Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bila <font color=#FF9900>Si Penyambung Nyawa</font> Langka

Pasokan obat antiretroviral kritis. Nyawa pasien HIV dan AIDS bisa terancam: ada yang mengkonsumsi obat yang sudah kedaluwarsa, ada yang memutuskan berhenti menelan ARV. Karena penyaluran yang tidak transparan?

1 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU pagi di awal November, Anton Sugiri menenggak neviral dan duviral. Obat yang namanya seperti anak kembar itu merupakan dua jenis antiretroviral (ARV), obat untuk pengidap human immunodeficiency virus (HIV). Rutinitas menelan obat itu dijalani pria 30 tahun ini sejak 2005—saat ia tahu terinfeksi virus yang menggerus kekebalan tubuh itu. Namun, tak seperti biasanya, setelah meminum obat pagi itu, mantan pengguna narkotik suntik yang kini bekerja di Kios Info Kesehatan Universitas Katolik Atma Jaya ini merasa pusing dan mual.

Malamnya, pria yang tahun lalu baru menikah ini menyesap tablet yang sama. Tiba-tiba ia merasa sekelilingnya berputar, lalu muntah-muntah. Badannya pun lemas. Anton lalu mengecek kemasan obat. Ternyata pada bungkusnya tercantum waktu kedaluwarsa: November 2008.

Warga Rawamangun, Jakarta Timur, ini menduga masa berlaku obat yang hampir habis itulah penyebab timbulnya efek samping tersebut. Mendekati akhir masa pakai, biasanya kualitas obat sudah menurun. ”Apalagi kita tak tahu kualitas penyimpanan di sini,” kata ayah satu anak berusia empat bulan ini.

Anton tak sendiri. Menjelang peringatan Hari AIDS (acquired immune deficiency syndrome) Sedunia pada 1 Desember ini, keluhan-keluhan serupa diterima pengurus Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI) di Jakarta. Menurut Abdullah Denovan, koordinator nasional organisasi ini, kejadian tersebut terkait dengan kelangkaan stok obat antiretroviral—terutama di luar Jakarta—beberapa bulan terakhir. Karena ketiadaan stok, ”Ada yang terpaksa berhenti minum obat, ada pula yang menerima obat berkualitas tak baik,” kata Denovan.

Menurut dia, di Pulau Jawa saja, kelangkaan berbagai jenis antiretroviral terjadi di banyak rumah sakit. Rumah Sakit Saiful Anwar, Malang, sempat kekurangan efavirenz selama dua bulan. Lalu Rumah Sakit Moewardi, Solo, pernah tak punya duviral, stavudin, dan efavirenz. Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas hanya punya stavudin yang sudah kedaluwarsa.

Sedangkan di Rumah Sakit Margono Soekardjo terdapat kasus pasien yang putus minum obat akibat ketiadaan stavudin, neviral, dan efavirenz. Kondisi rumah sakit di luar Jawa lebih parah lagi. Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura, Papua, kekurangan efavirenz, sedangkan Rumah Sakit Umum Daerah Abepura kehabisan tenofovir.

Mengapa antiretroviral langka? Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Tjandra Yoga Aditama, hal itu terjadi karena dua hal: distribusi yang terganggu dan soal biaya. Selama ini, obat yang di dalam negeri diproduksi Kimia Farma itu dikirim Departemen Kesehatan pusat langsung ke rumah sakit di daerah. Namun, kata dia, kini jumlah orang terinfeksi HIV terus meningkat, sehingga obat yang dikirim tak cukup dibagi untuk semua penderita.

Maka Departemen Kesehatan kini menempuh cara baru. Obat-obatan dikirim ke dinas kesehatan di tingkat provinsi. ”Dari situ jalur distribusi ke rumah sakit daerah lebih dekat,” kata Tjandra. Untuk tahap pertama, cara ini sudah dilakukan di Jawa Timur. Pemerintah provinsi ini telah siap, terutama dalam hal penyimpanan dan penyaluran ke semua rumah sakit di daerah itu.

Mengenai kurangnya dana, Tjandra menyatakan, meski setiap tahun ditingkatkan, anggaran untuk antiretroviral tetap saja tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan obat pasien HIV/AIDS, yang jumlahnya setiap tahun meningkat. Tahun ini, Departemen Kesehatan merespons dengan mengalihkan sisa dana anggaran pendapatan dan belanja negara dan menggunakan dana bantuan sosial departemen itu untuk pengadaan ARV lini satu dan dua. ”Stok dijamin aman sampai Maret 2009,” begitu dia meyakinkan.

Langkah selanjutnya adalah meminta penambahan dana anggaran 2009 serta sumber lain dari luar negeri, seperti GFATM (Dana Global untuk AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria).

Berdasarkan data UNAIDS—lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani masalah AIDS—jumlah orang yang terinfeksi HIV di negeri ini hingga Agustus 2008 mencapai 270 ribu. Ini menempatkan Indonesia di urutan kelima dalam hal jumlah pengidap HIV/AIDS di dunia, sesudah India, Cina, Thailand, dan Vietnam.

Menurut data Departemen Kesehatan, hingga September 2008, sekitar 14 ribu orang membutuhkan antiretroviral. Mereka secara rutin harus menelan obat jenis efavirenz, stavudin, dan duviral. Besar kemungkinan angka versi Departemen Kesehatan itu belum mencerminkan jumlah yang terinfeksi HIV—terutama bila dibandingkan dengan angka milik Badan AIDS Dunia. Mengapa? Masih banyak pasien yang belum terbuka sehingga tak terdata, dan tak terjangkau pengobatan.

Padahal antiretroviral merupakan satu-satunya cara bagi penderita HIV untuk bertahan hidup. Samsuridjal Djauzi, Ketua Perhimpunan Dokter Peduli AIDS, menyatakan obat ini mampu menurunkan angka kematian, mengurangi kemungkinan terserang penyakit lain, dan meningkatkan kualitas hidup. Kekebalan tubuh pasien yang rutin dan tepat waktu meminum antiretroviral terbukti meningkat. Dengan demikian, penyakit infeksi yang kerap menyerang pasien HIV/AIDS, seperti radang paru, lebih mudah diatasi.

Sebenarnya, Indonesia tak ketinggalan dalam hal penelitian pemanfaatan antiretroviral. Menurut Samsuridjal, Kelompok Studi Khusus AIDS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 1996 telah menemukan kombinasi tiga macam obat ARV yang terbukti bermanfaat bagi pengidap HIV/AIDS. Untuk itulah kelompok studi itu telah memberikan obat ARV generik sejak 2001. Sayang, belum ada dana yang cukup, data tentang pasien yang memadai, dan sistem distribusi yang baik.

Pada 2003, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencanangkan program penggunaan antiretroviral secara luas. Pada 2004, pemerintah memberikan subsidi penuh untuk ARV. Pada tahun itu juga, melalui Keputusan Presiden dan Menteri Kesehatan, Kimia Farma ditugasi memproduksi ARV untuk kebutuhan dalam negeri. Namun itu belum cukup.

Selain mengandalkan produksi antiretroviral dari badan usaha milik negara di bidang farmasi itu, pemerintah mengimpor ARV dari India. Dananya diperoleh dari lembaga Dana Global untuk AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria. Samsuridjal menyatakan lembaga internasional itu hanya membantu pengadaan antiretroviral yang telah memenuhi kualifikasi WHO.

Jadi, meskipun sudah ada antiretroviral produksi lokal, karena yang buatan dalam negeri belum masuk standar WHO, bantuan dana itu tak dapat digunakan untuk pengadaan ARV made in Indonesia. Duit itu hanya bisa dipakai buat membeli ARV generik dari India dan Thailand yang sudah diakui WHO.

Problem lain, kata Samsuridjal, Dana Global mensyaratkan obat antiretroviral masuk tanpa pajak karena termasuk bantuan kemanusiaan. Departemen Kesehatan harus mengurus surat bebas pajak dari Departemen Keuangan setiap kali obat itu datang. Biasanya urusan itu makan waktu sebulan. Walhasil, selama masa itu, ARV impor ini kerap tertahan di bandara. Padahal pasien sudah menjerit kekurangan obat.

Kelangkaan obat juga menyangkut persoalan lain. Menurut Samsuridjal, selain karena faktor terlambatnya anggaran turun dan rumitnya birokrasi pengadaan obat, kebutuhan akan antiretroviral memang meningkat lantaran ada panduan baru Badan Kesehatan Dunia yang merekomendasikan penggunaan obat ARV ini lebih dini. Semula ARV digunakan jika kadar CD4 (jenis sel darah putih) dalam tubuh sudah di bawah 200. Kini pasien dengan kadar CD4 di bawah 500 pun sudah harus meminum obat ini. Itu sebabnya kebutuhan ARV di seluruh dunia melonjak.

Kelompok terinfeksi HIV/AIDS di Indonesia pada umumnya menggunakan obat antiretroviral lini pertama, yang terdiri atas lima jenis: zidovudin, lamivudin, nevirapin, stavudin, dan efavirenz. Artinya, kondisi pasien HIV di sini sebagian besar masih tak terlalu parah. Namun keadaan mereka bisa menjadi lebih buruk bila rutinitas minum obat terganjal oleh kelangkaan stok.

Maklum, antiretroviral harus diminum teratur. Menurut Samsuridjal, jika pasien lalai meminum tiga kali dalam 60 kali dosis (obat diminum sehari dua kali) selama sebulan, obat ini tak mempan lagi. Mereka jadi kebal terhadap ARV lini satu dan harus mengkonsumsi obat lini dua, yang lebih mahal, sulit didapat, dan lebih banyak efek sampingnya.

Andari Karina Anom, Iqbal Muhtarom


Data HIV/AIDS

  • Pada 2010 diperkirakan ada 400 ribu orang terinfeksi HIV dan 100 ribu meninggal. Jika tak ada penanganan memadai, akan ada sejuta pengidap HIV/AIDS pada 2015 di Indonesia. Dari jumlah ini, sekitar 38.500 kasus terkena pada anak dan 350 ribu orang diperkirakan akan meninggal akibat HIV.
  • Kasus HIV/AIDS terbanyak dilaporkan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, dan Sumatera Barat.
  • Cara penularan HIV/AIDS: (i) jarum suntik 6.237 kasus, (ii) hubungan seks lain jenis 5.438 kasus, (iii) hubungan sejenis 482 kasus.

SUMBER: DEPARTEMEN KESEHATAN

Perjalanan Antiretroviral

Hingga saat ini, antiretroviral (ARV) merupakan satu-satunya obat bagi pengidap human immunodeficiency virus (HIV). Meski tidak menyembuhkan, ia berguna mencegah perkembangbiakan sekaligus menurunkan jumlah virus. Usia antiretroviral masih muda dibanding obat-obatan penyakit lain. Namun ia sudah terbukti menjadi penyambung nyawa pengidap HIV/AIDS.

1993
Antiretroviral ditemukan di Brasil. Sebelumnya, hanya 25 persen pengidap HIV/AIDS bisa bertahan hidup hingga lima tahun setelah dinyatakan positif terkena HIV. Sejak ARV digunakan, tercatat 47 persen penderita bisa hidup normal.

1996
ARV paten impor (harga Rp 8,5-10 juta untuk kebutuhan sebulan) mulai masuk Indonesia. Karena ARV belum mendapat izin edar dari Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, obat tersebut hanya boleh masuk melalui Kelompok Studi Khusus AIDS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

2000
India memproduksi ARV generik berharga 10 kali lebih murah. Sebanyak 15 negara di Asia (termasuk Indonesia), Afrika, dan Amerika Latin menggunakan ARV generik.

2001
ARV generik Thailand masuk Indonesia.

2002
PT Indofarma ditunjuk pemerintah menjadi importir ARV generik India dan Thailand. Dan ARV tidak lagi harus masuk melalui Kelompok Studi Khusus AIDS.

Maret 2003
Pemerintah berjanji mensubsidi ARV generik Rp 200 ribu per bulan untuk setiap penderita. Pada Mei 2003 subsidi terwujud.

Agustus 2003
ARV generik (Rp 380 ribu untuk sebulan) mulai diproduksi PT Kimia Farma.

2004
ARV disubsidi penuh oleh pemerintah dan disalurkan melalui 25 rumah sakit, hingga pada 2008 disalurkan ke 257 rumah sakit serta puskesmas rujukan. Akibat kekurangan ARV bulan lalu, Departemen Kesehatan mengambil dana darurat Rp 10 miliar. Sampai Maret 2009, dana ini digunakan untuk 14 ribu penderita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus