Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan Lebaran, juga bukan liburan panjang. Namun Stasiun Kota masih ramai sampai lewat tengah malam. Bahkan ”para penumpang” yang datang pada Sabtu dua pekan lalu itu berpenampilan modis ala anak muda metropolis. Berbagai aroma parfum merebak bertebaran menggantikan bau keringat kuli panggul dan penjaja makanan. Mereka datang berkelompok. Tidak sedikit yang sudah saling kenal: mereka saling menyapa, cium pipi, berteriak girang, dan tertawa renyah.
Konsentrasi pengunjung tertuju pada panggung bergaya futuristik. Anakanak muda pun mengikuti entakan musik, atau sekadar bercengkerama dengan teman. Stasiun Jakarta Kota memang tidak sedang kebanjiran penumpang kereta api. Tapi ini waktunya pesta! Rave party untuk pertama kalinya digelar di bangunan cagar budaya yang berdiri sejak 1929 itu.
Malam itu, Stasiun Kota dirombak. Panggung didirikan di ruang tunggu penumpang. Perangkat audio berdiri garang di kanankiri panggung. Dekorasi itu disempurnakan dengan kilatan lampu yang menyorot menyebar dan membias pada atap lengkung seperti busur, yang menjadi ciri khas Stasiun Kota. Loket yang biasanya digunakan untuk penjualan tiket kereta beralih fungsi menjadi tempat penjualan tiket pesta, seharga Rp 150 ribu per orang.
Akhirnya, yang ditunggu datang juga: disc jockey (DJ) ternama asal Swedia, Mike Shiver, yang menjadi bintang utama malam itu. Diselingi beberapa DJ lain, berlatar ilustrasi di proyektor yang terpasang penuh di belakang panggung, dia membuat ”gerah” area stasiun itu dengan aksi meracik electronic dance music yang menggigit. Sebagian besar pengunjung pun tak kuasa menahan diri untuk tidak bergoyang, minimal kepala manggutmanggut mengikuti musik, ajib… ajib…! Musik berdentamdentam memekakkan telinga, menggedor dada.
Rave party memang bukan sekadar pesta diiringi musik rancak seperti di diskotek atau arena dansa lain. Selain pesertanya—mereka sebut crowd—lebih masif, tempatnya pun aneh dan nyeleneh, seperti museum, lorong gedung, bangunan rusak, atap gedung, tempat bersejarah, dan tepi pantai, bahkan pernah di pelataran Candi Prambanan. Jadi, sudah jelaslah mengapa Stasiun Kota dipilih menjadi tempat pesta.
Bagi Ari Asimilia, penyiar radio di Yogyakarta, tempat rave memang menimbulkan sensasi tersendiri. Misalnya, saat rave party di halaman sebuah hotel di pinggir pantai Parangtritis, Yogyakarta, dentuman musik bercampur dengan suara debur ombak menghadirkan sensasi. Atau pengalamannya saat nyemplung ke pesta yang digelar di situs Candi Boko. Area candi di puncak bukit menjadi bergemuruh oleh musik dan soraksorai ratusan raver—sebutan pengikut pesta ini.
Karena pesertanya yang massal dan tempatnya yang unik, orang ”ketagihan” pada pesta ini. Para raver selalu tergoda datang ke rave party karena lokasinya. ”Mencari sensasi suasana yang berbeda,” kata Rizky, karyawan perusahaan swasta yang rajin berburu rave party di lokasilokasi unik. Dia langsung menjadi raver setelah pertama kali datang ke rave party di Museum Gajah, Jakarta, pada 2002.
Setelah itu, Rizky pun rajin datang ke rave party lain, tak hanya di Jakarta, tapi juga ke kotakota lain. Motivasinya: mencari sensasi lokasi pesta yang berbeda sekaligus crowd dan DJ yang asyik punya. ”Jadi seperti kebutuhan, juga menunjukkan eksistensi,” katanya. ”Enggak gaul kalau belum ke Sundaze.” Yang dia maksud adalah rave party rutin tiga bulan sekali di Jakarta.
Hadir di antara kerumunan memang penting. Menurut Ari Asimilia, datang ke rave party tak selalu harus menikmati musik, aksi DJ, atau lokasinya. ”Untuk hebohhebohan saja, ketemu temanteman,” katanya. Datang ke acara itu seakan mengisi daftar hadir untuk memantapkan diri masih menjadi bagian dari suatu komunitas kelas tertentu. ”Ya, umumnya kelas atas,” katanya.
Adapun Milinka Mikaela Radisic, yang biasa dipanggil DJ Milinka, mengaku menggilai rave party untuk memburu suasana santai, bebas, dan menjadi diri sendiri. ”Tak perlu banyak kekangan, yang penting fun,” kata pelopor DJ perempuan di Indonesia ini. Wujud kebebasan itu misalnya berpakaian santai seadanya, berkaus, bersandal jepit, tapi bisa ikut pesta. ”Mana bisa macam gitu di klub?” ujarnya.
Apa pun motivasinya, yang jelas, cukup banyak raver di kotakota besar Indonesia. Anggota forum Ravelex.net atau Indonesian Ravers and Electronic Dance Music Network sejauh ini tercatat mencapai 9.000 orang. Ini adalah komunitas penggila musik elektronik terbesar di Indonesia, yang usianya sudah enam tahun. ”Awalnya caricari acara party bersama, kemudian bergabung menjadi komunitas,” kata Dhion Toradan, pengelola Ravelex.net.
Melalui forum ini, para anggotanya bertukar informasi acara pesta dan koleksi, juga menawarkan karya. Komunitas ini pun memberikan Ravelex Electronic Dance Music Award (REDMA) kepada penggiat musik seperti DJ dan produser setiap tahun. Dan tetap, puncak acara penghargaan adalah party, party, dan party. Untuk tahun ini, acara REDMA digelar pada 2 Mei.
Akar rave party sebenarnya adalah kultur rave yang berkembang kuat di Jerman pada 1980an. Gerakan ini merupakan wujud perlawanan atas industrialisasi dan komersialisasi. Kelompokkelompok pengusungnya berkumpul dengan jalinan spirit yang biasa disingkat PLUR (peace, love, unity, and respect). Para aktivis rave culture itu menggelar pesta di gudang, gedung pertemuan, hanggar pesawat, dan lokasi terbuka lain. Nah, istilah rave sendiri mulai populer pada 1960an, yaitu berasal dari cara orang Karibia menyebut pesta.
Satu dasawarsa kemudian, dengan mengadopsi rave culture itu, pada akhir 1990an, beberapa komunitas di Jakarta mulai menggelar underground rave party. Tak hanya di Jakarta, fenomena itu muncul juga di Bali, Bandung, Yogyakarta, dan kota lain. Di masa itu, masih kental semangat rave: perlawanan, juga perdamaian, cinta, persatuan, dan saling menghormati.
Pada 2000an, rave party mulai digelar terbuka. Puncaknya terjadi pada 2004. Masa itu, hampir setiap bulan ada rave party ruang terbuka di berbagai kota, seperti Paranoia Aquasonic Dance Out 2004 di Pantai Bandulu, Anyer, Banten; Ultimate Fired Up di Bumi Perkemahan Kaliurang, lereng Gunung Merapi, Yogyakarta; dan 21st Century Beach Party di kawasan Pantai Uluwatu, Bali.
Rave party pun bergeser ke arah komersialisasi, tidak seperti semangat awalnya. ”Sekarang sudah tidak underground lagi,” Rizky mengakui. Masanya memang menuntut demikian. Dan pasar pun menyambut. Untuk membeli perpaduan optimal elemenelemen yang menghasilkan sensasi rave party itu, tak jarang para raver berburu suasana hingga ke luar negeri.
Rizky sendiri, misalnya, sudah tiga kali mendatangi Zook Out di Singapura. Ini adalah rave party tahunan yang digelar setiap Desember di negeri jiran itu. Zook Out, yang biasanya berlokasi di Siloso Beach, Sentosa Island, merupakan rave party terbesar di Asia. Pengunjungnya mencapai puluhan ribu orang, dari negaranegara tetangga Singapura. ”Banyak juga orang kita. Kanankiri dengar orang ngomong pakai bahasa Indonesia,” katanya.
Inilah yang membuat Milinka gemas. Rave party terbesar di Indonesia hanya terjadi pada Jakarta Movement 2004 di Pantai Karnaval Ancol, Jakarta, dengan raver mencapai 28 ribu orang. Milinka memimpikan sebuah rave party digelar di sepanjang Jalan Sudirman, Jakarta. ”Ini bukannya tidak mungkin, asal ada dukungan otoritas. Di Zurich (Swiss), satu kota ditutup, 800 ribu orang berpesta di sepanjang jalan, sampai bingung mau menyaksikan aksi DJ yang mana,” dia mencontohkan Street Parade di Swiss yang merupakan rave party terbesar kedua di Eropa.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo