Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Yang Berkibar Di Kalangan Pengusaha

Harian Bisnis Indonesia (BI) merayakan ulang tahun ke-4 di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. oplahnya 30.000 eksemplar. Sudah mencapai titik impas. BI cenderung menjadi humas perusahaan yang tak pantas diekpos.

23 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TRANSAKSI di pasar bursa saham belakangan ini boleh saja lesu. Tak ada lagi antre panjang, dan harga saham tak lagi melonjak gila-gilaan. Pukul rata, harga saham malah merosot. Namun, itu semua tak membuat koran Bisnis Indonesia (BI), yang tetap gencar memuat pemberitaan pasang-surut bursa saham, ikut-ikutan kendur. Kamis pekan lalu, BI dengan meriah merayakan ulang tahunnya yang ke-4 di Ball Room Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Tokoh pengusaha kakap seperti Probosutedjo, Edi Kowara, Rosita Noor, dan Lukman Umar, pengamat ekonomi Christianto Wibisono, serta artis Marissa Haque dan Ikang Fawzi, hadir dalam pesta yang diramaikan oleh grup musik Ireng Maulana. Kemajuan BI -- khususnya selama satu tahun terakhir -- terpantul nyata dalam pesta. Koran yang diperkuat 52 wartawan itu memang baru tahun ini mencatat keuntungan. "Lumayan, Bisnis Indonesia sudah mencapai break even point sejak Januari 1989 lalu," kata Pemimpin Umum BI Sukamdani S. Gitosardjono, bangga. Kini oplah BI sudah lebih dari 30.000 eksemplar, satu rekor yang menempatkan BI beberapa langkah di depan Neraca -- sebuah koran bisnis yang oplahnya 15.000 eksemplar. Dewasa ini memang hanya Neraca dan BI yang berani terjun penuh menggarap pemberitaan sektor ekonomi dan bisnis. "Tapi ada yang membedakan kami dengan Bisnis Indonesia. Di Neraca, kami juga membicarakan ekonomi orang kecil," kata Zulharmans, Pemimpin Redaksi Neraca. Wakil Pemimpin Umum merangkap Pelaksana Harian BI, Lukman Setiawan, berkomentar, "Segmen kami berbeda. Kelihatannya segmen Neraca ke middle lower class, dan hanya sekali-sekali menulis tentang upper class. Sedangkan BI lebih ke upper class. Katakanlah, kami saling melengkapi." Sasaran yang lebih terfokus, dan penyajian berita yang lebih tajam warna bisnisnya, mungkin merupakan faktor kuat yang melonjakkan oplah BI sampai dua kali lipat dalam setahun terakhir. Sementara itu, dalam tiga tahun pertama, BI terpaku pada 15.000 eksemplar saja. Dan orang belum lupa, bagaimana koran ini pada 1985 jor-joran membagikan 60.000 eksemplar untuk promosi. Ketika itu, konon, BI mematok target, dalam setahun titik impas bisa dicapai. Ternyata, baru tiga tahun kemudian, tujuan itu tercapai. Dan seiring dengan itu, kesejahteraan wartawan mulai lebih diperhatikan. Mereka bisa bekerja lebih tenang karena ditunjang oleh asuransi yang dibayar perusahaan. Mereka juga memperoleh bonus dan fasilitas yang lebih baik. Semua itu agaknya tak bisa dilepaskan dari peran sentral yang dibawakan oleh Lukman Setiawan. Dia mengambil beberapa langkah perbaikan, di antaranya dalam human investment, dengan menyekolahkan 20 wartawan BI ke lembaga pendidikan LPPM. Untuk itu, dia mengeluarkan biaya Rp 45 juta. "Ini penting untuk meningkatkan mutu pemberitaan," kata Lukman. Yang juga ikut mendongkrak oplah BI -- seperti diakui Lukman -- adalah demand dari masyarakat yang sedang dimabuk bursa saham. Untuk mengimbangi kebutuhan pembaca akan berita bursa yang lengkap, BI mengalokasikan porsi halaman yang cukup besar. Ini merupakan satu kekuatan BI yang semakin dimantapkan dengan memuat prospektus perusahaan yang go public, disertai indeks harga saham dan analisa naik-turunnya harga saham. Selain itu, BI juga memuat formulir pembelian saham. Inilah yang membuat banyak orang -- umumnya calon investor -- mau membeli BI. Belakangan, BI juga mengutamakan peliputan bisnis lokal. Ini lagi satu perubahan arah dari policy pemberitaan lama, yang lebih mengutamakan berita luar negeri. Dengan demikian, lengkaplah unsur-unsur yang menobatkan BI sebagai koran bisnis. Namun, di sana-sini kekurangan masih terasa. Koran itu cenderung menjadi public relations buat perusahaan-perusahaan yang sebenarnya belum pantas diekspos. Tapi kiat ini mungkin sengaja diterapkan, demi merebut hati kelompok bisnis. Karakteristik pembaca BI memang tak jauh-jauh dari dunia bisnis. Hasil survei menunjukkan, pembaca BI rata-rata berpenghasilan per bulan Rp 300.000 ke atas. Dan 93% pembacanya adalah pelanggan, sisanya membeli eceran. Mengingat hal itu, Lukman berani menaikkan harga eceran BI yang Rp 300 menjadi Rp 500. Harga langganan per bulan yang semula Rp 6.500 naik menjadi Rp 10.000. Luar biasanya, kenaikan itu tak mengurangi jumlah pelanggan. Maka jadilah BI harian termahal di Indonesia. Wajah dan logo BI yang konservatif -- dengan logo terdiri dari huruf tipe Old English, mirip yang dipakai koran The International Herald Tribune -- menampilkan suasana tertib, lugas, dan rapi. Berita-beritanya disusun sedemikian rupa, hingga tiap berita, isinya semua termuat pada halaman yang sama. Tak ada sambungan ke halaman lain, hingga sangat memudahkan bagi pembaca. Gagasan menerbitkan koran ini datang dari beberapa pengusaha swasta yang ingin meningkatkan peranannya dalam pembangunan. Motto BI: "Dari swasta oleh swasa untuk pembangunan" memancarkan aspirasi itu. Sukamdani S. Gitosardjono, Direktur Utama Sahid Group, menguasai 33 lembar saham PT Jurnalindo (1 lembar senilai Rp 1 juta), yang menerbitkan BI. Empat pemegang saham lainnya adalah Julia Sukamdani (33 lembar), Subronto Laras (66 lembar), Eric Samola (66 lembar), dan seorang lainnya yang juga memegang 66 lembar. Menurut Lukman, para pemilik modal yang juga pengusaha itu tak banyak mencampuri urusan keredaksian. "Sikap bisnis mereka profesional. Kami bahkan memiliki kriteria pemberitaan yang sesuai dengan signifikansi, relevansi, dan bobot human interest. Artinya, kami tak sampai membuat pemberitaan tentang perusahaan milik pemegang saham, hanya karena kepentingan pribadi. Kalaupun dimuat, itu semata-mata karena layak berita," ujar Lukman. Ahmed K. Soeriawidjaja dan Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus