Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hendarman Supandji tampak tekun mencermati daftar nama terpidana korupsi beserta besar uang pengganti yang seharusnya telah dieksekusi—disita atau diserahkan kepada negara. ”Ini daftar perkaranya. Kami sedang mengejar kekayaannya,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus itu, dua pekan lalu.
Langkah gesit Kejaksaan Agung ini merupakan tindak lanjut atas laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Sidang Paripurna DPR, 20 September 2005 lalu. Dalam pertemuan itu BPK menyebut temuan ini sebagai bentuk ketidakpatuhan kejaksaan terhadap Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dua undang-undang ini menyatakan, tugas jaksa adalah mengeksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Data dana penggantian perkara korupsi yang dihimpun BPK dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus ini mencatat angka Rp 6,67 triliun. Jumlah itu terdiri dari 218 perkara dengan Rp 5,3 triliun uang pengganti yang harus dieksekusi kejaksaan negeri. Lalu, ada 107 perkara dengan uang pengganti Rp 1,353 triliun yang sudah dilimpahkan ke Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.
Dari jumlah itu, sebagian besar berada di wilayah Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Besarnya Rp 5,049 triliun dari 21 perkara. Beberapa kejaksaan tinggi lain yang memiliki tanggungan cukup besar adalah Kalimantan Barat dengan nilai Rp 235 miliar dari enam kasus, dan Nusa Tenggara Timur Rp 6,8 miliar dari 18 kasus. Hendarman memberi kabar, hingga awal Oktober lalu ada dana pengganti Rp 2 triliun yang telah dapat ditagih oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Angka ini memang tak bisa dibilang kecil. Namun, menurut auditor utama BPK, Soekoyo, duit Rp 6 triliun itu belum jadi penerimaan negara karena belum di kocek kejaksaan. ”Karena itu, masuk piutang dan kewajiban kejaksaan untuk menagihnya kepada terpidana,” kata Soekoyo.
Hendarman sendiri mengakui uang pengganti itu memang belum tertagih. Menurut dia, pihaknya belum bisa ”mengeruk” uang itu lantaran beberapa soal, misalnya terpidananya melarikan diri. Contoh soal ini, antara lain, Hendra Raharja. Buron yang meninggal di Australia itu punya kewajiban membayar uang pengganti Rp 1,8 triliun. Lainnya, mantan Direktur Bank Umum Servitia, David Nusawijaya, yang kini buron, punya kewajiban Rp 1,29 triliun. Dan buron lainnya, Sudjiono Timan, Rp 369,4 miliar.
Hendarman menambahkan, selain lantaran terpidananya kabur, yang juga bikin uang pengganti tak tertagih adalah karena ada koruptor yang jatuh miskin. Ini bikin tagihan itu tak berdaya. ”Ada ketentuan dari Menteri Keuangan, apabila terpidana sudah jatuh miskin dan tidak punya apa-apa lagi, maka bisa diputihkan,” ujarnya.
Dasar pemutihan itu adalah Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 31/2005, tertanggal 23 Mei 2005. Pemutihan ini, seperti diakui Hendarman, dilakukan agar uang pengganti tersebut bisa dicoret dari laporan kejaksaan. Kalau tidak, itu akan terus menjadi pertanyaan BPK.
Dalam surat edaran, Kejaksaan Agung meminta kejaksaan tinggi melakukan verifikasi atas vonis perkara korupsi yang sudah berkekuatan hukum tetap itu. Selanjutnya, dieksekusi. Terpidana yang divonis membayar uang pengganti harus ditagih. Jika tak mau, hartanya harus dicari, lantas disita, dilelang, dan disetor ke kas negara. ”Itu jadi pendapatan negara bukan pajak dari jaksa,” kata Hendarman.
Di mata anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Emerson, minimnya tagihan ini akibat tak maksimalnya kejaksaan melakukan eksekusi. Namun, yang jauh lebih berbahaya, kata dia, ini bisa jadi merupakan indikasi korupsi. ”Bisa saja terpidana hanya membayar uang sogokan kepada jaksa supaya tak ditagih uang penggantinya,” kata dia.
Agar nasib duit negara di kantong kejaksaan ini terang-benderang, BPK sendiri kini mempersiapkan langkah baru. Menurut Anwar Nasution, pihaknya akan melakukan audit investigasi. Fokusnya meliputi total dana yang dikelola, bunga, serta aliran dananya. ”BPK akan menggali lebih jauh lagi,” kata Anwar Nasution. Emerson menyambut gembira langkah ini. ”Kejaksaan Agung harus membuka pintu lebar-lebar untuk auditor BPK,” tuturnya.
Abdul Manan, Dian Yuliastuti, Kukuh Wibowo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo