CARA moderen belum tentu berhasil, setidaknya sudah terbukti di
Surabaya dengan PT Surya Jaya. Dengan investasi Rp 1,9 milyar
dan bantuan kredit dari Belgia, Surya Jaya ini (patungan Pemda
Jakarta, Pemda Surabaya dan PT Sampi Co Adhi yang milik Bulog)
mendirikan abattoir, rumah pemotongan hewan. Sejak beroperasi
awal 1977, ia belum pernah bekerja penuh, malah kini menurun
terus, dan terancam menjadi besi tua.
Selain di Surabaya, ada abattoir moderen di Tambun -- Bekasi (PT
Sampi Co Adhi) dekat Jakarta, Denpasar (PT Bali Raya) dan Mena
(Timor, NTT). Semua itu mempunyai fasilitas potong dan
pendinginan demikian hebat hingga kwalitas daging bekunya bisa
diandalkan untuk menyaingi produksi, umpamanya, dari Australia
dan Selandia Baru. Karena konsumen Indonesia umumnya masih belum
terbiasa dengan daging beku kebutuhan akan abattoir moderen itU
belum begitu dirasakan oleh masyaraldt ramai. Maka bisalah
dipahami kenapa perusahaan seperti Surya Jaya kekuranan kerja.
Tadinya Surya Jaya diharapkan untuk melayani permintaan daging
beku dari PT Inco untuk daerah tambangnya di Sulawesi Tengah
atau dari kontraktor minyak asing yang beroperasi di lepas
pantai. Ternyata Inco menghentikan ordernya sejak akhir 1977,
sedang pesanan besar-besaran secara tetap dari perusahaan lain
tak kunjung tiba. Maka dari kapasitas potongnya yang 100 ternak
sehari itu cuma 10% saja ia bekerja belakangan ini. "Sampai saat
ini, pemotongan dan pengolahan masih tidak menentu," keluh drh R
Sumpomo, wakil direktur Surya Jaya.
Cara Islam
Keadaan tidak menentu ini rupanya merisaukan hati Pepehani,
asosiaSi pengusaha ternak. Pemerintah, demikian kalangan
Pepehani setempat, "perlu segera turun tangan. Jika tidak,
pemerintah akan ikut rugi karena kredit dari Belgia dijamin oleh
pemerintah. Kalau perlu, rumah pemotongan di Pegirian ditutup
saja."
Pegirian yang memotong hewan sejak 1927 memang sudah kuno, tapi
masih gesit melayani Surabaya. Setiap hari sedikitnya 230 sapi,
200 kambing dan 180 babi disembelih di Pegirian itu. Surabaya
memiliki dua lagi rumah pemotongan, yaitu di Kedurus dan
Pilang, yang berkapasitas lebih kecil. Namun Pilang yang
menampung 40 - 50 sapi dan Kedurus dengan 20 sapi sehari
ternyata masih lebih sibuk ketimbang yang moderen milik Surya
Jaya.
Apakah yang kuno itu ditutup saja? "Terserah pusar," ujar drh
Suwadji yang memimpin di Pegirian. "Masalah itu memang sudah
menjadi pemikiran di Peternakan tingkat I, tapi jelas tidak akan
menguntungkan bagi Surabaya jika (pemotongan) dipusatkan di satu
tempat.
Alternatip lain terdengar dari Surya Jaya sendiri, yaitu supaya
pemerintah mengizinkan impor sapi. Menurut drh Sumpomo, Kantor
Komisaris Dagang Australia telah menawarkan sapi dari negaranya
dengan harga bersaing: Untuk prangko Tanjung Perak, sapi 400 kg
dengan Rp 70.000 saja dalam keadaan hidup dan segar. Wah, untuk
seberat itu sapi pribumi berharga Rp 140.000 lebih. "Jangan
kuatir " sambung drh Sumpomo, "daging yang berasal sapi impor
itu akan kita ekspor."
Dikatakannya Teheran Shaban dan Iran berminat membeli daging
dari Indonesia sampai 10.000 ton setahun. Tapi rupanya
permintaan Iran itu belum bisa dipenuhi karena kalkulasi harga
tidak cocok jika harus memakai sapi domestik. Tapi kenapa Iran?
Di sana, sambung drh Sumpomo, Indonesia diketahui "memotong
secara Islam".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini