Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Serasa Pakai Onderdil Baru

Terapi sel punca berlangsung pertama kali di Indonesia sepuluh tahun lalu. Dapat digunakan untuk bermacam penyakit.

15 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUTET Kertaradjasa rajin menyambangi Surabaya dalam enam bulan terakhir. Tujuannya satu: berobat di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo di Gubeng. ¡±Biasanya ke luar kota nge-job, kali ini tubuhku malah disobek-sobek," ujar Butet kepada Tempo di rumahnya di Kasihan, Bantul, Yogyakarta, pertengahan bulan lalu.

Butet, 55 tahun, menderita diabetes. Karena fungsi pankreasnya drop, tiga tahun belakangan, pemain teater itu harus menyuntikkan insulin saban akan makan supaya glukosanya tidak melambung. Pada 2014, dia mendapat informasi seputar pengobatan diabetes dengan sel punca (stem cell) di Rumah Sakit Dr Soetomo dari Dahlan Iskan-saat itu Menteri Badan Usaha Milik Negara. Namun Butet memilih terapi sel punca di sebuah klinik di Jakarta, dengan alasan lebih murah. Di sana, dia disuntik sel dari tabung yang konon didatangkan dari Amerika Serikat. Tapi hasilnya nihil, tidak berefek sama sekali.

Selang dua tahun, Butet menjalani rekomendasi Dahlan di Surabaya. Setelah diperiksa Dokter Purwati, Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga, Surabaya, untuk memastikan selnya tidak berpotensi kanker, pengambilan sel punca dimulai. Sang seniman tentu saja hiperbolis saat mengatakan tubuhnya disobek-sobek. Purwati membuat secuil luka, yang lebih kecil daripada bekas operasi usus buntu, di perut Butet untuk mengambil segumpal lemak. Prosesnya sekitar 30 menit.

Dari gajih itulah Purwati dan kawan-kawan mendapatkan sel punca-disebut autologous karena berasal dari tubuh sendiri. Sel induk, nama lainnya, merupakan sel yang masih berada di stadium awal perkembangan, belum memiliki fungsi khusus, dan bisa berkembang menjadi berbagai jenis sel. Sel itu butuh waktu sebulan berkembang biak di Laboratorium Pusat Kedokteran Regeneratif RSUD Dr Soetomo-Universitas Airlangga. November tahun lalu, "kloter" perdana sel-sel itu dimasukkan ke tubuh Butet. "Jumlahnya 280 juta sel," kata Butet.

Menyusup via kateter, sel punca langsung mendarat di pankreas Butet. Dengan kemampuan membelah tak terbatas, membentuk koloni, dan berdiferensiasi fungsi sesuai dengan lingkungan, mereka menggantikan sel-sel mati di sana. Mekanisme yang sama berlaku setiap sel punca mendarat di organ tubuh lain. Di jantung menjadi sel jantung, di mata menjadi sel mata, di kulit menjadi sel kulit, dan seterusnya. Butet butuh enam kali tindakan-sebulan sekali tindakan-guna menormalkan fungsi pankreasnya. Pada terapi ketiga dan seterusnya, sel punca dimasukkan lewat infus.

Seiring dengan pengobatan, Butet makin bugar. Nasihat dokter untuk berolahraga 30 menit dia gandakan menjadi 60 menit jalan pagi saban hari. Pada rentang itu, ayah tiga anak ini bisa menempuh 5-7 kilometer. Dia juga membentuk kelompok jalan sehat Sarekat Ngobong Kalori, Desember tahun lalu. Butet sudah melupakan suntik insulin, meski masih membutuhkan obat antidiabetes tiap pagi dan malam. Butet pun tak memusingkan soal biaya, yang menurut dia cukup untuk membeli rumah. "Ada teman yang mentraktir," ucapnya diikuti derai tawa.

Pasien sakit gula seperti Butet menempati porsi terbanyak dalam kategori pengobatan dengan sel punca di Surabaya. Dibuka pada 2009, Pusat Kedokteran Regeneratif melayani sekitar 500 pasien dan 200 di antaranya mengidap diabetes mellitus tipe 2. Sisanya menderita sakit jantung, stroke, hipertensi, rematik, pengapuran, disfungsi ereksi, dan penuaan. Selain pasien lokal, ada yang datang dari Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, dan Malaysia.

Beroperasi delapan tahun, Pusat Kedokteran Regeneratif mengevaluasi penyakit apa saja yang tokcer diobati dengan sel punca dan sebaliknya. Purwati, sekretaris badan tersebut, memberi contoh penanganan osteoartritis alias pengapuran. Di tingkat dini, 1 dan 2, pasien cenderung mendapatkan hasil positif dengan sel punca semata. "Namun, bila telah menginjak grade 3 dan 4, pasien dianjurkan menggunakan rekayasa jaringan atau scaffolding membrane yang dikombinasikan dengan stem cell," ujarnya.

Di antara sebelas rumah sakit yang ditunjuk Kementerian Kesehatan sebagai rujukan terapi sel punca, Rumah Sakit Dr Soetomo yang paling unggul dari segi pasien. "Sewaktu saya akan diobati pada 2014, antreannya sampai 50 orang," kata Dahlan Iskan. Berikutnya, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang mengobati hampir 200 orang. Sisanya adem ayem saja sampai sekarang.

RSCM termasuk lembaga yang pertama kali menerapkan terapi sel punca di Indonesia, yaitu saat mengobati pasien penurunan fungsi pompa jantung pada 2007. Kala itu mereka bekerja sama dengan Rumah Sakit Kanker Dharmais dan Rumah Sakit Medistra. "Tapi kami agak mandek karena ndak ado pitih," ujar Profesor Idrus Alwi, anggota tim terapi sel punca perdana Universitas Indonesia. "Biaya sekali tindakan sampai Rp 300-an juta."

Padahal, guru besar ilmu penyakit dalam UI itu melanjutkan, terapi sel punca sangat dibutuhkan dalam pengobatan jantung, terutama pada kasus berat yang butuh transplantasi. Sebab, di seluruh dunia, donor jantung makin tiris-karena hanya bisa didapat dari orang yang baru meninggal dan dipindahkan kurang dari enam jam. Nah, terapi sel punca ibarat mengganti onderdil sepeda motor yang rusak dengan yang anyar. "Karena bisa membentuk pembuluh darah baru," kata Idrus.

RSCM bergerak lebih bebas mengembangkan metode tersebut setelah membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Teknologi Kedokteran Sel Punca RSCM-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 2012. "Memadukan riset, laboratorium, dan bank sel punca," ujar Ismail Hadisoebroto Dilogo, Kepala UPT Teknologi Kedokteran Sel Punca RSCM sekaligus Ketua Komite Pengembangan Sel Punca dan Rekayasa Jaringan. Karena fitrah UPT Teknologi Kedokteran Sel Punca RSCM sebagai lembaga riset, pasien tidak bisa ujug-ujug datang dan minta diobati dengan sel punca.

l l l

RIO Gunawan bisa jadi merupakan pengendara sepeda motor paling sial sedunia. Suatu petang di Kwitang, Jakarta Pusat, November 2009, karyawan bank swasta asing itu antre di lampu merah. Tak ada angin dan hujan, ban truk crane di sebelahnya pecah. Letusannya menghancurkan pelek dan serpihannya berhamburan, menerjang Rio hingga membuat tulang paha kanannya terpisah.

Warga Taman Sari, Jakarta Barat, itu dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, yang berjarak kurang dari 1 kilometer. Di sana, dia menjalani dua kali operasi dalam rentang empat tahun-dengan metode pemasangan pen dan bone grafting alias menempatkan tulang baru. "Namun tidak ada perbaikan. Tulang saya gagal tersambung," kata Rio, 33 tahun.

Pada 2013, seorang dokter menyarankan Rio menemui Ismail, dokter spesialis bedah tulang. Ismail menjelaskan cara kerjanya. Sel punca diambil dari sumsum tulang Rio, dikembangbiakkan di laboratorium, lalu dimasukkan di antara tulang yang patah setelah pemasangan pen, sehingga menjadi "pengikat". Ismail juga memperingatkan metode ini masih tahap riset. "Tapi, saya enggak pikir dua kali, langsung mau," ujar Rio.

Ismail mengoperasinya selama tiga jam pada April 2013. Bulan demi bulan berikutnya, lewat pemindaian sinar-X, Rio mendapati tulangnya berpadu. Pada akhir tahun itu, untuk pertama kalinya dalam separuh windu, dia bisa berjalan tanpa tongkat. "Hal pertama yang saya lakukan adalah menggendong anak," kata ayah dua anak itu. "Lalu salat dengan gerakan sempurna."

Rio lebih sumringah meninggalkan rumah sakit karena tidak dikenai beban penggunaan sel punca. Dia hanya dikutip biaya operasi tulang Rp 12 juta. Ismail mengatakan 90 persen pasien sel punca di RSCM tidak dipungut biaya karena UPT mengantongi hibah, baik dari pemerintah, Universitas Indonesia, maupun donatur.

Reza Maulana, Nur Alfiyah, Artika Rachmi Farmita (surabaya), Anang Zakaria (yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus