Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Berbagai cara setiap orang memandang masalah dalam hidup, salah satunya toxic positivity yang membungkam emosi negatif. Mengutip Medical News Today, kondisi itu menyebabkan orang merendahkan kesedihan dan merasa tertekan untuk berpura-pura bahagia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toxic positivity membuat berbagai emosi tertentu menjadi tidak dianggap. Merujuk Psychology Today, toxic positivity memungkinkan berbagai emosi lainnya meledak pada waktu tertentu. Akibatnya, kondisi emosional seseorang pun menjadi tidak stabil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toxic positivity mengacu obsesi terhadap pikiran positif terhadap semua kejadian atau pengalaman. Tak peduli jika pun itu kejadian yang buruk. Banyak sumber yang menyoroti fenomena ini selama dekade belakangan. Sebab, melulu berpikir positif sambil menekan emosi lainnya terhadap respons keadaan, bukan obat mujarab untuk tantangan hidup.
Toxic positivity memaksakan pemikiran positif sebagai satu-satunya solusi untuk masalah. Terlebih itu menuntut agar seseorang menghindari respons negatif atau mengekspresikan emosi lainnya. Walaupun memang, berpikir positif bermanfaat jika mengalami masalah. Tapi, toxic positivity efek berlebihan obsesi pikiran positif juga berdampak buruk, sehingga menghalangi diri mencari dukungan sosial.
Dampak buruk toxic positivity
1. Mengabaikan bahaya nyata
Kekerasan dalam rumah tangga ada bias positif yang menyebabkan orang yang mengalami pelecehan atau meremehkan tingkat parahnya. Kondisi itu yang membiarkan tetap dalam hubungan yang kasar. Jika dibiarkan rentan menjadi sasaran pelecehan yang terus meningkat, karena terus dalam obsesi berpikir positif.
2. Membiarkan kehilangan
Jika kehilangan, emosi kesedihan merupakan hal yang normal. Seseorang yang berulang kali mendengar pesan untuk bahagia mungkin merasa seolah-olah orang lain tidak peduli rasa kehilangan itu. Toxic positivity rentan berdampak buruk. Misalnya, apabila seseorang yang telah kehilangan sosok berharga dalam hidupnya disuruh untuk berpikir positif. Kondisi itu menyebabkkan orang itu akan merasa kehilangannya tidak terlalu berharga.
3. Memencil
Orang yang merasakan tekanan untuk tersenyum dalam menghadapi kesulitan mungkin cenderung tidak mencari dukungan. Kecenderungan merasa memencil atau malu terhadap perasaan itu, sehingga menghalangi diri untuk mencari bantuan. Menurut American Psychiatric Association, pandangan itu pula yang menghalangi seseorang untuk mencari perawatan kesehatan mental.
4. Masalah komunikasi
Toxic positivity mendorong orang untuk mengabaikan fakta, setiap hubungan memiliki tantangan. Sebab, cenderung berfokus hanya hal yang positif saja. Pendekatan ini, merusak komunikasi dan kemampuan untuk memecahkan masalah hubungan.
5. Enggan merasakan emosi negatif
Setiap orang mengalami emosi negatif. Toxic positivity mencegah orang merasakan emosi negatif saat kesulitan nyata perlu dihadapi. "Manusia tak bisa hanya memilih emosi yang ingin dimiliki. Merasakan semua perasaan menyakitkan atau tidak, itu realistis,” kata ahli psikologi klinis Jaime Zuckerman, dilansir Healthline.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.