INTERNASIONALISASI yen dan liberalisasi pasar modal Jepang, akhirnya, bakal terwujud tidak lama lagi persetujuan penting di bidang moneter itu tercapai pekan lalu, sesudah utusan Jepang dan AS berunding tiga hari secara maraton di Roma. "Akhir bulan ini laporan mengenai persetujuan itu akan diterbitkan," ujar Bery Sprinkel, wakil menteri keuangan AS. "Internasionalisasi yen dan liberalisasi pasar modal Jepang bakal lebih mengefisienkan ekonomi Jepang dan dunia," ujar utusan Jepang. Sudah hampir setahun ini, Washington mendesak Tokyo agar mau menyediakan yen dalam jumlah besar, untuk digunakan sebagai alat bayar bagi perdagangan internasionalnya. Dengan internasionalisasi itu diharapkan terbuka pula kemungkinan banyak negara lain menggunakan yen sebagal cadangan devisa mereka. Membesarnya permintaan yen itu secara otomatis diduga juga bakal menaikkan kursnya melawan sejumlah mata uang asing, terutama dolar AS. Jika itu terjadi, AS berharap defisit neraca perdagangannya dengan Jepang bisa ditekan, mengingat menguatnya yen tadi diperkirakan bakal menyebabkan impor barang Jepang sedikit lebih mahal. Tapi Tokyo, yang tak ingin surplus perdagangannya terganggu, kelihatan ogah-ogahan menanggapi desakan AS tadi karena itu, tak heran ketika mengunjungi Jepang, akhir April lalu, menteri keuangan AS Donald Regan dengan kesal menyatakan "sangat kecewa" dengan sikap Jepang itu apalagi kalau melihat defisit neraca perdagangan AS dengan Jepang tahun lalu mencapai US$ 19 milyar. Membesarnya defisit itu, menurut kalangan monetaris, banyak disebabkan oleh kecilnya peranan yen sebagai alat bayar perdagangan dalam dua tahun terakhir ini. Anggapan itu tampaknya benar. Pada tahun 1982, misalnya, hanya 37% dari seluruh total ekspor Jepang menggunakan satuan yen sebagai alat bayar, dan hanya 2% dari seluruh impornya menggunakan yen pada tahun 1981. Bahkan pemerintah Jepang sendiri, pada 1982, hanya menyimpan yen tidak lebih 4% dari seluruh cadangan devisanya. Peranan yen dalam menentukan harga terasa sangat lemah, terutama karena di Tokyo tidak ada pasar untuk surat-surat berharga yang diterbitkan bank - hingga bukti-bukti pembayaran dalam yen tidak bisa diperdagangkan. Keadaan itu jelas berbeda dengan Jerman Barat, yang menggunakan deutsche mark sebanyak 80% dari seluruh total ekspornya, dan 40% dari seluruh harga barang impornya pada tahun 1982. Sudah sejak tahun lalu pula, Presiden Ronald Reagan meminta Tokyo agar memberi kesempatan kepada lembaga keuangan AS bisa "berbuat banyak" di Jepang untuk mencari dana yen jangka panjang, dan menerbitkan obligasi yen di pasar Eropa (Euroyen). Kalangan bankir Jepang sendiri sebenarnya juga ingin bisa menerbitkan sertifikat deposito melebihi separuh modal yang dimiliki. Tokyo sudah lama diketahui pula membatasi jumlah kredit yang bisa diberikan lembaga keuangan Jepang untuk nasabah mereka di luar negeri. Pengelolaan dana pensiun di sana pun, sudah sejak lama, hanya diberikan pada tu juh bank dan 21 perusahaan asuransi jiwa. PIHAK otoritas moneter negara itu disebut-sebut pula sangat ketat mengontrol tingkat suku bunga yen. Pada bulan Oktober tahun lalu, misalnya, Bank of Japan mendadak menurunkan tingkat bunga diskonto dari 5,3% ke 5%. Dikontrolnya tingkat suku bunga deposito yen milik orang asing, tentu saja, juga menyebabkan mereka tidak suka menyimpan mata uang itu sebagai kekayaan. Baik perusahaan, bank, maupun perorangan baru membeli yen jika mereka beranggapan nilai yen menguat terhadap sejumlah mata uang negara lain. Karena sejumlah faktor itulah, nilai yen tidak banyak naiknya, kendati neraca barang dan jasa negara itu per September tahun lalu surplus US$ 16,7 milyar. Kondisi seperti itulah, antara lain, yang menvebabkan banyak perusahaan yang menglmpor bahan penolong dari Jepang harus selalu mengawasi fluktuasi kurs yen. Supaya perusahaan tidak rugi karena beda kurs, maka mereka, biasanya, membeli yen ketika mata uang itu sedang jatuh. Tapi, jika kontrol pemermtah Jepang atas pasar modal dan beleid moneter dicabut, nilai yen akan mengalami apresiasi cukup besar - dan menyebabkan impor bahan penolong dan barang industri Jepang bakal sedikit lebih mahal. Belakangan Tokyo akhirnya mau juga bersikap realistis menghadapi tekanan AS itu. Tingkat perolehan dividen surat-surat berharga, misalnya, mulai April diperbolehkan diperbandingkan dengan tingkat bunga di pasar uang. Dengan demikian, masyarakat kelak blsa memilih mana yang lebih menguntungkan, menanamkan uang di obligasi atau melemparkan dana mereka di pasar uang. Pendeknya, Jepang akan berusaha meliberalisasikan pasar modalnya, "langkah demi langkah," ujar Tomomitsu Oba, wakil menteri keuangan. Kalangan bankir di Tokyo sendiri kclihatan setuju jika internasionalisasi yen dan liberalisasi pasar modal cepat dilakukan. "Kekuatan yen jauh lebih besar daripada dolar Singapura dan Hong Kong," ujar seorang pejabat Bank of Tokyo di Tokyo. "Jadi, aneh kalau pasar modal dan uang di Tokyo tidak menjadi besar dibandingkan dengan Singapura dan Hong Kong."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini