Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH hampir sebulan Setodewo batuk tak sembuh-sembuh. Anak laki-laki menjelang lima tahun itu tertular penyakit tersebut di sekolahnya di Bekasi, Jawa Barat. Beberapa teman sekelasnya di taman kanak-kanak juga tengah menderita batuk.
Karena masih kecil, Seto belum bisa meludah dan selalu menelan dahak yang keluar akibat batuk. ”Sudah diberi obat batuk, tapi tak mempan juga,” kata Nulik Prawaningrum, 38 tahun, ibunya, pekan lalu. Menurut ibu dua anak itu, tiap musim kemarau si kecil bergantian terserang batuk. Apalagi di perumahan tempat tinggalnya banyak debu pada musim kering. Tahun lalu, Seto pernah diobati dokter karena terkena flek pada parunya.
Musim kemarau memang membuat jumlah anak penderita sakit pernapasan dan tenggorokan meningkat. ”Secara umum jumlahnya lebih banyak ketimbang musim hujan,” kata Profesor Dr dr Cissy B. Kartasasmita, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung. Gejala ini, menurut Cissy, juga tampak pada jumlah pasien infeksi saluran pernapasan akut di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, serta sejumlah rumah sakit lain di Indonesia. Penyebabnya, menurut dokter spesialis anak ini, adalah kualitas lingkungan yang buruk.
Infeksi saluran pernapasan dikenal sebagai ”penyakit maut” bagi bayi dan anak-anak. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga pada 2001, ada tiga penyakit mematikan bagi bayi dan anak di bawah lima tahun di Indonesia, yakni infeksi saluran pernapasan, komplikasi perinatal (masa di dalam kandungan hingga usia tujuh hari), dan diare. Menurut survei sebelumnya, pada 1996, tiga penyakit itu juga muncul sebagai penyakit mematikan.
Berdasarkan penelitian terbaru pada 2006 yang dikemukakan dalam sebuah seminar tentang penyakit anak di Surabaya pada akhir Juni lalu, muncul kesimpulan lain. ”Ternyata ada yang tak tampak di belakang gejala-gejala penyakit umum itu,” kata Cissy, yaitu gejala pneumokokus, kumpulan penyakit yang disebabkan bakteri streptococcus pneumoniae—penyebab radang paru atau pnemonia. Indikasinya, mula-mula mirip penyakit musiman biasa, seperti batuk, demam, sakit hidung, dan telinga. Padahal bakteri tersebut bersifat patogen alias ganas dan dapat menyerang organ lain. Jika tidak berakibat kematian, kelalaian dalam pengobatan mengakibatkan cacat, seperti lumpuh, tuli, cacat mental, dan epilepsi.
Dua studi yang dilakukan Institut Vaksin Internasional bekerja sama dengan Rumah Sakit Sanglah di Denpasar, Bali, dan Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya, berhasil medapatkan data klinis kasus pneumonia berikut gejala lainya, seperti sepsis (kondisi tubuh yang ditandai demam tinggi pertanda adanya infeksi dalam darah atau jaringan tubuh) serta meningitis (akibat bakteri dan virus menyerang lapisan pelindung otak), pada Januari-Desember 2006.
Di Rumah Sakit Sanglah, dari 448 pasien anak di bawah lima tahun, 82 persen atau 367 pasien menderita pneumonia. Di Surabaya, ada 680 pasien anak di bawah lima tahun, 77 persennya atau 524 pasien terkena pneumonia, 118 di antaranya meninggal. ”Pneumokokus adalah silent killer,” kata dokter Sukman Tulus Putra, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Pneumokokus jelas bukan penyakit baru—virusnya sudah dikenal sejak abad ke-19. Namun bakteri ini tetap menjadi ancaman—termasuk di negara maju—karena berakibat kematian pada anak kecil. Total penderita di 15 negara berkembang mencapai 113 juta orang. Ada dua juta kematian akibat penyakit ini setiap tahun. Sekitar 700 ribu hingga satu juta di antaranya bayi di bawah lima tahun. Sementara itu, Indonesia, berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), berada di posisi keenam dengan enam juta penderita. Tertinggi adalah India, 44 juta, Cina 18 juta, dan Nigeria 7 juta.
Karena besarnya ancaman pneumonia di sini, pemerintah berencana memasukkan vaksin pneumokokus ke dalam program imunisasi rutin bagi bayi berusia di bawah satu tahun. Biayanya didukung Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi. Negara penerima bantuan kelak cukup membayar 15 sen saja (sekitar Rp 1.400) per dosis dari harga vaksin senilai US$ 58 (sekitar Rp 530 ribu). Di Amerika Serikat dan Kanada, vaksinasi ini terbukti efektif memangkas penderita pneumokokus.
Departemen Kesehatan telah mengirimkan surat pernyataan berminat atas tawaran dana dari Aliansi Global pada 2007. ”Tapi peluangnya sangat tergantung kesiapan dan komitmen pemerintah,” kata Profesor Dr Sri Rejeki S. Hadinegoro, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang juga Ketua Tim Ahli Imunisasi Nasional, kepada Tempo. Sebab, lembaga tersebut baru mau mengeluarkan dana bila pemerintah membangun sarana pendukungnya.
”Di Indonesia, pelaksanaannya diperkirakan mulai 2010. Sasarannya lima juta bayi,” kata Nyoman Kandun, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan. Untuk persiapan, Departemen Kesehatan akan melakukan uji laboratorium kasus-kasus pneumonia pada anak di tiga rumah sakit: Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta; Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung; dan Rumah Sakit Sanglah, Denpasar. Pemeriksaan awal ini diperlukan untuk mengetahui tipe pneumokokus di Indonesia.
Arif A.K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo