Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Revisi APBN 2000 Apa Kekurangannya?

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mohamad Ikhsan
Wakil Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEUI

PERANAN anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam beberapa tahun ini menjadi sangat penting bagi kebutuhan stimulasi ekonomi, sekaligus untuk memberikan sinyal bagi pelaku ekonomi, terutama dalam jangka pendek. Hal ini berkaitan dengan belum berfungsinya mekanisme transmisi dari sektor moneter ke sektor riil, yang biasanya diterjemahkan dalam hubungan antara suku bunga dan investasi. Penurunan suku bunga akan mendorong kenaikan investasi—sekarang ini, walaupun suku bunga turun, investasi belum naik. Karena itulah APBN harus bisa berfungsi secara efektif untuk menstimulasi perekonomian.

APBN 2000 mestinya harus mampu menyeimbangkan kepentingan stimulasi ekonomi, memelihara kestabilan makroekonomi (inflasi dan tingkat bunga)—semuanya dalam jangka pendek—dengan kepentingan sustainability fiscal jangka panjang. Karena itu, usaha untuk menajamkan sisi pengeluaran guna menstimulasi perekonomian harus diikuti pula dengan usaha untuk meningkatkan peranan penerimaan dalam negeri tanpa mengganggu sistem insentif bagi sektor swasta.

Revisi APBN yang diajukan anggota DPR beberapa pekan lalu mengandung beberapa kelemahan. Perubahan asumsi harga minyak bumi dari US$ 18 menjadi US$ 20 sudah benar, mengingat pelbagai ramalan menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 2000 harga minyak tidak akan jatuh di bawah US$ 22 per barel. Perkembangan harga minyak di pasar future menunjukkan bahwa harga sekitar US$ 21 per barel akan bertahan hingga Juni 2001.

Perubahan asumsi harga minyak ini sebetulnya secara neto sangat kecil. Pajak penghasilan (PPh) migas naik dari Rp 8,8 triliun menjadi Rp 10 triliun. Sedangkan PPh minyak bumi hanya meningkat Rp 915 miliar. Dari penerimaan sumber daya alam, terjadi kenaikan sebesar Rp 3,6 triliun. Jadi, total kenaikan adalah Rp 4,51 triliun. Sementara itu, subsidi bahan bakar minyak (BBM) naik—sebagai akibat perubahan asumsi dan penurunan rencana persentase kenaikan harga—sebesar Rp 4,2 triliun. Secara neto, kita hanya mendapatkan kenaikan sekitar Rp 300 miliar. Tidak jelas apakah subsidi BBM sebesar Rp 22,5 triliun ini telah termasuk biaya untuk penyelenggaraan sistem kupon untuk minyak tanah sebesar Rp 600 miliar. Jika tidak, negara harus nombok Rp 300 miliar. Lalu, di mana letak surplus seperti yang dikatakan oleh anggota DPR? Surplus terjadi karena anggota DPR menggabungkan gas secara bersama-sama sehingga perubahan asumsi ini meningkatkan pendapatan neto gas alam sebesar Rp 1,3 triliun. Padahal, minyak bumi dan gas berbeda.

Sisi lain yang critical adalah peningkatan cukai. Dari mana pemerintah dapat meningkatkan cukai hingga 32 persen dibandingkan dengan realisasi tahun 1999? Kenaikan sebesar 19 persen seperti dalam RAPBN saja memerlukan ekstensifikasi basis cukai pada tiga komoditi, yaitu semen, minuman ringan, dan ban. Padahal, alasan pemerintah untuk memperluas cakupan subyek cukainya patut dipertanyakan dan sangat mungkin counterproductive. Ambil contoh semen dan minuman ringan. Peningkatan harga sebagai akibat dari peningkatan cukai akan menyebabkan permintaan berkurang karena, berdasarkan studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, elastisitas permintaan untuk kedua produk ini adalah 1,1 hingga 1,4. Artinya, jika harga naik 1 persen, permintaan turun 1,1 hingga 1,4 persen.

Penurunan permintaan akan menyebabkan dampak pengurangan lapangan kerja yang sangat signifikan. Berdasarkan Tabel Input-Output terakhir, industri semen dan minuman ringan berada di peringkat 3 dan 4 dalam penciptaan lapangan kerja, terutama pada secondary effect. Misalnya, untuk kasus minuman ringan, kenaikan harga akan memukul warung kecil atau penjaja minuman ringan di jalan raya, yang mengalami penurunan permintaan. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan upaya pemerintah untuk menolong usaha rakyat kecil.

Latihan dalam pengeluaran sebetulnya lebih penting berkaitan dengan usaha menstimulasi perekonomian, sekaligus memperbaiki dampak distribusi pendapatan dari anggaran. Dengan volume anggaran yang sama, stimulasi dapat diciptakan dengan mengubah komposisi anggaran yang lebih ditargetkan untuk mencapai kelompok orang miskin. Mengapa? Karena kelompok ekonomi lemah biasanya mempunyai marginal propensity to consume yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok orang kaya. Makna ini juga tercermin dalam desakan pencabutan subsidi BBM yang lebih banyak jatuh pada kelompok orang kaya dan mengalihkan hasil pengurangan subsidi pada komponen anggaran yang berkaitan dengan orang miskin. Misalnya pengeluaran untuk infrastruktur di daerah pedesaan. Studi yang dilakukan Morley (1995) menunjukkan bahwa setiap 1 rupiah tambahan yang dialokasikan oleh pemerintah di daerah pedesaan akan menciptakan 2,5 kali output lebih banyak daripada jika dialokasikan untuk masyarakat kota.

Dilihat dari sisi ini, tindakan DPR memaksa kenaikan lebih besar untuk gaji golongan bawah dapat diperkirakan akan memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan dengan rencana kenaikan besar-besaran gaji pejabat tinggi dan anggota DPR. Jika gaji pegawai golongan tinggi dan DPR meningkat lebih tajam, tambahannya hanya akan meningkatkan tabungan, bukan level dari konsumsi, sehingga kemampuan menstimulasi ekonomi berkurang.

Tapi kesalahan besar pula jika pemerintah atas desakan DPR mengalokasikan tambahan anggaran pendidikan sebesar Rp 500 miliar untuk menyubsidi perguruan tinggi negeri, sedangkan pada saat yang sama pendidikan dasar dan menengah sangat under-budgeted. Tidak mengherankan, banyak sekali gedung sekolah dasar di seluruh Indonesia yang sudah tidak layak huni. Fokus anggaran pendidikan mesti diarahkan untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar dan menengah.

Terakhir, alotnya perdebatan antara anggota DPR dan pemerintah—sebagian besar sebetulnya tidak perlu—memberikan isyarat perlunya penguatan institusi riset di bawah DPR sehingga revisi RAPBN menuju APBN dapat mengarah pada realokasi anggaran yang lebih baik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum