Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Bagi kebanyakan orang, toxic positivity mungkin lebih identik dengan sisi baiknya. Hal ini tak lepas dari sikap seseorang yang selalu berusaha tampil bahagia sepanjang waktu, meskipun nyatanya tidak demikian. Dalam beberapa kondisi, toxic positivity dapat menjadi tekanan eksternal pula bagi beberapa orang.
Apa itu toxic positivity
Dikutip dari website medical news today, toxic positivity adalah obsesi dengan pemikiran positif. Ini adalah keyakinan bahwa orang harus memberikan putaran positif pada semua pengalaman, bahkan yang sangat tragis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toxic positivity memaksakan pemikiran positif sebagai satu-satunya solusi untuk masalah, menuntut agar seseorang menghindari pemikiran negatif atau mengekspresikan emosi negatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada beberapa contoh perilaku yang mengindikasikan toxic positivity, antara lain:
- memberi tahu orang tua yang anaknya telah meninggal untuk bahagia bahwa setidaknya mereka dapat memiliki anak
- menegaskan setelah bencana bahwa "segala sesuatu terjadi karena suatu alasan"
- mendesak seseorang untuk fokus pada aspek positif dari kehilangan yang menghancurkan
- memberitahu seseorang untuk melupakan kesedihan atau penderitaan mereka dan fokus pada hal-hal baik dalam hidup mereka
- melabeli orang yang selalu tampil positif atau tidak berbagi emosi sebagai orang yang lebih kuat atau lebih disukai daripada orang lain
Sisi buruknya
Beberapa msyarakat berpandangan jika toxic positivity umumnya tidak berbahaya. Namun, seseorang yang percaya bahwa mereka hanya harus bersikap positif mungkin mengabaikan masalah serius atau tidak mengatasi masalah kesehatan mental yang mendasarinya.
Demikian pula, orang yang menuntut sifat positif dari orang lain mungkin menawarkan dukungan yang tidak memadai atau membuat orang yang dicintai merasa distigmatisasi dan dihakimi. Beberapa risiko dari toxic positivity antara lain:
- Mengabaikan bahaya nyata:
Sebuah tinjauan naratif pada tahun 2020 menemukan bahwa dari 29 studi kekerasan dalam rumah tangga, terdapat bias positif yang dapat menyebabkan korban pelecehan meremehkan tingkat keparahannya dan tetap berada dalam hubungan yang kasar. Optimisme, harapan, dan pengampunan meningkatkan risiko orang-orang tetap bersama pelakunya dan menjadi sasaran pelecehan yang meningkat.
- Mengabaikan kehilangan:
Kesedihan dan kesedihan adalah hal yang normal dalam menghadapi kehilangan. Seseorang yang berulang kali mendengar pesan untuk move on atau bahagia mungkin merasa seolah-olah orang lain tidak peduli dengan kehilangannya. Contohnya Orang tua yang kehilangan anak, mungkin merasa bahwa anak mereka tidak penting bagi orang lain, sehingga menambah kesedihan mereka.
- Isolasi dan stigma:
Orang yang merasakan tekanan untuk tersenyum dalam menghadapi kesulitan mungkin cenderung tidak mencari dukungan. Biasanya mereka merasa terisolasi atau malu dengan perasaan mereka, menghalangi mereka untuk mencari bantuan. Menurut American Psychiatric Association, stigma dapat menghalangi seseorang untuk mencari perawatan kesehatan mental.
- Masalah komunikasi:
Setiap hubungan memiliki tantangan. Toxic positivity mendorong orang untuk mengabaikan tantangan ini dan fokus pada hal positif. Pendekatan ini dapat menghancurkan komunikasi dan kemampuan untuk memecahkan masalah hubungan.
- Harga diri rendah:
Setiap orang terkadang mengalami emosi negatif. Toxic positivity mendorong orang untuk mengabaikan emosi negatif mereka, meskipun menahannya dapat membuat mereka merasa lebih kuat. Ketika seseorang tidak dapat merasa positif, mereka mungkin merasa seolah-olah mereka gagal.
Menghindari Toxic Positivity
Menurut laman medicalnewstoday.com, terdapat beberapa strategi dalam menghindari toxic positivity, antara lain:
- mengenali emosi negatif sebagai hal yang normal dan merupakan bagian penting dari pengalaman manusia
- mengidentifikasi dan mengendalikan emosi daripada mencoba menghindarinya
- berbicara dengan orang-orang tepercaya tentang emosi, termasuk perasaan negatif
- mencari dukungan dari orang-orang yang tidak menghakimi, seperti teman tepercaya atau terapis
Demikian seluk-beluk toxic positivity yang perlu diketahui. Terus belajar realistis barangkali lebih pas.
DANAR TRIVASYA FIKRI
Baca juga : Ciri dan Kiat Mencegah Perilaku Toxic Positivity
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung.