Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA tablet kecil itu digantungkan harapan besar. Itulah obat-obatan antiretroviral (ARV) sandaran hidup mereka yang terinfeksi HIV/AIDS. Kombinasi beberapa obat antiretroviral terbukti bisa membuat mereka hidup sehat. Luput meminumnya bisa berujung kematian.
Ketika Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencanangkan program penggunaan obat antiretroviral secara luas sejak Desember 2003, obat ini sudah diproduksi di dalam negeri oleh Kimia Farma. Mulai 2004, pemerintah mensubsidi penuh obat ini, yang disalurkan ke 257 rumah sakit di seluruh Indonesia.
Namun program ini tak selalu mulus. Pasokan antiretroviral kadang terganggu. Ada soal distribusi yang macet, juga kekurangan biaya. Untuk menggali informasi ini, wartawan Tempo, Andari Karina Anom, mewawancarai Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Tjandra Yoga Aditama, Rabu pekan lalu. Berikut ini petikan pembicaraan dengan profesor di bidang pulmonologi (penyakit yang berhubungan dengan paru dan sistem pernapasan) itu.
Ketersediaan antiretroviral di sejumlah daerah sempat terganggu. Apa penyebabnya?
Harus diakui, sejauh ini jumlah orang terinfeksi HIV masih terus meningkat. Mengingat sifat pengobatan yang seumur hidup, meski anggaran untuk antiretroviral sudah dinaikkan setiap tahun, tetap belum bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan pada tahun berjalan. Belum lagi, ada program-program kesehatan penting lain yang juga harus ditangani secara saksama. Misalnya demam berdarah dan malaria serta yang nonpenyakit, seperti gizi serta kesehatan ibu dan anak.
Tapi Departemen Kesehatan memang menemukan ada kelangkaan stok?
Selama ini kan selalu ada persediaan untuk tiga bulan ke depan. Ketika stoknya hanya untuk kurang dari tiga bulan, banyak yang khawatir. Tapi tidak kosong.
Ketersediaan stok kabarnya terkait dengan Departemen Kesehatan yang kekurangan dana untuk penyediaan antiretroviral?
Setelah menerima laporan menipisnya stok antiretroviral di tingkat nasional, Menteri Kesehatan langsung memerintahkan merealokasi sisa dana anggaran pendapatan dan belanja negara serta menggunakan dana bantuan sosial Departemen untuk mengamankan ketersediaan obat, baik lini satu maupun dua, sampai Maret 2009.
Ada kritik yang menyatakan proses penyaluran antiretroviral dari pusat tak transparan dan kurang melibatkan provinsi sehingga menyebabkan terganggunya pasokan. Bagaimana tanggapan Anda?
Sebelum ada masalah ini, sebenarnya perbaikan jalur distribusi sudah jadi perhatian kami. Pada 2007, tim peninjau eksternal sudah merekomendasikan perbaikan sistem pengaturan rantai distribusi. Selama ini Departemen Kesehatan yang memesan antiretroviral ke Kimia Farma dan mengirim langsung ke rumah sakit di daerah. Kini kebutuhan antiretroviral meningkat. Kami rencanakan pendistribusian akan dilakukan melalui dinas kesehatan provinsi. Mereka (dinas-dinas itu) akan menyimpan stok enam bulan. Kami sudah menjajaki lima provinsi dan untuk tahap pertama sudah dilakukan di Jawa Timur.
Benarkah ada pasien yang terpaksa mengkonsumsi obat antiretroviral kedaluwarsa karena kelangkaan obat ini?
Tidak ada obat antiretroviral kedaluwarsa yang kami bagikan.
Apa sebetulnya masalah terbesar dalam menangani penyebaran HIV di Indonesia?
Epidemi AIDS di Indonesia tergolong sebagai epidemi yang tertunda. Saat kasus HIV dan AIDS di negara lain sudah mulai turun, di negara kita justru mulai meningkat dengan cepat. Yang paling penting adalah mencegah penularan baru HIV dan memperbanyak persentase pasien yang mendapat pengobatan antiretroviral.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo