APA YANG KAUCARI, ADINDA (drama tv) Pemain: Mutiara Sani, Nizar Zulmi, Jihan Amir Skenario & Sutradara: Asrul Sani Pengarah Acara tv: Irwinsyah NYONYA Sunarti menang perkara. Majelis hakim memberi hak padanya untuk mengasuh dua anak, hasil perkawinan dengan Kesuma, bekas suaminya. Dan Kesuma hanya bisa menahan marah. Dia tidak berhak terhadap anak-anaknya karena dianggap bukan bapak yang baik. Setidaknya, itulah yang dituduhkan Adinda Purnomo (Mutiara Sani) kepadanya. "Peri laku seksnya bisa mendatangkan trauma yang berat bagi kedua anaknya di masa depan," kata wanita itu lagi. Siapa Adinda? Dia selalu menyebut dirinya "ibu rumah tangga". Tapi khalayak ramai mengenalnya lewat prestasi gemilang sebagai Pengacara Sunarti. Pidato pembelaannya di sidang pengadilan - yang walaupun tidak mengutip pasal mana pun dari UU Perkawinan - telah berhasil melumpuhkan Kesuma. Padahal, untuk masyarakat sekitar dia itu kebal hukum, orang kuat yang bisa membeli apa dan siapa saja dengan uangnya. Tak heran bila kemenangan Adinda ditampilkan sebagai headline oleh surat kabar lokal. Wanita cantik itu jadi buah bibir, hanya dalam tempo 24 jam. Benar-benar suatu awal kisah yang sangat menawan. Dengan judul Apa Yang Kaucari, Adinda, drama tv ini telah dilayarkan lewat stasiun Jakarta, 21 April berselang, khusus untuk memperingati Hari Kartini. Menokohkan seorang wanita karier, drama karya Asrul Sani itu terasa penting, tidak saja karena temanya aktual, tapi juga karena ia menga-ak penonton untuk melakukan introspeksi. Cantik, mempunyai inteligensi tinggi, dan penguasaan hukum yang tepat, begitulah Pengacara Markam menyanjung Adinda. Wanita ini hanya bisa tersipu. Seperti umumnya wanita, Adinda lupa bahwa tidak ada yang gratis di dunia, sanjung dan puji juga tidak. Dia hanya bisa terdiam ketika pada kesempatan yang sama Markam melancarkan fait accompli, mengaaknya bergabung seraya menyodorkan berkas perkara. Semuanya rapi dan halus sekali, hingga Adinda tidak sadar terperangkap persis seperti wamta pada umumnya terperangkap karena rayuan maut. Dan apa boleh buat rayuan semacam inilah yang tidak pernah dikenal R.A. Kartini sepanjang usianya yang hanya 26 tahun itu. Karier Adinda menanjak, namanya melesat, tapi pada saat yang sama ia kian terbawa. Kegiatannya jangan ditanya, sibuk luar biasa. Tidak ada lagi waktu untuk Kiki (Jihan Amir) dan Ir. Purnomo (Nizar Zulmi) suami yang penuh pengertian itu - tapi Adinda berkeras bahwa ia bisa membagi waktu, sampai rekannya menyindir. "Sekali wanita ke luar rumah dan terjun ke masyarakat, maka bukan dia lagi yang menentukan waktunya tapi masyarakat itu sendiri," ujarnya serius. "Dan dalam jadwal yang ditentukan masyarakat, tidak ada waktu untuk suami dan anak." Mengapa sarjana hukum yang dulu mengajak Adinda bergabung tiba-tiba bicara ketus? Purnomo, sang suami, juga begitu. "Kalian tidak tahu istriku sudah jadi orang besar sekarang. Dia sangat terkenal," keluhnya tak senang. Kritik terselubung macam begitu tidak menghentikan gerak maju Adinda. Bahkan jebakan seorang lelaki kaliber "kakap" yang mengaku "bukan buaya" tidak membuatnya gentar. Tapi manakala Kiki tidur bersama-sama Bik Sari, ia tampak marah sekali. Sari dipecat malam itu juga. Nurma sahabatnya juga dikecam pedas ("Kau sudah pindah dapur rupanya?") semata-mata karena menggorengkan telur mata sapi untuk Kiki. Luapan emosional itu meruntuhkan citra Adinda sebagai pengacara sekaligus menampilkan kewanitaannya pada titik terendah. Dia hampir-hampir tanpa harkat, tapi wanita karier itu masih bisa bersandiwara. Kepada seorang wartawati, ia mengaku bisa membagi waktu dan bahwa suaminya "menyetujui" segala kegiatannya. Tak salah lagi, drama ini bermaksud mempersalahkan wanita karier dengan peran gandanya. Sebagai konsekuensi logis cita-cita Kartini dan emansipasi, para wanita yang cerdas dan berbakat akan menerobos ke atas, ke dunia yang sejak dulu hanya dikuasai kaum lelaki. Untuk prestasi ini, kaum pria bersikap mendua, mereka bertepuk tangan tapi juga tidak siap untuk berbagai tempat. Kalaupun mereka siap, kondisi keluarga dianggap tidak memungkinkan, atau tata nilai di masyarakat tidak mengizinkan. Tapi sesudah menonton drama 1l/2 jam ini ada kesan bahwa yang tidak siap bukan pria, keluarga, atau masyarakat, tapi justru wanita itu - Adinda. Sebagai personifikasi wanita karier dia bukan saja tidak siap mental, tapi jauh dari sikap lugas dan rasional. Padahal, kalau saja Adinda bersikap seperti umumnya wanita karier, halhal yang tidak enak, seperti telantarnya suami dan anak, bisa dihindarkan. Mungkin banyak Adinda-Adinda lain di masyarakat hingga perlu digugah dengan satu introspeksi. Seperti kata Purnomo, "Apakah kita tidak salah menafsirkan cita-cita Kartini?" Satu pertanyaan yang bagus memang, begitu pula sejumlah dialog dalam drama ini: bernas, kuat, tepat sasaran. Telinga penonton pun terpuaskan olehnya. Hanya saja, apakah tokoh Adinda - yang dimainkan secara mengesankan oleh Mutiara Sani - tidak terasa agak karikatural? Dia terlalu sempit untuk tema yang bisa aktual sampai tahun 2000, tapi mungkin saja Asrul Sani sengaja menampilkannya begitu. Sebuah cita-cita besar seperti punya Kartini telah berhasil mendobrak tata nilai lama, tapi lewat hampir satu abad, kita pun semua tahu, cita-cita saja tidak cukup besar untuk membangun tata nilai baru. Demikian pula halnya dengan emansipasi produknya macam-macam, ada wanita karier yang tangguh, wanita-wanita model Adinda, dan, yang paling faktual, mayoritas kaum wanita yang tersia-sia. Kelompok terakhir ini paling relevan dengan cita-cita Kartini, tapi dalam drama ini hanya terwakili oleh Bik Sari. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini