Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Yang Kasmaran pada Reksadana

Dalam satu tahun terakhir ini, bisnis reksadana menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Dana yang diinvestasikan di reksadana melonjak tiga kali lipat. Mengapa?

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa sangka investasi di reksadana bisa sangat menggoda. Setelah tujuh tahun digulirkan (1996), perdagangan reksadana baru berkibar tahun 2002 berselang. Perusahaan pengelola reksadana harus menunggu cukup lama, sebelum investor tergila-gila pada instrumen investasi yang satu ini. Tony, seorang pegawai perusahaan minyak asing, mulai kasmaran pada reksadana sejak tahun lalu. Ia mengurangi simpanan depositonya dan sedikit demi sedikit mulai memindahkan dananya ke reksadana. Tak pelak lagi, reksadana memang sengaja dipilih Tony dalam mengantisipasi bunga deposito yang beringsut turun. Mengapa? Tak lain karena reksadana menjanjikan tingkat keuntungan yang besar dan bebas pajak pula. Dan perusahaan pengelolanya—disebut juga perusahaan reksadana (mutual fund)—sepenuhnya membantu investor dalam menginvestasikan duit mereka sehingga mendatangkan hasil yang tinggi dengan risiko yang rendah. Berbeda dengan bank, perusahaan reksadana tidak melakukan peran intermediasi. Tampaknya para fund manager yang berada di balik lonjakan popularitas reksadana cukup jeli mendongkrak daya tarik reksadana pada saat yang tepat. Maksudnya, ketika suku bunga deposito menurun—seirama dengan turunnya bunga sertifikat Bank Indonesia—sementara perdagangan saham juga sangat bearish alias lesu. Jadi, tak perlu heran bila minat pada reksadana melonjak luar biasa. Pada akhir tahun 2001, dana yang dikelola perusahaan reksadana baru Rp 16 triliun. Namun akhir tahun lalu dana yang diinvestasikan pada reksadana sudah mencapai Rp 54 triliun atau naik lebih dari tiga kali lipat. Nilai aktiva bersih perusahaan reksadana juga meningkat pesat dari Rp 8 triliun menjadi Rp 44 triliun. Singkat cerita, dibandingkan dengan wahana investasi yang lain, pertumbuhan bisnis reksadana memang paling mencengangkan. Yang lebih memacu gairah investor adalah prospek reksadana yang diramalkan tetap bersinar sepanjang tahun ini. Selain perusahaan sekuritas atau mutual fund yang terjun ke bisnis ini, sejumlah bank besar juga ikut berkecimpung di situ. HSBC Bank, misalnya, pekan lalu terjun ke pasar reksadana dengan mengguyur pasar senilai Rp 500 miliar. Bulan depan, Bank Permata akan menyusul dengan Rp 1 triliun. Sementara itu, Danamon menjadi penjaja reksadana terbesar dengan dana yang dikelola mencapai Rp 11,5 triliun. Disusul Bank Panin di tempat kedua dengan Rp 8 triliun. "Kita mesti masuk ke sana, ketimbang nasabah kami pindah ke toko sebelah," kata Lily Budiono, Senior Vice President of Personal Financial Service HSBC. Ledakan bisnis (booming) reksadana memang fenomenal, tapi bukanlah sesuatu yang aneh. Pada awal tahun lalu, investasi di sertifikat Bank Indonesia (SBI) dianggap yang paling menarik karena tingkat bunganya di atas suku bunga perbankan. Pada saat itu, SBI masih memberikan bunga di atas 16 persen. Tapi dalam satu tahun terakhir, suku bunga SBI terus meluncur ke bawah. Bahkan, jika dihitung sejak Maret 2002, suku bunga SBI sudah turun hampir sepertiganya. Pada lelang Rabu pekan lalu, suku bunga SBI jangka satu bulan sudah tinggal 11,97 persen—titik terendah sejak Juni 2000. Penurunan suku bunga SBI kemudian juga diikuti penurunan suku bunga perbankan. Saat ini suku bunga deposito jangka satu bulan paling tinggi hanya sekitar 9 persen. Kesimpulannya, bank tidak lagi menjadi tempat yang bagus untuk beternak duit. Bursa saham yang pada dekade 1990-an jadi favorit berinvestasi malah lebih parah. Peningkatan indeks yang cepat pada awal tahun lalu—yang mengindikasikan kenaikan harga saham—ternyata tak berlanjut. Ledakan bom di Bali pada Oktober 2002 dan kondisi bursa internasional yang sedang naik-turun menyebabkan investasi di bursa malah membawa rugi. Pokoknya, hanya sedikit perusahaan publik yang memberikan keuntungan kepada pemegang sahamnya. Nah, di tengah kemuraman yang melanda hampir semua sarana investasi, perusahaan-perusahaan reksadana menjanjikan keuntungan yang lebih besar. Berdasarkan riset Danareksa Research Institute, reksadana rata-rata masih memberikan keuntungan (yield) di atas 16 persen. Angka tersebut memang turun dari kisaran 20 persen pada awal tahun 2002, tapi tetap jauh lebih tinggi ketimbang yang lain. "Tutup mata saja, mereka yang punya duit pasti lari ke reksadana," kata Direktur Riset Danareksa, Raden Pardede. Riset perusahaan sekuritas milik pemerintah itu juga menegaskan bahwa investasi di reksadana memang jauh lebih menguntungkan daripada yang lain. Jika Anda menanamkan 100 rupiah di reksadana pada awal tahun 2002, uang itu akan menjadi 127,75 pada Januari 2003. Bandingkan dengan deposito berjangka satu bulan, yang setelah setahun berkembang menjadi 113,93, atau yang berjangka tiga bulan, 114,05. Investasi di sertifikat BI sedikit lebih menguntungkan. Jika Anda menyimpan dalam SBI satu bulan, setelah setahun uang Anda tumbuh menjadi 115,81, dan dalam tiga bulan mencapai 115,95. Sebaliknya, jika uang ditaruh di bursa, jumlahnya justru menyusut menjadi 86,01. Menurut Raden, ledakan bisnis reksadana sesungguhnya baru dimulai sekitar September 2002. Pemicunya tak lain adalah obligasi pemerintah yang ditempatkan di perbankan (obligasi rekap). Ketika itu, obligasi rekap mulai dilepas oleh bank-bank yang mendapatkannya. Dan reksadanalah yang menangkapnya. Hampir setiap bank besar dan perusahaan sekuritas kini bermain di reksadana. Presiden Direktur Schroders, Ronni Gandahusada, mengungkapkan bahwa hampir 90 persen reksadana diinvestasikan di obligasi pemerintah. "Investasi ini benar-benar aman karena di mana-mana yang namanya obligasi pemerintah tidak punya risiko," kata Ronni. Raden menambahkan bahwa daya tarik lainnya adalah investor tidak dikenai pajak. Tak mengherankan jika akhirnya investor berpindah dari perbankan, SBI, dan saham, ke reksadana. Memang, jumlahnya belum terlalu besar. Berdasarkan data yang ada di perbankan, sepanjang 2002 jumlah deposito telah berkurang sekitar Rp 16 triliun dan diduga dana ini pindah ke perusahaan reksadana. Kendati demikian, total dana yang dikelola perusahaan reksadana yang Rp 54 triliun jelas tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan total dana pihak ketiga di perbankan yang lebih dari Rp 800 triliun. Melihat pertumbuhan reksadana pada tahun lalu dan juga pekan-pekan terakhir ini, semua pengelola reksadana yakin bahwa skala bisnis reksadana masih akan berkembang. Mereka meramalkan pasar reksadana akan tumbuh sekitar 50 persen atau bisa sampai Rp 100 triliun. Assistant Vice President Manulife Asset Management, Naresh Krishnan, mengungkapkan bahwa saat ini nasabah yang terjaring reksadana baru sekitar 170 ribu orang. Padahal masyarakat kelompok menengah ke atas di negeri ini jumlahnya mencapai 50 juta orang. "Merekalah yang berpotensi jadi sasaran reksadana," kata Naresh. Hanya, yang bisa bermain di reksadana memang yang berkantong tebal. Danamon, misalnya, mensyaratkan jumlah minimum investasi Rp 50 juta. Raden Pardede menilai perkembangan bisnis reksadana yang sangat pesat justru bagus buat semua pihak. Bunga obligasi rekap yang selama ini hanya dinikmati bank kini bisa dinikmati masyarakat. Ledakan bisnis reksadana ini secara tidak langsung juga makin memperbesar pasar sekunder obligasi pemerintah. Semakin banyak obligasi yang beredar di masyarakat juga bisa mendorong suku bunga turun. Pada akhirnya, bunga yang mesti dibayar pemerintah juga berkurang. Karena itu, Raden berpendapat, pemerintah jangan membatasi perkembangan bisnis reksadana ini. Tapi, amankah bermain di reksadana? Menurut Raden, ada banyak hal yang mesti diperhatikan oleh investor sebelum memutuskan terjun ke reksadana. Yang perlu diprioritaskan untuk dicermati adalah perusahaan yang hendak dimasuki. Calon investor paling tidak mesti mencari tahu sejarah, reputasi, dan modal yang dimiliki perusahaan tersebut. Jika semuanya oke, barulah investor bisa menentukan pilihannya: apakah reksadana saham, reksadana portofolio, reksadana pasar uang, atau reksadana penghasilan tetap (fixed income). Sejauh ini, sekitar 80 persen perusahaan reksadana bermain di jenis yang terakhir karena pergerakannya tak seliar saham. Marketing Communication & Share Holder Servicing Manulife, Aidil Akbar, menambahkan bahwa setelah menentukan jenis investasinya, nasabah harus memilih reksadana yang mana. Untuk menentukan ini, nasabah harus memperhitungkan jangka waktu dan tingkat bunga (yield). Bagi mereka yang punya duit berlimpah, Aidil menyarankan agar memilih reksadana berbasis obligasi rekap dengan tingkat maturity (jangka waktu jatuh tempo) sekitar satu tahun. "Hati-hati dengan tawaran bunga yang tinggi," katanya. Dia memberikan ancar-ancar bahwa tingkat bunga yang normal saat ini adalah 12-16 persen. Meskipun di atas kertas investasi di reksadana cukup aman, Raden tetap meminta pemerintah atau otoritas keuangan yang lain untuk meningkatkan pengamanan para nasabah. Menurut Raden, perusahaan reksadana mesti diperlakukan sama dengan bank: modalnya cukup dan pengelolanya harus menjalani uji kepantasan (fit and proper test). Yang juga penting, katanya, pemerintah harus mengeluarkan instrumen yang bisa mencegah penarikan reksadana dalam jumlah besar dan dalam waktu yang bersamaan. "Itu kan sama dengan rush di perbankan," katanya. Dan reksadana bukanlah bank, yang dana nasabahnya dijamin pemerintah. Jadi, sebaiknya para investor tetap berhati-hati. M. Taufiqurohman, Febrina Siahaan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus