SATU lagi hotel mewah September ini diresmikan pembukaannya. The
Jakarta Mandarin, dengan investasi Rp 16,4 milyar -- usaha
patungan The Hong Kong Land Coy. (40%), Gardin Mathesson Hong
Kong (20%) dan PT Jaya Bali Agung (40%) -- hadir berseberangan
dengan Hotel Indonesia Sheraton di bunderan Tugu Selamat Datang.
Jauh hari sebelumnya, Mandarin itu menimbulkan isyu santer.
Tadinya di situ hanya akan dibangun pertamanan, bukan hotel.
Kalangan perhotelan sendiri kurang bergairah menyambut partner
barunya ini. Umpamanya Sukamdani Gitosardjono, ketua Persatuan
Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI), menunjuk pada kenyataan
bahwa para tamu (turis dan kaum bisnis) tidak bertambah, sedang
jumlah kamar yang tersedia makin berlebihan.
Dengan strukturnya yang bersegi tiga, berlapis mosaik Italia, ia
dilengkapi landasan helikopter di puncaknya yang 29 tingkat.
Hotel ini mempunyai 504 kamar termasuk 19 suite, dan menyediakan
4 lantai parkir bertingkat.
Mandarin International Hotels Limited yang mengoperasikan The
Jakarta Mandarin juga mempunyai jaringan hotel di Hong Kong,
Manila dan Bangkok -- semua dikelola secara multi-nasional.
Jaringan sistim reservasinya juga ada di Eropa dan Amerika.
"Tapi kami pengusaha hotel kulit coklat tidak boleh kecil hati,"
kata Sukamdani yang juga Presiden Direktur Sahid Jaya Boulevard
Hotel. "Kalau Mandarin berlari 100 km, kami akan coba mengejar,
supaya tidak terlalu tercecer di belakang."
Masuknya Mandarin tentu akan mempengaruhi pemasaran kamar hotel
yang telah ada. Maka jumlah kamar bertaraf kelas satu standar
internasional di Jakarta menjadi hampir 5.000 -- kenaikan
11,39%. Dua tahun lalu rata-rata tingkat occupancy (penghunian
kamar) hotel di Jakarta 60%, tapi ketika Sari Pasifik dan Hilton
muncul di Jakarta, setahun kemudian indeks tadi merosot 1%,
sementara Sahid turun sampai 6%, suatu pukulan yang tidak
enteng. Dibanding tingkat penghunian kamar hoteldunia yang 70%,
atau Timur Jauh 80%, Indonesia masih rendah.
Mulai September, selama sebulan The Jakarta Mandarin akan
memberi potongan 25% dari kamar standar Rp 16 ribu sampai kamar
superior Rp 24 ribu. Setelah itu, seperti diungkapkan oleh
seorang direktur perusahaan patungannya, PT Jaya Bali Agung, Mas
Agung, "Mandarin akan mempertahankan sifat eksklusifnya. Karena
yang terbaik, tentu harus yang termahal."
Apakah Mandarin tidak takut kosong? "Kami salah satu dari 10
yang terbaik di dunia," jawab Mas Agung pada Eddy Herwanto dari
TEMPO. "Kenapa takut? "
Namun dibanding hotel lain di Jakarta, harga Mandarin termasuk
istimewa. Untuk twin bedded room. misalnya, Sahid Rp 13.700, HI
Sheraton Rp 14.000, dan Mandarin Rp 19.000 kurang beberapa
ratus rupiah saja. "Itupun kami sudah menyesuaikan diri dengan
tarip hotel di Jakarta," nona Leona Mount, juru bicara Mandarin
menjelaskan.
Mandarin yang letaknya di depan hidung, tentu akan merupakan
lawan berat bagi HI Sheraton. Apalagi pendatang baru ini akan
menawarkan pelayanan khas standar Mandarin. Diakui oleh
Marketing Manager HI Sheraton, Tim Kantoso, para tamu tentu akan
mencicipi brand new look '78. Setelah itu, Sahid, HI Sheraton,
dan hotel lain pasti akan menawarkan ciri khasnya pula, katanya.
Pembajakan
Di Wisma Hayam Wuruk tingkat 7 bagian personalia Mandarin minggu
lalu masih sibuk melakukan seleksi terhadap para pelamar. Sudah
3000 calon datang untuk berbagai tingkat pekerjaaan. Mereka
antri di lorong pintu masuk ke kantor Mandarin yang sesak itu,
menunggu giliran interpiu. Tapi sejak dinihari, ketua PHRI
Sukamdani memperingatkan Mandarin supaya mematuhi kode etik
bisnis perhotelan. "Terutama jangan sampai terjadi pembajakan
karyawan," katanya.
Sukamdani mengharapkan Mandarin seperti juga Sahid,
menyelenggarakan pendidikan untuk mendapatkan karyawan yang
baik. Sebab harapan pemerintah pada para penanam modal asing
atau patungan adalah menciptakan lapangan kerja baru bagi warga
negaranya. Jadi, menurutnya, masuknya modal asing harus
mempunyai efek yang positif. "Pembajakan jelas bukan menciptakan
lapangan kerja baru."
Peringatan ketua PHRI ini tampaknya beralasan. Sudah sering
terjadi, perpindahan tenaga terdidik dari satu ke lain hotel.
Ketika Borobudur dibuka, banyak tenaga terdidik dari HI tersedot
ke sana. Sekarang giliran siapa tersedot?
Tapi pihak manajemen Mandarin tidak senang kalau usahanya
mendapatkan tenaga yang baik disebut pembajakan. "Kalau mereka
datang, kami terima dengan skala gaji Mandarin. Kami tidak
pernah membujuk," kata kepala personalianya, Gunawan Wardhana.
Manajemen HI Sheraton menanggapi perpindahan tenaga terdidik itu
sebagai kejadian yang lumrah. "Bukankah itu merupakan salah satu
asas demokrasi?" katanya.
Ketidak-adilan dirasakan investor dengan fasilitas PMDN seperti
Sahid Jaya, dibanding dengan perlakuan untuk PMA atau usaha
patungan, seperti Mandarin. Sukamdani mengeluh karena bunga bank
tinggi ditambah komponen harga yan masuk kalkulasi tinggi,
seperti pada pembangunan I, menyebabkan hotel PMDN agak sulit
bersaing dengan PMA. Yang disebut grace period bukan berarti
bebas bunga tapi hanya penundaan pembayaran kredit saja. Kalau
pembangunan hotel 3 tahun, grace period hanya diberikan 2 tahun.
Walaupun hotel belum jadi, ia sudah harus membayar pengembalian
kredit berikut bunganya.
"Ini sistim bank di Indonesia sekarang. Kita baru lahir disuruh
lari," kata Sukamdani agak kesal. "Kalau mau mengharapkan
wiraswasta Indonesia mau rubahlah sistim bank itu."
Juga pihak perhotelan Indonesia mengeluh tentang Goverment
Tax, 11% dari penjualan. Pajak itu, menurut ketua PHRI di negara
lain hanya 3 - 5% saja. Di Hong Kong misalnya 4%, Iran dan Mesir
2%, tapi, menurut Sheraton, di Santiago dan kebanyakan negara
Amerika Selatan antara 14 - 20%.
Itulah yang membentuk struktur harga investasi tinggi --
"padahal kita menjual kamar (room rate) rendah," ujar Sukamdani.
Memang, rata-rata kamar hotel di Jakarta masih sekitar Rp 10
ribu, sementara untuk Asia dan Timur Jauh sekitar Rp 13 ribu,
dan rata-rata dunia Rp 14 ribu. Dalam kondisi begini Mandarin
muncul. Tenaganya dan dayasaingnya besar. Baginya, seperti
disebut Mas Agung, "kenapa takut?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini