HARGA minyak adalah riwayat panjang ketidakpastian. Tidak ada satu - pihak pun yang sanggup menentukan harga komoditi yang ikut memutar ekonomi dunia itu -- hatta OPEC. Contohnya, kendati akhir bulan silam menteri-menteri OPEC sudah bersidang dan mengatur harga US$ 21 per barel, pada kenyataannya harga itu hanya sebuah patokan. Dalam perkara minyak, yang menentukan harga adalah kepentingan pasar. Dan sejak dua pekan silam, nasib pasar itu berada di ujung bedil, setelah Irak menjarah Kuwait. Maka, harganya pun belingsatan, dari US$ 19 per barel melonjak ke US$ 24, lompat ke US$ 30, anjlok lagi ke US$ 23 rata-rata per barel hari-hari terakhir ini. Dalam krisis Teluk Persia -- yang belum bisa diramalkan kapan berakhir para pakar ekonomi kemudian memperkirakan harga minyak dalam 12 bulan mendatang akan naik ke rata-rata US$ 25 per barel. Menurut kantor berita Reuters, sampai Selasa dini hari pekan ini, harga minyak Laut Utara Brent (yang sering jadi patokan jenis minyak lainnya) untuk penyerahan September di bursa London mencapai US$ 26,02 per barel atau naik 55 sen dolar dibandingkan pada penutupan Jumat pekan silam. Pada dasarnya, OPEC menghendaki kenaikan harga minyak berlangsung secara bertahap dan moderat, yang aman bagi kepentingan produsen maupun konsumen. Sebab, lonjakan yang terlalu tinggi pada panjangnya akan menyebabkan krisis ekonomi di negeri-negeri industri yang masih bergantung banyak pada minyak, seperti AS, Jepang, dan Jerman. Kalau sudah demikian, para produsen minyak, baik yang OPEC maupun bukan, akan sama-sama mengalami kerugian besar karena pasar kehilangan daya beli. Seperti dituturkan Sekjen OPEC Subroto dalam artikelnya "How OPEC'S Pricing Policy Aims at Stability" di OPEC Bulletin edisi Juni-Juli lalu. Katanya, antara lain, "Bagaimanapun, kami tidak menghendaki harga yang merugikan konsumen, yang pada akhirnya akan membalikkan arah pertumbuhan ekonomi dunia. Maka, harga yang ideal sebaiknya seiring dengan evolusi ekonomi dunia." Sekretariat OPEC lantas menyelenggarakan penelitian ekstensif terhadap arah perkembangan pasar sampai tahun 2000. Proyeksi ke depan menggunakan harga basis minyak mentah US$ 18 per barel sebagai harga optimal. Pada 1995, patokannya diubah ke harga nominal US$ 21,9 per barel dan kemudian naik ke US$ 27,3 barel pada tahun 2000. Kemelut di Teluk telah menentukan lain. Kekurangan pasokan akibat embargo (sesuai dengan keputusan PBB) atas minyak Irak dan Kuwait telah menyebabkan harga naik di luar perhitungan. Bagi Sumatran Light Crude (SLC) dari Indonesia, itu berarti naik ke US$ 19,19 per barel untuk penyerahan Agustus ini. Sebelumnya SLC pada Juli dihargai US$ 14,81 dan Juni US$ 15,55 per barel. Itu semua berdasarkan perhitungan harga spot untuk konsumsi Jepang, negeri yang selama ini perlu pasokan minyak sebanyak 404 ribu barel tiap hari dari Irak dan Kuwait. Setelah Irak mencaplok Kuwait, menurut kabar yang dilaporkan wartawan TEMPO Seiichi Okawa dari Tokyo, harga minyak Indonesia di pasar spot cenderung ditransaksi dengan tambahan (premium) sekitar US$ 3 per barel. Makal, rezeki tambahan juga berlaku untuk jenis Minas, yang selama ini kita unggulkan. Menurut Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita, harga Minas untuk Agustus ini berdasarkan kontrak adalah US$ 19,19 per barel. Kalau di pasar spot antara US$ 22 dan US$ 23 -- ini harga rata-rata sebulan, kata Ginandjar ketika ditemui TEMPO di stand Departemen Pertambangan dan Energi arena Pameran Produksi Indonesia, Senin siang pekan ini. Tentu saja, harga yang sedemikian itu akan menambah jumlah penerimaan kita dari migas. RAPBN 1990/1991 -- yang berpegang pada patokan harga minyak ekspor US$ 16,50 per barel dan kapasitas produksi rata-rata 1,4 juta barel per hari merencanakan penerimaan dari migas Rp 10.783,2 milyar. Lalu, apa yang dilakukan sekarang? "Kita rencanakan untuk memenuhi kuota saja dulu," kata Ginandjar. Kabarnya, kuota kita tersebut selama ini belum terpenuhi. Persoalannya, rezeki tambahan dari kenaikan harga minyak kita tersebut belum tentu akan bisa dinikmati sepenuhnya. Tak lain karena pengadaan BBM dalam negeri masih bergantung pada minyak mentah impor, yang harganya ditentukan oleh pasar dunia. Kalau harga di pasar tetap tinggi, ini berarti subsidi BBM akan meningkat pula. Demikian antara lain kalimat-kalimat yang tersusun di dalam kitab tebal Nota Keuangan dan RAPBN 1990/1991. Beban subsidi tersebut pada tahun anggaran 1989/1990 -- ketika harga minyak rata-rata US$ 17,85 per barel -- mencapai US$ 388 juta (sekitar Rp 717.800 juta). Ketika itu, penerimaan kita berdasarkan perkiraan harga minyak US$ 14 per barel. Perhitungan subsidi pengadaan BBM nanti, kalau harga minyak terus sekitar US$ 25 per barel seperti sekarang ini, belum dipastikan. Krisisnya belum bisa diperhitungkan kapan akan selesai. Lagi pula, Ginandjar (tanpa memberikan data) juga mengemukakan, kebutuhan BBM kita bisa kita penuhi sendiri. "Minyak yang kita impor itu hanya untuk pelumas dan aspal saja," katanya. Minyak impor tersebut kini masih ada sekitar tiga juta barel, diperkirakan cukup untuk 35 hari. Selama ini, kita mengimpor 65 ribu barel per hari, 30 ribu di antaranya dari Irak. Setelah kita tidak membeli dari Irak kekurangan 30 ribu barel itu mungkin akan dibeli dari Arab dan Iran. Menko Ekuin sedang sibuk mengkoordinasikan penelitian dampak penghentian impor tersebut. Karena kita juga biasa berjualan komoditi nonmigas ke Irak. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini