Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Agar Si Buyung Pipis Lurus

Kelainan berupa lubang kencing tak di ujung kepala penis bayi kian sering ditemukan. Terbaik dioperasi pada usia setahun.

18 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lincah, lucu, dan menggemaskan. Begitulah Divo, bayi laki-laki berusia 14 bulan, saat beraksi. Di ranjang rumah sakit, tangan kanannya memainkan botol minyak telon, melemparkannya, lalu mengambilnya lagi. Ketika ada tamu yang berpamitan, jemari tangannya dengan enteng ditaruh di depan mulutnya, lalu memperagakan gerakan ”cium jauh” alias kiss bye. ”Daa… daa…,” bibir mungilnya berceloteh.

Anak sulung pasangan Diana-Carolus, warga Ciledug, Tangerang, Banten, itu sama sekali tak menampakkan rasa sakit meski si bayi baru menja­lani operasi penting. Sehari sebelumnya, ia menjalani operasi penyesuaian kelamin, karena penisnya tersembunyi di antara dua gundukan daging mirip vagina. Apalagi lubang kencingnya berada di bagian pangkal penis sehingga, kalau dibiarkan, dia tidak bisa pipis sambil berdiri, seperti laki-laki pada umumnya, tapi harus jongkok.

Menurut Irfan Wahyudi, dokter spesialis urologi yang mengoperasi Divo di Rumah Sakit Asri, Jakarta, bocah itu mengalami hipospadia tipe skrotal, yaitu lubang kencing tidak di ujung penis, melainkan di kantong testis. ”Sebelum Divo dioperasi pada 1 Juli lalu, orang bisa keliru dan menduga dia perempuan karena penisnya tak kelihatan,” kata Irfan, Senin dua pekan lalu.

Kasus Divo tidak langka. Hipospadia, menurut Irfan, kian sering ditemukan. Di RS Asri, Divo adalah pasien kelima yang menjalani operasi setelah Asri Urology Centre diresmikan pada 23 Juni lalu. Di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, hipospadia muncul 50-60 kasus per tahun. Angka kejadian hipospadia dengan berbagai tipe adalah 1 : 300 kelahiran bayi laki-laki.

Menurut embriologi, proses pembentukan saluran kencing dimulai dari pangkal ke arah ujung. Dalam kasus hipospadia, pembentukan itu berhenti pada satu titik, sehingga lubang kencing muncul di tempat itu, tak sampai ke ujung. Setidaknya ada delapan titik yang selama ini dikenal, dari tipe glanular, yakni masih di sekitar kepala penis, hingga tipe perineal, yakni antara kantong testis dan anus (lihat infografis).

Nah, karena lubang untuk kencing Divo berada di belakang, sang bunda pun ”tertipu” oleh jenis kelamin anaknya. Ketika anaknya itu masih di dalam kandungan, menurut perempuan 27 tahun ini, hasil ultrasonografi menunjukkan bayinya perempuan. Setelah lahir, Divo tetap dianggap perempuan gara-gara bentukan jaringan mirip vagina.

Ternyata, setelah dokter memeriksa dengan saksama, ”vagina” itu menutup dua testis dan penis kecil di bagian atas—mirip klitoris. Penemuan tersebut membuat ayah dan ibu Divo, bahkan keluarga besar mereka, geger. ”Suamiku sudah menyiapkan nama Sekar,” kata Diana.

Tak mau bingung berlama-lama, ultrasonografi dan tes kromosom pun dilakukan. Ultrasonografi menyatakan si orok tak memiliki rahim. Tes kromosom, yang diketahui dua pekan setelah kelahiran, bayi itu memiliki kromosom 46 XY, penanda Divo laki-laki tulen. Operasi mempertegas jenis kelamin Divo dilakukan setelah bayi laki-laki itu berusia 14 bulan.

Menurut Irfan, operasi tersebut memang paling baik dilakukan pada bayi berusia kurang-lebih setahun. Sebab, pada usia itu, proses penyembuhan luka lebih baik. Selain itu, tidak ada efek psikologis pada anak karena ia belum paham identitas kelamin.

Tekanan jiwa pada anak dengan hipospadia merupakan efek yang paling dikhawatirkan. Bayangkan, jika sudah gede, kata Irfan, bisa saja saat pipis bareng teman cowoknya, anak yang mengalami hipospadia menjadi bahan tertawaan. Sebab, air kencingnya tidak mengucur lurus ke depan, tapi merembes ke bawah.

Nur Rasyid, dokter spesialis bedah urologi senior di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, segendang sepenarian dengan Irfan. Jika sudah menginjak remaja seseorang masih mengalami kebingungan ihwal jenis kelaminnya karena hipospadia, pasti repot. ”Saat terbaik untuk operasi, ya, sebelum anak itu bersosialisasi dengan teman sebaya,” kata Nur.

Pasangan Ade dan Nur, warga Bogor Barat, juga memutuskan membawa Putera melakukan operasi penyesuaian kelamin di RS Cipto Mangunkusumo pada April lalu ketika anak sulungnya itu masih 19 bulan. Setelah operasi berhasil, Putera pun sudah bisa pipis lurus.

l l l

Menurut hasil pertemuan internasional tentang interseks di Chicago, Amerika Serikat, pada 2006, hipospadia masuk kategori disorder of sex development, kelainan perkembangan seksual. Disorder of sex development adalah kelainan kongenital yang ditandai dengan perkembangan kromosom, gonad (kelenjar kelamin), atau anatomi seks yang atipikal (tidak khas).

Menurut Irfan, terminologi ini dipakai untuk menggantikan istilah lama, yaitu interseks (kelamin ganda) dan ambiguous genitalia (alat kelamin yang meragukan). ”Bagi pasien, istilah yang lama terdengar sangat menyakitkan,” kata Irfan. ”Kita juga enggak enak omong begitu kepada pasien.”

Hingga saat ini, para ilmuwan belum bisa memastikan penyebab hipospadia. Namun teori yang berkembang umumnya mengaitkan ”kelamin ganda” dengan masalah hormonal. Pengobatan hormonal selama kehamilan, seperti progesteron, diduga mendongkrak risiko terjadinya hipospadia.

Dalam kasus Divo, tim dokter melakukan operasi untuk mengeluarkan penis yang tersembunyi dan menambah saluran kencing agar lubangnya berada di ujung penis. Cetakan untuk membuat saluran kencing menggunakan selang silikon yang akan dicabut sepekan setelah operasi. Selain itu, dokter menyatukan testis yang sebelumnya terbelah menjadi dua gundukan daging mirip vagina.

Kamis dua pekan lalu, Divo pulang ke rumah. Kini ia harus menjalani terapi hormon karena penisnya terlalu kecil (mikropenis) selama enam bulan. Sang bunda berharap semua terapi itu membuat Divo makin percaya diri sebagai laki-laki, termasuk saat pipis bersama pamannya, Richi, yang usianya hanya lebih tua dua pekan. Soalnya, Divo sudah bisa pipis lurus ke depan.

Dwi Wiyana


Operasi hipospadia

Hipospadia masuk kategori disorder of sex development, kelainan perkembangan seksual. Disorder of sex development adalah kelainan kongenital yang ditandai dengan perkembangan kromosom, gonad (kelenjar kelamin), atau anatomi seks yang atipikal (tidak khas).

Pada kasus Divo, sibocah mengalami hipospadia tipe skrotal, yaitu lubang kencing tidak di ujung penis, melainkan di kantong testis yang menyebabkan air kencingnya tidak mengucur lurus ke depan, tapi merembes ke bawah.

Saat terbaik untuk operasi mempertegas jenis kelamin dilakukan pada bayi berusia kurang-lebih setahun. Sebab, pada usia itu, proses penyembuhan luka lebih baik. Selain itu, tidak ada efek psikologis pada anak karena ia belum paham identitas kelamin.

Mengenal Hipospadia dan Jenis-jenisnya
(berdasarkan letak lubang saluran kemih)

  • Tipe Glanular, masih di kepala penis.
  • Tipe Koronal, di leher penis.
  • Tipe Distal, di ujung batang penis.
  • Tipe Penil, di batang penis.
  • Tipe Proksimal, di pangkal batang penis.
  • Tipe Penoskrotal, di antara penis dan kantung testis.
  • Tipe Skrotal, di kantung testis.
  • Tipe Perineal, di antara kantung testis dan anus.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus