SILAKAN perhatikan kapsul obat di tangan Anda. Kalau ia elastis, dipijit sampai gepeng tetap bisa kembali seperti semula, ia terbuat dari bahan gelatin babi. Kalau pecah ketika dipijit, atau retak, atau bergaris, ia dari gelatin berbahan sapi. Keterangan seperti itu bisa didapat dari, misalnya, Azis Mochtar. Ia direktur PT Capsulindo, salah satu dari hanya dua industri farmasi di Indonesia yang mengkhususkan diri dalam pembuatan kapsul. TEMPO tak akan menanyakan masalah itu kalau bukan karena satu kalangan kedokteran membicarakannya atau, persisnya, memasukkannya dalam pembahasan mengenai "Penggunaan Obat yang Berasal dari Bahan Haram". Itulah judul topik sebuah forum ilmiah dari sebagian dokter dan mahasiswa Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, yang diselenggarakan Sabtu dua pekan lalu. Forum yang diadakan secara periodik untuk masalahmasalah keislaman itu, yang kali ini menampilkan pembicara dr. Udin Syamsudin didampingi antara lain Dr. Nur Asikin dan dr. Sarjono sebenarnya punya tujuan utama mengkaji sikap para peserta sendiri. Seperti dikatakan dr. Udin, "Kita sebagai dokter Muslim perlu mengembangkan usaha mencari alternatif". Yaitu memilih hanya obat yang benar-benar halal. Kecuali bila tidak ada alternatif lain, sehingga "tidak ada masalah dari pandangan agama", seperti dikatakannya kepada TEMPO. Dan di Ruang Anatomi FK UI itu dr. Udin kemudian menyebut dua produk: insulin dan kapsul. Insulin, obat kencing manis, ada yang dari babi dan ada yang dari sapi - "tapi yang dari babi jauh lebih banyak, dan lebih sering dipakai," kata farmakolog FK UI ini. Begitu juga kapsul, yang - berdasarkan literatur - terbuat dari sapi atau babi, yakni dari kulit dan tulangnya. "Cuma kita tidak bisa membedakan," kata dr. Udin, dan tidak ada keterangan dalam kemasan. Itulah sebabnya dr. Udin, dan suara dari 200-an peserta forum itu, akhirnya memang menghendaki adanya pengaturan yang jelas dari pemerintah - "seperti yang sudah dikenakan pada bahan narkotik dan alkohol". Tapi Dirjen POM, Midian Sirait, memberi kesan bahwa masalah itu tak begitu relevan. Soal hubungan antara pasien dan dokter adalah "Soal pengobatan terbaik," katanya "tidak ada masalah agama maupun nnaksud menjerumuskan." Meski begitu, dikatakannya, insulin dari babi itu sebenarnya sudah ada penjelasannya dalam brosur. Sedangkan kapsul, "Semua sudah buatan dalam negeri - tidak ada yang dari babi." Memang, contoh kapsul nonbabi tentunya bisa diberikan dengan produk PT Capsulindo yang sudah disebut, yang, sepanjang dinyatakan direkturnya, hanya membuat kapsul dari gelatin sapi "Berdasarkan perhitungan sejak awal yakni mengingat konsumen dalam negeri yang sebagian besar Muslim." Ditambahkannva. bahkan mesin yang dinakai nabriknya - juga pabrik industri yang sebuah lagi, PT Gelatindo - khusus diset untuk gelatin sapi, yang memang berbeda dari setting untuk gelatin babi. "Bahkan kita mengekspornya ke Malaysia." Tetapi sebenarnya ada kapsul yang belum bisa dibuat dl slni, yakni yang diberi ciri OO (kapsul kecil obat penenang), lalu 3 dan 4 (kapsul besar untuk jamu). Jumlah yang diimpor ini, dinyatakan oleh Mochtar, sekitar 20%. "Ini yang tidak bisa dijamin halal haramnya." Malah, katanya, pernah juga jenis kapsul yang sudah bisa dihasilkan sendiri juga diimpor kemari. "Tapi waktu itu kami sempat mengklaim," cepat-cepat ditambahkannya. Maklum, kapsul buatan luar itu - yang dari babi - lebih murah. Antara lain, menurut sang direktur, karena kulit dan tulang babi yang mereka pakai untuk gelatinnya itu, "Tidak ada harganya. Berbeda dengan kulit sapi. Akan halnya insulin, di Indonesia diketahui beredar sekitar tujuh macam produk tiga industri Novo (PT Kenrose), Nordisk, dan Organon Indonesia. Sementara pihak Kenrose tak bersedia diwawancarai, keterangan datang dari pihak Organon. Willem J. Klein, managing directornya, bersama Boerma, marketing director, mengakui bahwa Organon memang punya insulin dari babi. Tapi, "Belum dikembangkan di Indonesia," kata Klein. "Yang kami pasarkan di sini semuanya dari pankreas sapi," katanya. Lalu ditambahkan oleh Boerma, "Dan bahan itu kami cantumkan di sini" - sambil memperlihatkan brosur. Masalahnya, tak semua dokter rajin memeriksa brosur. Di samping itu, ternyata, tidak semua brosur mencantumkan keterangan bahan-bahannya. Contoh: brosur insulin Nordisk. Bahkan direktur Rumah Sakit Islam Jakarta, dr. H. Sugiat As, S.K.M., misalnya, menyatakan masih menunggu insulin "yang tidak terbuat dari babi". Pemakaian sekarang ini, yang ukurannya sangat sedikit pada tiap penderita ("Untuk penderita berat saja hanya dipakai tiga drip , tak sampai satu tetes," katanya), adalah darurat. "Kalau tak diberi insulin, menurut akal, dia mati." Juga, meski pada sementara dokter dilingkungan FK UI problem halalharam ini sudah agak lama dirasakan, banyak peserta forum itu sendirl yang tampak tlba-tiba tertarik pada isi ceramah dr. Udin itu. Makr lum, agaknya tidak semua dokter sempat mengikuti perkembangan pasar. Tentu saja imbauan forum keislaman itu dengan demikian berhasil. Udin sendiri menyatakan kepada TEMPO, forum itu masih pada tingkat inventarisasi, "Dan obat-obatan haram yang diinventarisasikan itu sebenarnya masih sebagian kecil." Bisa dimengerti bila usaha seperti itu disambut baik sekali oleh tokoh seperti K.H. Ghozali Sahlan, sekretaris Majelis Ulama DKI Jakarta. "Bagi yang tak tahu bahwa sebuah kapsul atau insulin mengandung babi, tidak ada dosa. Tapi wajib hukumnya, bagi yang tahu, untuk memberi tahu. Bukan mendiamkan saja." Syu'bah Asa Laporan drg. Adyan Soeseno dan Musthafa Helmy (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini