Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar Pemerintah Tidak 'Default'

Capital maintenance notes perlu disepakati secepatnya, supaya konflik seputar penyelesaian BLBI bisa diakhiri, modal BI tidak merosot, dan pemerintah tidak gagal bayar.

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adakah hubungan antara Paul Volcker, mantan gubernur bank sentral Amerika Serikat, dengan bantuan likuiditas Bank Indonesia alias BLBI? Jawabnya, ada. Tahun lalu Paul Volcker, yang memimpin tim panel BLBI, mengusulkan agar pemerintah menerbitkan surat berharga khusus—belakangan populer disebut capital maintenance notes (CMN)—untuk menyelesaikan sengketa penyelesaian BLBI. Ada dua kekhususan pada karakter surat berharga itu, yakni tanpa bunga dan tanpa jatuh tempo. Implikasinya, surat berharga tersebut bukan saja tidak memberikan bunga, tapi juga tidak perlu dibayar untuk selama-lamanya. Memang namanya surat berharga, tapi secara esensial dia sama sekali tidak berharga. Ini tidak main-main karena Paul Volcker-lah yang menemukan gagasan tersebut. Manfaatnya tak lain agar pemerintah tidak lagi terbebani bunga BLBI kepada bank sentral, yang tiap tahun mencapai Rp 5 triliun. Malangnya, gagasan Volcker dianggap nonsens oleh Ketua BPK, Satrio Budihardjo Joedono. Bagi Billy—demikian panggilan akrab Ketua BPK ini—surat berharga tanpa bunga, ya, bukan surat berharga. "Kok surat berharga tidak ada bunga dan jatuh tempo?" celetuknya, "Apanya yang berharga?" Dalam pandangan Ketua BPK ini, surat berharga yang dulu diberi nama redeemable promissory notes dan sekarang disebut capital maintenance notes (CMN) jelas-jelas tidak sesuai dengan prinsip akuntansi. Bukan mustahil kelak BPK akan kembali memberi penilaian negatif kepada laporan keuangan BI jika CMN diadopsi seutuhnya sesuai dengan saran Volcker. Ketidakmampuan pemerintah bayar utang di satu sisi dan penolakan Billy Joedono di sisi lain jadi makin ruwet karena muncul soal baru: kalau CMN masuk ke neraca BI, masuknya lewat mana? Dirjen Lembaga Keuangan, Darmin Nasution, mengingatkan bahwa kucuran BLBI telah mengakibatkan modal negatif pada bank sentral. Konsekuensinya, pemerintah wajib menutup kekurangan modal itu. Caranya? "Ya, dengan memasukkan CMN ke modal negatif BI. Jadi, CMN akan masuk sebagai tambahan modal," kata Darmin. Kata-kata "tambahan modal" kontan membuat BI meradang. BI lebih suka kalau surat berharga itu ada bunganya, walaupun sangat kecil. Masalahnya, seberapa kecil pun tetaplah memerlukan kucuran dana pemerintah. Padahal bangsa ini mesti berhemat secara superketat. Selain itu, CMN harus menempati posisi surat utang yang digantikannya, yakni di sisi aktiva dan dicatat sebagai piutang BI kepada pemerintah. Tapi tentang hal yang satu ini pun BI keberatan. "Kok tiba-tiba modal kita mau dikutak-katik?" sergah Deputi Gubernur BI, Bun Bunan Hutapea. Pemerintah sendiri bisa menerima tuntutan agar CMN tetap merupakan piutang. Syaratnya: asalkan BI bersedia melakukan verifikasi terhadap jumlah utang pemerintah yang sebenarnya. Ternyata BI tidak keberatan untuk verifikasi, tapi tidak mau ikut menanggung risikonya. Alasannya: mayoritas tagihan BLBI itu sudah diubah jadi kepemilikan pemerintah (cq. BPPN) di bank-bank. Bahkan sebagian sudah dijual ke pihak asing lewat divestasi. "Kalau itu semua mau diverifikasi lagi, bukannya malah langkah mundur," demikian Rusli Simanjuntak, Kepala Biro Gubernur BI, menyindir. Sebenarnya, dari verifikasi BPK tiga tahun silam dinyatakan: dari total BLBI senilai Rp 144,5 triliun, yang eligible atau layak ditanggung pemerintah hanya Rp 6,5 triliun. Sisanya, Rp 138 triliun, adalah tanggung jawab BI. "Jelas saja Bank Indonesia tidak mau memakai hasil verifikasi kita. Nanti dia cuma dapat Rp 6,5 triliun," ujar Billy Joedono, terpingkal. Ternyata, di balik perseteruan antara pemerintah dan BI soal BLBI itu, sudah ada kesepakatan. Menurut Darmin, sudah disepakati bahwa CMN dimasukkan ke pos modal. "Tapi tim panel lupa menulis hal itu dalam rekomendasinya," tutur Darmin. Akibatnya, CMN terbentur jalan buntu. Dalam kekisruhan ini, peran wakil rakyat sangat diharapkan. Sayangnya, DPR keburu reses hingga 27 April 2003, padahal 1 April nanti cicilan pokok BLBI sebesar Rp 2,67 triliun jatuh tempo. Bagi BI, kalau cicilan itu tidak dibayar, pemerintah bisa dinilai gagal bayar alias default. Menurut BPK juga begitu. "Kita bawa saja pemerintah ke pengadilan pailit…," kata Billy agak sinis. Menteri Keuangan Boediono—yang mengajukan skema CMN ke Komisi IX DPR bidang keuangan awal Februari lalu—justru mengkhawatirkan rasio modal BI yang merosot bila masalah CMN tidak segera teratasi. Agar neraca BI tidak tekor, pemerintah mengusulkan supaya penerapan CMN didasarkan pada standar akuntansi keuangan Indonesia—demi menghindari penilaian negatif BPK atas BI—sementara bank sentral juga tidak perlu membayar bunga atas rekening pemerintah di BI dan juga tidak dikenai pajak atas surplus. Itulah yang akan dibahas DPR bersama Kejaksaan Agung, BPK, dan BI. Hasilnya tentu terlambat, tapi masih lebih baik daripada tidak. Lagi pula, menurut Darwin, sampai akhir tahun ini rasio modal BI masih aman. Febrina Siahaan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus