DUNIA perkasetan sempat heboh D tahun lalu. Harga meningkat setelah ada Undang-Undang Hak Cipta (UUHC). Kini giliran pemakai komputer yang harus mengeluarkan biaya lebih mahal. Soalnya, sesuai dengan perjanjian yang telah ditandatangani Indonesia dan Amerika Serikat Maret lalu, UUHC juga akan diterapkan pada berbagai perangkat lunak (software) komputer buatan AS. Ini berarti, terhitung Agustus nanti, toko-toko buku maupun toko lainnya yang biasa menjual disket tidak dibenarkan lagi seenaknya mengopi perangkat lunak. Dan konsumen disarankan agar membeli paket-paket software yang asli, langsung dari dealer yang ditunjuk oleh distributor tunggal, Imagineering Micro-Distributor Ltd. (IMD). Masih untuk memerangi pembajakan IMD menawarkan semacam harga obral. Di negeri asalnya (Amerika), paket Wordstar, misalnya, dijual dengan harga US$ 495 per paket. Di sini IMD menawarkan cuma US$ 160 per kaset. Keuntungan yang ditawarkan IMD, kalau membeli software yang asli, konsumen akan mendapatkan pelayanan purnajual langsung, di samping kursus cuma-cuma penggunaan program yang dibelinya itu. "Lewat harga khusus ini, kami berharap bahwa pemakaian software bajakan di Indonesia bisa diperkecil," kata Bob Stewart, direktur pelaksana Wordstar untuk kawasan Asia-Pasifik. Tapi itu tampaknya hanyalah sebuah harapan yang sulit terlaksana. Sebab, seiring dengan menghangatnya pemakaian komputer di Indonesia, bajak-membajak program semakin sulit dikontrol. Maklum bukan hanya di perusahaan-perusahaan besar saja alat canggih ini dipakai. Juga di rumah-rumah. Sementara itu, proses merekam software tidaklah serumit menggandakan lagu dalam kaset. Asal ada masternya, disket kosong plus seperangkat komputer pribadi, di mana pun jadi mengopi suatu software. Karena itu, pengawasan kelihatan tak gampang dilaksanakan. Sehingga tidaklah aneh nilai pembajakan software di Indonesia -- entah bagaimana menghitungnya telah mencapai 20 juta dolar AS. "Kami hanya bisa mengembalikan persoalan itu pada pribadi masing-masing. Apakah konsumen mau sadar hukum atau tidak," kata Agus Satriadarma, Kepala Perwakilan IMD. Tapi, seperti halnya yang terjadi pada industri kaset rekaman, pada industri disket pun tampaknya hukum sulit berkutik. Bagaimana tidak kalau harga yang asli (walaupun obral) ternyata 140 kali lipat lehih mahal ketimbang yang bajakan. Ambil contoh Wordstar 3.4 - ini model lama yang hanya menggunakan satu disket -- harga aslinya 160 dolar per paket. Sementara itu, kalau kita membelinya dari toko buku atau toko komputer, tak lebih dari Rp 2.000. Begitu pula untuk Wordstar 5.0 (ini model terbaru). Harga yang bajakan hanya sekitar Rp 24 ribu. Itu pun karena menggunakan 12 buah disket. Lain lagi kalau konsumen membawa disket sendiri, cukup membayar Rp 1.000 per disket untuk sekali kopi. Malah tidak sedikit penjual yang memberikan flsilitas kopi gratis, jika konsumen membeli satu pak disket (isi 10 buah). Apakah IMD akan menyerah? Ternyata tidak. Menurut Bob Stewart, ia datang ke Indonesia untuk melakukan negosiasi dengan para pedagang besar disket. Maksudnya agar mereka (para pedagang itu) mau memasarkan software yang resmi. "Kami akan memherlkan harga khusus," ujarnya. Lantas siapa konsumennya? Tentu saja bukan hanya pemilik komputer pribadi di rumah-rumah, tapi (terutama) kalangan perkantoran. Dan Wordstar, sebagai perusahaan pertama yang memasarkan software di Indonesia, kini baru memiliki pelanggan dari kalangan perbankan, perusahaan patungan Amerika, perusahaan minyak dan beberapa sektor bisnis lainnya. Omsetnya pun belum termasuk besar. Dalam sebulan, IMD baru mampu menjual 200 paket dengan nilai jual 60 ribu dolar. Tapi Wong Lock Chee, Manajer Regional IMD, yakin bahwa angka ini masih bisa naik berlipat ganda. Sebab, semakin hari kantor-kantor yang menggunakan jasa komputer pribadi bertambah jumlahnya. Itulah sebabnya, sembari gencar berpromosi, Wong juga mengingatkan pada calon konsumennya. "Harga khusus yang kami jual sekarang hanya berlangsung hingga UUHC berlaku," ujarnya. Dan setelah itu mulai Agustus, harga akan dinaikkan menjadi 200 dolar per paket. Tapi pada akhirnya toh keputusan tetap berada di tangan konsumen. Mau resmi tapi mahal, atau tidak resmi tapi murah.Budi Kusumah, Sidharta Pratidina (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini