Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mami Kato bukan satu-satunya orang yang keranjingan air seni. Rupanya, ada banyak orangkonon ada jutaan orang di duniayang melakukan kegiatan serupa. Ada yang meneteskan cairan itu ke telinga atau hidung, untuk berkumur-kumur, atau melulurkannya di seluruh tubuh. Mereka bahkan mengklaim urine "dosis tinggi" sebagai penawar aneka penyakit berat seperti sifilis, hepatitis, jantung, kanker, atau AIDS.
Tak masuk akal? Layak dicatat pula, yang menerapkan terapi nyleneh ini bukan sekadar orang nekat tanpa perhitungan. Iwan Budiarso, bekas peneliti utama di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, adalah salah satu penganut terapi kontroversial ini. Lulusan Universitas Purdue, Amerika Serikat, itu lari ke terapi urine setelah merasa tidak puas dengan beberapa terapi medistermasuk operasi bypassuntuk mengatasi penyakit jantungnya.
Iwan memperoleh saran "aneh" itu dari salah seorang koleganya. Semula ia tak langsung menelan saran itu mentah-mentah. Sebelum mencoba, ia menjelajah ke berbagai situs pengobatan alternatif di internet. Buku-buku juga dilalapnya. Akhirnya, sebelas bulan silam, ia mulai menenggak urine. Menurut pengakuan dokter hewan yang kini bekerja di Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Univesitas Tarumanegara, Jakarta itu, kini ia merasa tak punya keluhan lagi di jantungnya. "Saya juga merasa lebih segar," katanya.
Dalam seminar "Terapi Auto-Urine, Pengobatan Komplimenter dan Alternatif untuk Kanker dan Penyakit Kronis" yang diselenggarakan majalah Nirmala pekan lalu di Jakarta, Iwan menyuguhkan deretan fakta yang membuktikan khasiat urine. Dua ratus hadirin seminar terpaku menyimak uraian terapi cairan berbau menyengat ini. Penuturan empat pasien (kanker rahim, kanker payudara, stroke, dan hipertensi) yang mengaku sembuh setelah ber-"urine-ria" turut menghidupkan suasana. Tentu saja, ekspresi keheranan, takjub, dan rasa jijik bertebaran di ruang seminar. "Obat jorok ternyata sakti juga," celetuk seorang peserta seminar.
Namun, Iwan menolak bila urine disebut sebagai cairan jorok. Menurut Iwan, air seni adalah hasil saringan berjuta-juta nephron (jaringan penyaring) dalam ginjal. Yang tersisa bukanlah kotoran tetapi cairan yang tidak terserap tubuh dalam proses pemasukan pertama. Dan, untuk mendapatkan air seni yang "bersih" ternyata ada "seni" tersendiri: jangan ambil yang pertama keluar dan jangan pula menampung bagian terakhir.
Meminum urine, menurut Iwan, berarti memberi kesempatan kepada tubuh untuk menyerap kembali bahan-bahan yang diperlukan. Tubuh tak perlu memompa energi baru untuk memproduksi mineral, vitamin, hormon, enzim, antibodi, antialergi, dan nutrien lain yang berharga. Zat-zat ini bahkan diyakini bisa langsung mendatangi bagian tubuh yang memerlukannya. Jadi, "Urine itu seperti apotek komplet yang langsung bereaksi," kata Iwan.
Memang, urine juga mengandung sedikit racun yang sengaja disisihkan oleh ginjal. Tapi seorang konsultan terapi urine dari Belanda, Coen van der Kroon, menganggap pemasukan kembali racun ke dalam tubuh justru akan memacu kerja antibodi. "Dalam hal ini urine bekerja seperti vaksin," tulis Kroon dalam situs Urine Therapy. Keyakinan itu diperkuat dengan kenyataan bahwa selama ini tak ada satu pun kasus keracunan urine yang terekam. Sebaliknya, urine sering disarankan sebagai sarana untuk bertahan hidup dalam situasi daruratmisalnya perang atau bencana alam.
Menurut Kroon, kedahsyatan urinekarena bersumber dari tubuh sendiriadalah kemampuannya untuk mengenali sendiri keanehan tubuh. Alhasil, hampir semua penyakit dapat tersembuhkan. Rujukan tertua tentang kehebatan urine adalah Damar Tantra, kitab pengobatan tradisional India. Dalam kitab berusia 5.000 tahun itu, konon, ada 107 ayat yang menyebutkan pengaruh dan manfaat urine.
Dunia kedokteran modern pun sebenarnya cukup giat mencari pokok khasiat urine. Lima tahun lalu, Ming Chen Liau, ahli biokimia dari Burzynski Research Institute, Texas, Amerika Serikat, menemukan zat antikanker dalam urine yang disebut CDA-II. Liau mengemas CDA-II dalam botol injeksiyang setara dengan 7.000 cc urinedan kapsul yang sebanding dengan 700 cc urine. Uji klinis tahap awal dilakukan pada 47 pasien di Cina dan 50 pasien di Jepang. Setiap hari selama tiga bulan, selain terapi konvensional, pasien diinjeksi dua botol atau minum 20 kapsul CDA-II. Hasilnya, 70 persen pasien dinyatakan terbebas dari kanker.
Namun, teknik pengobatan ini belum boleh disebarluaskan. Riset Liau dianggap belum cukup meyakinkan untuk membuktikan bahwa kematian sel kanker itu karena CDA-II. Soalnya, jangan-jangan bukan CDA-II yang menyebabkan sel kanker mati tetapi obat-obatan lain yang memang masih dikonsumsi pasien. Pemantauan ketat juga masih mutlak dibutuhkan untuk memastikan tidak adanya dampak negatif CDA-II.
Belum suksesnya riset Liau menunjukkan bahwa secara medis terapi urine belum terbukti. Tapi pamor model pengobatan ini tetap tidak surut. Di Jepang, kabarnya, ada 2 juta pengikut terapi urine. Perkembangan di Amerika dan Eropa juga serupa. Di Jerman, misalnya, tercatat 5 juta orang yang minum urine sendiri untuk obat.
Sebagai terapi yang belum didukung bukti medis yang kuat, tentu saja tak kurang pula orang yang meragukan keampuhan terapi urine. Iwan Darmansyah, guru besar Farmakologi Universitas Indonesia, mengecam keras klaim urine sebagai obat yang supersakti. "Itu hanya bersumber dari kepercayaan," katanya. Tak ada bukti hubungan kausalitas antara minum cairan yang dibuang tubuh itu dan, misalnya, sembuhnya sakit pinggang. Mungkin saja, menurut Darmansyah, urine sekadar punya efek plasebo alias tipuan yang nyaman. "Seperti air putih dari dukun," ujarnya. Dan, dalam dunia medis efek plasebo rata-rata memang bisa menyumbang 35 persen proses kesembuhan.
Kalau mau dicari-cari khasiat urine, kandungan airnya (90 persen air seni terdiri dari air) yang bermanfaat melancarkan metabolisme. Orang yang jarang minum biasanya punya bermacam-macam keluhan metabolisme, mulai dari sakit pinggang sampai badan loyo. Dengan minum minimal lima gelas urine sehari, air yang masuk otomatis melancarkan metabolisme. Nah, kalau cuma air yang dibutuhkan, kenapa harus minum urine? "Tidak rasional," kata Darmansyah.
Mardiyah Chamim, Dwi Wiyana,R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo