketnya.”
Adapun Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia (CORE), Mohammad Faisal, menuturkan pariwisata berkelanjutan kerap ditandai dengan konsep pariwisata yang menghindari pariwisata massal. Musababnya, kedatangan turis dalam jumlah besar secara bersamaan ke satu destinasi akan merusak daya dukung lingkungan dan obyek wisata tersebut. Kebetulan pula, pada masa pandemi Covid-19, terjadi perubahan pola kunjungan turis.
“Turis yang datang dalam kelompok besar sekarang sudah berkurang. Sekarang datang dalam jumlah sedikit dan menerapkan protokol kesehatan. Itu yang menjadi tren baru dan mulai diterapkan di berbagai obyek wisata, termasuk di Bali,” kata Faisal.
EFRI RITONGA (PHUKET) | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo