Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelahiran domba betina Dolly pada 5 Juli 1996 di Edinburgh, Skotlandia, tidak hanya memicu polemik. Para ilmuwan mengakui kloning mamalia pertama di dunia itu mengilhami riset lanjutan, khususnya tentang sel.
Teknik pemrograman sel yang mirip saat menciptakan Dolly kini diadopsi para ilmuwan di luar negeri untuk mengembangkan sel punca embrionik (embryonic stem cells). Ini adalah teknik pengembangan sel punca dengan mengisolasi embrioblas (sel bagian dalam) ketika bakal janin memasuki fase blastosis-empat-lima hari setelah terjadi pembuahan.
Sel punca embrionik berbeda dengan sel punca dewasa. Sel punca dewasa hanya dapat berdiferensiasi dan memperbaiki sel asalnya, sedangkan sel punca embrionik bisa berbiak menjadi beragam jenis sel yang membangun tubuh manusia. Riset sel punca ini masih sangat terbatas karena terganjal isu etika. "Jika risetnya semakin canggih, barangkali kasus domba Dolly akan terjadi lagi," kata Idrus Alwi, Rabu dua pekan lalu. Dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini pernah mempelajari sel punca di Ohio, Amerika Serikat.
Ahmad Aulia Jusuf, pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengungkapkan debat etika medis sel punca embrionik berpusat pada sumber sel. Umumnya sumber embrio berasal dari hasil abortus, zigot sisa bayi tabung, dan hasil pengklonaan. "Praktik pengklonaan embrio manusia menimbulkan kontroversi karena ditentang semua agama," Ahmad menjelaskan dalam publikasi berjudul "Aspek Dasar Sel Punca Embrionik dan Potensi Pengembangannya" (2008).
Prosedur mendapatkan sel punca embrionik pun ditentang. Purwati, Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga, menjelaskan bahwa pemisahan embrioblas akan membuat embrio hancur dan mati. Padahal banyak orang menganggap kehidupan manusia sudah dimulai ketika embrio terbentuk. "Tak etis mengorbankan satu kehidupan demi menyokong kehidupan lain," ujar pengajar Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unair ini, Selasa pekan lalu.
Pemerintah Indonesia melarang penggunaan sel punca embrionik melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 833 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca. Sumber sel punca yang diizinkan adalah non-embrionik yang berasal dari darah tali pusat, sumsum tulang belakang, dan darah tepi.
Perdebatan etik sel punca kini juga masuk ranah uji coba antarspesies. Riset Jun Wu dan Juan Carlos Izpisua Belmonte dari Salk Institute for Biological Studies di California, Amerika Serikat, yang terbit di jurnal Cell edisi 26 Januari 2017, adalah salah satu contoh. Mereka mengambil sel punca dari kulit pasien, mengembangkannya pada babi, dan kelak memanen sel-sel induk tersebut untuk ditransplantasikan pada tubuh pasien donor.
Uji coba ini belum bisa diterima di Indonesia. Selain karena peneliti belum bisa memprediksi implikasi dari transfer sel antarspesies yang berbeda, sifat dasar sel sebagai pembawa informasi genetis dari spesies asal tak akan luntur. "Jangankan transfer antarspesies, implementasi sel punca alogenik saja perlu ekstrahati-hati," kata Purwati merujuk pada metode alogenik sebagai donor sel punca antarmanusia.
Di samping soal etika, penggunaan sel punca embrionik juga terganjal risiko penyakit. Pasien yang nekat memanfaatkan sel punca jenis ini berisiko terjangkit teratoma, sejenis tumor. "Pada penderita teratoma, biasanya ditemukan rambut, gigi, dan tulang pada organ yang tak semestinya, misalnya di perut," kata Sandy Qlintang, Direktur Stem Cell and Cancer Institute (SCI) Kalbe Farma, Selasa pekan lalu.
Raymundus Rikang, Nur Alfiyah, Artika Rachmi Farmita (surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo