Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdiri di panggung, Florian Ross berkomat-kamit, seperti mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara. Ya, dia sebenarnya hanya memperagakan situasi yang sedang dihadapinya: mikrofon di tangan yang ternyata belum aktif saat menyapa penonton.
Dari awal penampilannya di Goethe Institut, Jakarta, Jumat dua pekan lalu itu penonton bisa segera mendapat kesan bahwa Ross, pianis dan komposer jazz asal Jerman, adalah seorang yang komunikatif, humoris. Atau, sekurang-kurangnya dia adalah pribadi yang riang dan lepas, mengabaikan formalitas. Memang begitulah adanya: dia menunjukkannya dalam gerak-gerik, cara berkomunikasi, dan juga—tentu saja—komposisi-komposisinya sepanjang hampir dua jam.
Bersama Dietmar Fuhr (kontrabas) dan Jonas Burgwinkel (drum), dia membuka konser format trionya dalam rangkaian program Serambi Jazz itu dengan Lucky for a Quarter. Komposisi dari album Big Fish & Small Ponds (2007) ini terasa menyegarkan sejak awal. Intronya merupakan kolase bebunyian dawai piano yang ”disapu” dengan jemari, petikan bebas kontrabas, dan pukulan yang cenderung dekoratif pada drum. Dan ketika bagian utama tersaji, penonton seperti terelevasi ke wilayah yang memancarkan kelembutan, keanggunan, sekaligus inteligensia.
Konstruksi komposisi itu bagaikan desain yang mengutamakan ketelitian rencana: segalanya mesti dibuat sempurna sejak awal; modifikasi dan improvisasi bisa nanti tergantung situasi.
Prinsip itu makin kentara di komposisi kedua, Heads Up—dari album yang sama. Ross begitu efektif memainkan pianonya. Begitu pula bas dan drum, kuat menjadi fondasi sekaligus ornamen. Atau pada Bus. ”Saya menulisnya ketika sedang berada di bus bersama anggota band saya, di Meksiko, dalam perjalanan ke tujuan yang jauh,” kata Ross.
Yang menonjol, di hampir setiap komposisi yang dimainkan: Burgwinkel memperlakukan drumnya bukan saja sebagai bagian dari rhythm section, melainkan juga instrumen yang bisa menghasilkan aksen bebunyian yang lebih luas jangkauannya. Dia membutuhkan bukan hanya stick dan brush untuk itu. Tangan pun menjadi alat pemukul. Dan dia bermain hampir tanpa melihat instrumennya. Raut mukanya berubah-ubah, tergantung tone yang mesti dihasilkan. Sangat ekspresif.
Florian Ross, kelahiran 1972, selama ini dikenal sebagai musisi jazz yang tak mau terjebak dalam situasi harus memilih antara kubu yang menjaga jarak dengan jalur mainstream dan mereka yang ingin melanjutkan tradisi jazz Amerika Serikat seotentik mungkin. Kubu yang pertama memang lazim di Eropa. Merekalah yang menjadikan jazz Eropa memiliki karakter yang tak ada dalam jazz Amerika. (Seperti film produksi Eropa dibandingkan produksi Hollywood, begitulah.)
Sejak pertama kali merilis album pada 1998, Ross sudah tampil dalam bermacam-macam format, dari trio hingga kuintet, juga orkestrasi hingga ensembel tiup. Selama itu dia menunjukkan bahwa justru dengan menerjemahkan aspek-aspek tradisional ke dalam idiom kekinian, atau dengan kata lain mengabaikan sekat-sekat perkubuan, sebuah faset jazz yang menantang, inventif, dan senantiasa menjangkau horizon baru bisa juga dihasilkan. Seraya melakukan itu, dia pun sukses merukunkan bentuk musikal yang tampak berseberangan: yang mengutamakan improvisasi dan yang mementingkan komposisi.
Secara umum, dia cenderung condong ke wilayah bebunyian yang kontemplatif dan timbre yang berkesan hangat. Warna biru, oranye, dan terakota, seperti sering dipakai untuk menganalogikan musik Ross, memang memadai.
Hal itu bukan saja terasa efektif pada karya-karya orisinalnya, tapi juga komposisi standar. Misalnya pada Giant Steps, sebuah monumen jazz karya John Coltrane, komposer Amerika yang memelopori gerakan free jazz pada 1950-an hingga 1960-an. Versi Ross dan kawan-kawan boleh dibilang sangat pas menjadi bagian dari karakter keseluruhan musik mereka. Atau pada Bye Bye Blackbird, karya komposer Ray Henderson dan penulis lirik Mort Dixon. Pendek kata, dua-duanya memamerkan perpaduan instrumentasi nan dinamis dan menawan. Sangat melenakan.
”Kami akan menutup malam ini dengan… sampai jumpa,” kata Ross, setelah kembali lagi ke panggung untuk memainkan komposisi tambahan (encore). Penonton tertawa. ”Yang satu ini judulnya The Moon Has Descended.”
Dengan lagu itu, untuk terakhir kalinya, Florian Ross Trio menunjukkan bahwa jazz sesungguhnya dan seharusnya memang bebas.
Purwanto Setiadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo