DI suatu pagi, sepeda, becak, dan mobil pick-up yang sarat ikan dan udang beriringan memasuki sebuah pabrik di Jalan Merdeka, Pangandaran, Jawa Barat. Asi Puji Astuti, nama pabrik itu, berdiri di lahan seluas 6,8 hektare. Sekitar 300-an karyawannya, memakai jas putih, penutup rambut, masker, dan sepatu bot plastik, cekatan bekerja.
Sebagian memilih dan menimbang, sebagian langsung mencuci, mengepak, dan menyimpannya di ruang pendingin. Ada ikan layur, kakap, bawal, baronang, hingga sardin. Dari nelayan, ikan dibeli seharga Rp 12 ribu-70 ribu per kilogram, lobster Rp 120 ribu-140 ribu, dan udang jerbung Rp 50 ribu sekilo.
Mendengar keriuhan itu, Susi Pudji Astuti, si pemilik, bangun dari meja kerjanya. Ia bergegas menyambangi para nelayan yang datang untuk menjual hasil tangkapannya itu. Sambil bersenda-gurau, ia teliti mengawasi seluruh proses jual-beli.
Susi adalah sebuah kisah sukses seorang juragan ikan yang merangkak dari bawah. Untuk pasar domestik, setiap hari setidaknya ia sanggup mengangkut 1-4 truk ikan dan udang ke Ibu Kota. Produknya juga telah menembus pasar mancanegara, di Jepang, Swiss, dan Jerman. Setahun, ia bisa mengekspor 300 ribu ton dengan omzet penjualan mencapai US$ 5 juta. Kini ia tengah menyiapkan sebuah pabrik baru seluas 2.500 meter persegi, serta mesin pembeku canggih berkapasitas 10 ton per hari. Dengan itu, Susi bersiap menembus pasar Amerika.
Menurut Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Kelautan, prestasi Susi memang layak diacungi jempol. Soalnya, total ekspor produk laut Indonesia tahun lalu saja berkisar 700 ribu-800 ribu ton. Di mata Sarwono, keberhasilan Susi menembus pasar ekspor tak lepas dari kejeliannya membaca selera konsumen dan kemampuannya mengolah hasil laut sesuai dengan standar internasional.
Sukses Susi tak seketika. Ia merangkak dari bawah. Di awal tahun 1980-an, karena kurang biaya, ia terpaksa meninggalkan bangku SMA di Yogyakarta dan pulang kampung ke Pangandaran. Sejak itulah Susi merintis usaha dengan berjualan ikan kecil-kecilan. Sedari pagi buta ia sudah bergerombol dengan bakul-bakul ikan di tempat pelelangan untuk kemudian menjual ikannya kepada turis atau tamu hotel di Pangandaran.
Perlahan usahanya berkembang. Pada 1985, berbekal duit Rp 750 ribu, Susi dan suaminya menjadi bandar ikan. Ia lalu mulai merambah ke Cirebon, Cilacap, dan daerah sekitarnya. Dua tahun kemudian, ia pun masuk ke pasar Jakarta. "Setiap hari saya naik truk sewaan, menjual ikan dari Pangandaran ke Cirebon. Lalu membeli ikan, udang, bahkan kodok dari sana dan Cilacap, kemudian menjualnya ke Jakarta," Susi mengenang masa-masa sulitnya dulu.
Saat usahanya mulai mekar, badai mengguncang rumah tangganya. Ia pun berpisah dengan suaminya. Dengan membawa anaknya semata wayang, Susi lalu mengembara ke Sumatera. Di Koto Alam, Sumatera Barat, Susi melanjutkan bisnisnya. Di sana ia berdagang udang dan sarang walet. Nasib baik tak berpihak kepadanya. Pada tahun 1991, usahanya bangkrut. Berbekal sisa duit yang ada, Susi pun kembali ke Pangandaran dan kembali membangun usahanya dari nol.
Di sini bintangnya mulai bersinar. Berjodoh dengan seorang turis Swiss yang sedang berlibur ke Pangandaran, Susi mulai membangun sebuah pabrik sederhana. Dari sini ia lalu menembus pasar Swiss. "Ekspor pertama senilai US$ 76 ribu," ia mengenang. Dari Swiss, Susi lalu mengembangkan usaha ke Jerman, dan makin berkibar di pasar Jepang.
Bagi Wisnu Wijaya, seorang ahli industri kelautan, apa yang diraih Susi terhitung langka di negeri ini. "Yang bisa seperti itu paling cuma 20 orang," katanya. Melihat potensi laut yang ada, Wisnu yakin ekspor Indonesia sebetulnya bisa mencapai 1,5 juta ton setahun. Kendalanya cuma satu: tak adanya dukungan pemerintah.
Iwan Setiawan, Rini Srihartini (Pangandaran)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini